Published
6 years agoon
By
philipsmarxOleh:
Febriani Sumual
kelung.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Filipina pada Senin, 14 Januari 2019, menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) terkait panggilan melecehkan (catcalling) dan berbagai bentuk pelecehan seksual lain di jalanan, untuk menjadi Undang-undang (UU). Seperti dilansir dari Rappler, para legislator menyetujui usulan ketiga House Bill (penyebutan undang-undang yang disahkan oleh parlemen, red) nomor 8794 atau yang dikenal sebagai “Undang-undang tentang Ruang Publik, Jalanan dan Ruang Daring yang Aman”. Dari total 208 orang yang mengikuti pemungutan suara, semuanya sepakat untuk mendukung RUU ini menjadi UU.
RUU tersebut akan menyasar berbagai bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan di berbagai ruang publik seperti jalanan dan media sosial. Makian, siulan, panggilan melecehkan (catcalling) atau bahkan komentar dengan tendensi merendahkan, misoginis dan ofensif terhadap perempuan dan mengancam keselamatan korban secara fisik dan psikis -terlepas apapun motifnya- akan ditindak secara tegas.
Senat Filipina sendiri sudah menyetujui versi mereka pada Oktober 2018. Ini artinya, dua RUU tersebut akan dipelajari oleh sebuah komite bikameral (komite yang terdiri dari dua pihak yang memiliki dua RUU yang serupa). Komite ini akan mencari rekonsiliasi dari bagian-bagian yang dianggap masih bertentangan atau berbeda tafsiran. Hasil dari komite bikameral ini merupakan tahap akhir sebelum akhirnya RUU tersebut disepakati oleh Senat dan DPR untuk disahkan menjadi UU.
House Bill 8794 ini secara spesifik menetapkan ganjaran yang berbeda untuk tiap jenis pelanggaran. Tindakan seperti memaki, siulan, sorakan atau lirikan yang melecehkan, penghinaan yang misoginis dan seksis, komentar melecehkan mengenai penampilan fisik, penggunaan kata, gerakan atau tindakan yang bertujuan mengejek atau merendahkan, lelucon seksual yang ofensif, balas dendam yang menyasar kehidupan seksual seseorang (revenge porn), dan aksi fisik yang tidak berdasarkan konsensus akan ditindak. RUU ini dianggap progresif karena tidak hanya melindungi perempuan, tapi juga kaum gay, lesbian, transgender dan queer.
Hukuman RUU ini mencakup denda, kewajiban untuk menjalani pelayanan masyarakat hingga penjara. Besaran nominal denda dimulai dari 10.000 peso (sekitar 2.700.000 rupiah dengan kurs hari ini, red) hingga 500.000 peso (135.000.000 rupiah). Sementara hukuman penjara maksimal hingga 50 bulan.
Di Indonesia sendiri, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih belum jelas nasibnya. Pada 8 Desember 2018, berbagai organisasi dan individu melakukan pawai untuk menuntut pengesahan RUU ini. Hal ini terutama menyoroti lemahnya perlindungan terhadap korban dan penyintas kasus-kasus kekerasan seksual.
Menurut data yang dihimpun oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), angka kekerasan seksual di Indonesia masih tergolong tinggi. Kekerasan fisik masih menempati urutan pertama, disusul kekerasan seksual di ranah pribadi. Data tersebut juga membeberkan bahwa para pelaku kekerasan seksual mayoritas adalah mereka yang masih merupakan kerabat dekat.
Di ranah pribadi, pacar dan ayah kandung merupakan dua aktor utama pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan. Hampir 2.000 kasus menurut Komnas Perempuan dilakukan oleh pacar atau ayah kandung. Sementara di ruang publik kekerasan seksual yang dialami perempuan paling banyak dilakukan oleh teman dan tetangga dengan jumlah laporan yang masuk ke Komnas Perempuan mencapai hampir 2.000 kasus.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri sudah diusulkan sejak 26 Januari 2016. Meski di tahun 2018, RUU ini termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, namun hingga kini RUU ini tak kunjung disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).(*)
Editor: Andre Barahamin