KISAH
Fidelis, Petarung Kebanggaan dari Kauneran

12 Februari 2025
“Dalam banyak situasi, ia kerap menjadi korban perundungan oleh orang dewasa dan bahkan anak kecil. Ia pernah pulang dari Sekolah Minggu dengan kepala tertekuk dan wajah yang tampak sedang menahan tangis. Ia tidak tahan melihat tatapan dan ejekan teman-temanya saat sedang berada di gereja. Ia lalu masuk ke kamar dan meratap”
Penulis: Novi Mayasari Haryono
TERTATIH-tatih ia maju ke depan saat namanya, Fidelis Daniel Menajang, dipanggil untuk membacakan cerpen yang ia tulis. Satu per satu kalimat dibacanya dengan lantang. Ia bercerita tentang kisahnya membantu ibunya berjualan kue. Mereka bukan orang berada. Ayahnya hanya seorang petani dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara, yang kehadirannya tidak direncanakan.
Puluhan pasang mata tertuju pada anak lelaki yang akrab disapa Fidel ini. Ada yang memperhatikan kakinya, ada yang memperhatikan tangannya, ada yang fokus pada cerita yang ia baca. Ia memang tidak bisa berdiri sempurna. Ia memiliki keterbatasan fisik. Kakinya tidak sama panjang, lengannya tidak memiliki siku, sehingga tidak bisa ditekuk. Pergelangan tangannya bengkok, sehingga ia agak kesulitan memegang pelantang suara.
Tidak sedikit orang di ruangan itu yang mengusap sudut mata mereka saat mendengar ceritanya. Lebih-lebih kedua orang tua dan kepala sekolah yang tengah berdiri di sudut ruangan. Semacam ada kebanggaan dan haru yang terpancar dari raut wajah mereka.
Kelahiran Memicu Sesak
Fidelis lahir dari ibu yang kala itu didiagnosis menderita epilepsi. Belakangan diketahui bukanlah epilepsi, melainkan tumor otak. Macam-macam obat keras dikonsumsi ibunya, karena sering pingsan dan kejang. Empat bulan usia kandungan barulah kehamilan itu diketahui. Dokter Obigin, sempat menyarankan untuk menggugurkan kandungan.
“Jika janin ini tetap dipertahankan, bisa-bisa bayi akan lahir dalam keadaan cacat. Dan, risiko terburuk, ya, taruhan nyawa Sang Ibu atau anak.” Begitu kata dokter.
Berdasarkan hasil kesepakatan kedua orang tuanya, mereka sama-sama memutuskan untuk mempertahankan janin.
“Tidak ada orang tua yang tega membunuh darah dagingnya sendiri, bagaimanapun kondisi anaknya nanti,” kata ibunya.
Fidelis lahir lewat operasi sesar pada tanggal 14 Maret 2004, di Rumah Sakit Gunung Maria Tomohon. Ia lahir dengan kondisi kedua kaki menyilang ke bahu, serta sekujur tubuhnya berwarna ungu akibat butiran obat-obatan yang menempel. Ayahnya yang pertama kali melihatnya, sempat jatuh tidak sadarkan diri dalam semenit-dua. Sementara ibunya, baru bisa bertemu dengannya setelah hari keempat. Itu pun atas desakan ibunya yang ingin melihatnya.
“Dok, seperti apa pun keadaannya, namanya ia anakku, ia tetap anakku. Tolong bawa ia ke sini,” desak ibunya.
Rasa sesak seketika merambati dada ibunya. Air mata langsung jatuh tanpa bisa ditahan. Penyesalan itu datang tiba-tiba ketika pertama kali ia melihat kondisi anaknya. Ia menyesal. Keputusan yang diambilnya untuk mempertahankan janin, risikonya ternyata akan ditanggung seumur hidup oleh anaknya. Bahkan, keinginan ayahnya untuk menjadikannya seorang atlet bulu tangkis, pupus saat itu juga.
Dekapan Orang Tua
Anak dari pasangan Viane Tumilaar dan Michael Menajang ini merupakan anak lelaki satu-satunya. Usia kedua kakak perempuannya berjarak cukup jauh. Ia menjadi anak kesayangan oleh orang tua dan kakak-kakaknya. Rasa percaya dirinya dibangun semenjak ia kecil.
Dalam banyak situasi, ia kerap menjadi korban perundungan oleh orang dewasa dan bahkan anak kecil. Ia pernah pulang dari Sekolah Minggu dengan kepala tertekuk dan wajah yang tampak sedang menahan tangis. Ia tidak tahan melihat tatapan dan ejekan teman-temanya saat sedang berada di gereja. Ia lalu masuk ke kamar dan meratap.
“Tuhan, kenapa kondisi Fidelis seperti ini?” tanyanya dengan suara terbata-bata.
Pertanyaan itu menjadi godam yang menghantam dada kedua orang tuanya yang tengah berada di luar kamar. Lekas-lekas ibunya menghampirinya. Didekapnya anak itu di dadanya. Diusap-usap punggungnya. Dibiarkan ia menangis.
“Fidelis, dengarkan ini,” kata ibunya seketika, “Dibanding anak-anak lainnya, justru Fidelis yang lebih sempurna. Mereka tidak bisa melakukan apa yang bisa Fidel lakukan. Fidel mampu melakukan segala sesuatu dalam keterbatasan. Dan, Fidel adalah berkat Tuhan untuk Mama, Papa, dan kakak-kakak.”
“Tapi, kenapa Fidelis tidak seperti teman-teman lainnya, Ma?” tanya Fidelis lirih dengan air mata yang terus membasahi pipinya.
“Tidak apa-apa. Di mata Tuhan, Fidel itu sempurna. Bukan apa yang dilihat manusia, tetapi apa yang dilihat Tuhan. Yang terpenting, Fidel mampu menerima keberadaan Fidel sendiri, bersyukur dengan keberadaannya Fidel, dan boleh menjadi anak kebanggaan.”
Semenjak saat itu, Fidelis tidak lagi pergi ke Sekolah Minggu. Ia ke gereja bersama orang tuanya. Sebagai Pelayan Khusus di Gereja GMIM Bait Lahim Kauneran-Sonder, ibunya sering mencari kesempatan agar Fidelis bisa tampil di hadapan para jemaat demi menumbuhkan rasa percaya dirinya. Fidelis suka bernyanyi. Ia memiliki suara yang merdu. Ia sering diikutkan lomba bernyanyi hingga tampil sebagai pemenang.
Tangan Terbuka di Sekolah
Fidelis sempat ditolak saat didaftarkan oleh orang tuanya untuk bersekolah di SD GMIM Sonder. Kekhawatiran Kepala Sekolah, Trees Lebe, yang dirasa belum memiliki pengalaman menghadapi murid dengan keterbatasan fisik, menyarankan Fidelis untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sayangnya, kondisi finansial orang tuanya yang tergolong warga kurang mampu, tidak memungkinkan bagi Fidelis bersekolah di SLB yang terletak sekitar 20-24 km jauhnya dari rumah. Selain itu, kemampuan berpikir Fidelis tidak berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Bahkan, bisa dibilang kedewasaannya melampaui usianya. Orang tuanya lalu mencoba membujuk kepala sekolah agar mau menerima Fidelis.
Fidelis seolah menjadi prioritas di sekolah itu. Ia sering mendapatkan perlakukan khusus, yang malahan kerap ditolaknya sendiri. Ketika harus membersihkan ruangan, ikut upacara bendera dan harus berdiri lama, ikut gerak jalan dan harus berjalan jauh, Fidelis selalu diberikan pilihan untuk boleh melakukannya atau tidak. Dan, ia sering memilih melakukannya. Ia tahu sampai di mana batas kemampuannya. Tidak jarang Fidelis sendirilah yang menawarkan diri melakukan ini-itu.
Sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi Fidelis. Di sekolah ini ia tidak mendapatkan diskriminasi dari siapa pun. Murid-murid di sekolah itu dididik untuk saling menyayangi, tidak membeda-bedakan satu dengan lainnya, dan saling menjaga. Selisih paham tentu ada, tetapi tidak sampai saling mengejek dan berkelahi. Bermusuhan pasti ada, tetapi tidak sampai berlarut hingga berhari-hari.
Anak-anak diajarkan terbuka, baik kepada guru-guru maupun kepala sekolah. Mereka bebas bercerita apa pun. Guru-guru dan kepala sekolah menjadi orang tua kedua bagi para murid.
Kelas 3 SD, Fidelis pernah bercerita kepada kepala sekolah. Katanya, “Ibu, Fidelis tahu, Fidelis tidak sempurna. Kaki dan tangan Fidelis bengkok, tidak seperti kaki dan tangan teman-teman lainnya.”
“Oh, kata siapa Fidelis tidak sempurna?” sanggah Kepala Sekolah, “Tiap-tiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Mungkin, Fidelis punya kelemahan di kaki dan tangan, tapi Fidelis itu anak yang rajin, mau terlibat di kegiatan-kegiatan sekolah, tulisan Fidelis pun bagus.”
Fidelis tertawa.
Rindu Fidelis
Tepukan tangan terdengar di seantero ruangan selepas Fidelis membaca ceritanya. Ia kembali ke tempat duduk dengan senyum yang tersungging lebar. Kepala sekolah yang berdiri di samping kedua orang tuanya menjempolinya dari jauh. Fidelis bisa berada di ruangan itu, karena memenangi lomba menulis cerpen tingkat kabupaten yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Minahasa bersama Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara.
Di tempatnya berdiri, kepala sekolah sempat menitikkan air mata, mengingat perkataan Fidelis padanya sehari-dua silam, “Ibu, Fidel ada bilang pa Mama deng Papa, ‘Mama, Papa, kita itu orang susah. Fidelis tahu itu. Tetapi kalau sampai menang, Fidelis akan bantu orang tua. Bahkan untuk pembangunan rumah, nanti Fidelis bantu. Fidelis ingin sekali bantu orang tua. Karena meskipun keadaan Fidelis seperti ini, Mama deng Papa, juga kakak-kaka tetap merawat Fidelis dan sayang sekali sama Fidelis.’”
