Connect with us

REVIEW

Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan

Published

on

25 November 2024


Sekali lagi, saya tidak mengkritik terkait alur cerita atau tokoh-tokoh lain yang secara langsung tidak berkaitan dengan aspek kebudayaan Minahasa. Akan tetapi titik berat saya dari tulisan ini adalah resiko yang sangat mungkin terjadi ke depannya terkait warga penghayat kepercayaan, atau masyarakat yang melakukan ritual adat, atau bahkan para tokoh penyembuh tradisional.”


Penulis : Gerard Tiwow


TULISAN INI DAPAT MEMUAT BEBERAN CERITA

” Saya Perintahkan Anda Untuk Keluar!”

Film ”Mariara : Perjamuan Maut”  telah sukses melaksanakan peluncuran dan pemutaran film pertama di XXI Plaza Senayan pada tanggal 23 November 2023. Kegiatan yang juga disebut dengan Gala Premier tersebut, berhasil menarik perhatian kawanua di Jakarta dan sekitarnya, serta masyarakat umum yang bukan keturunan Minahasa. Tampak pada malam itu, ratusan penonton memadati XXI Plaza Senayan untuk menyaksikan langsung film yang dikatakan telah menuai kontroversi bagi sejumlah budayawan. Film besutan Veldy Umbas tersebut menyoroti fenomena mariara atau juga disebut dengan tukang doti (santet) yang berada di Tanah To’ar-Lumimu’ut.  Film yang mengambil latar desa fiksi Patemboan ini, diperankan oleh sejumlah aktor seperti Eric Dajoh sebagai Pendeta Edward, Leon Alexander (Pendeta Muda David), Servie Kamagi (Marten), Mercy Lateka (Lorin), dan lain sebagainya. Sebagai Tou Minahasa, saya mengapresiasi Veldy Umbas yang telah menghadirkan Minahasa di kancah perfilman nasional.

Saya tidak akan membahas tentang alur cerita atau sinopsis, melainkan tulisan ini adalah kritik dari saya pribadi sebagai pelaku budaya. Dalam pemutaran film itu, saya sebenarnya sudah menduga bahwa akan terjadi akurasi istilah, penggunaan properti, dan menyinggung stigmatisasi warga Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, saya membuat beberapa catatan di buku saku untuk membantu saya mengingat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk film yang akan meluncurkan sequel di beberapa tahun mendatang.

Kritik Istilah, Properti, dan Adegan

Aspek pertama yang saya soroti adalah penggunaan istilah. Dalam awal film tersebut, kata ”mariara” dijelaskan oleh pemeran dengan kalimat, ”Kalu di sini tukang ba uba ato pang ba doti, torang ja bilang mariara” (Kalau di sini orang yang memiliki kemampuan pengobatan tradisional atau tukang santet, disebut dengan mariara). Hal ini jelas sangat ambigu, frasa ”tukang ba uba” yang sejatinya praktek positif untuk melakukan penyembuhan penyakit secara tradisional atau disebut juga dengan disejajarkan dengan frasa ”pang ba doti” yang jelas praktek negatif dengan tujuan memberikan penyakit atau bahkan kematian bagi sasaran yang malang. Silogisme yang tidak benar seperti ini dan menurut saya sesat, dan dapat memicu semakin maraknya stigmatisasi terhadap orang-orang di kampung yang dipercaya masyarakat sebagai tokoh penyembuh.

Mangundam berasal dari kata undam yang berarti ”obat”, sementara Mariara memiliki kata dasar riara yang berarti racun. Sehingga dengan logika sederhana, obat adalah senjata untuk melawan racun itu sendiri.

Di Minahasa, sejak zaman kolonial, para Tona’as Mangundam (tokoh penyembuh) dan Wali’an (pemimpin upacara keagamaan Minahasa) menjadi buruan pemerintah. Stigmatisasi oleh para penginjil yang mengaitkan mangundam dengan praktek sihir juga mulai bermunculan. Stigma-stigma negatif yang ada pada hari ini, merupakan warisan kebanggaan kolonial untuk memisahkan masyarakat Minahasa dengan identitas asli dan leluhur mereka.

Selanjutnya, dalam film tersebut, pelaku mariara dalam kapasitas sebagai pemimpin ritual, disebut dengan mapu’is oleh pengikutnya. Hal ini semakin membuat saya mengernyitkan dahi sambil mencatat.

Di Minahasa dan bahkan suku-suku Austronesia lain, praktek pengambilan kepala manusia untuk keperluan ritual ataupun memento perang yang disebut mamu’is/mapu’is, merupakan praktek yang lumrah di masa itu. Pada hakikatnya mamu’is dapat dikatakan sebagai tugas yang mulia. Kosmologi Minahasa menyebut bahwa kejahatan dan kebaikan bermula dari kepala, dan terkadang kejahatan lebih mendominasi dari kebaikan. Sehingga untuk mencegah terjadinya konflik yang mengancam secara eksistensial, baik individu atau kolektif, seorang ma’muis akan pergi mengambil kepala sebelum kepala tersebut memerintahkan tubuh untuk melakukan kejahatan.

Setidaknya di era Permesta, istilah mamu’is atau mapu’is masih dipakai untuk menyebut “tentara pembela keadilan” tersebut, yang mengambil kepala-kepala tentara pusat. Akan tetapi, dewasa ini, istilah mamu’is lebih dimengerti sebagai penculik atau siluman yang gemar menculik anak-anak di petang hari. Masih dapat ditemui seruan “Pulang jo ngana, jang mamu’is ambe!” (Pulang saja kamu, atau akan diambil mamu’is) oleh para ibu yang memanggil anaknya untuk pulang.

Penggunaan istilah yang tidak tepat ini, akan mengacaukan pemahaman masyarakat yang tidak mendalami kebudayaan Minahasa untuk mengidentifikasi mamu’is/mapu’is sebagai pemimpin ritual mariara. Lebih lanjut lagi dan memiliki potensi kerusakan yang lebih besar, ketika masyarakat mengidentifikasi para tona’as atau wali’an sebagai mariara itu sendiri.

Bulu kuduk saya ketika menulis bagian ini sudah mulai berdiri, bahkan di tengah hari teriknya panas Jakarta, karena sudah menyebut istilah ”mariara” yang sebenarnya sangat tabu untuk diucapkan.

Dalam adegan si mariara melakukan ritual, di meja terlihat zezeta’an/rerumeta’an (simbol-simbol syukur) berupa buah pinang dan sirih, kower, dan rokok lintingan di atas daun pisang. Hal ini menurut saya, juga akan semakin memperparah stigma negatif masyarakat ketika dalam suatu prosesi ritual – yang tentunya bersifat positif – melihat adanya zezeta’an/rerumeta’an di atas meja. Kalangan awam akan langsung memberikan prejudis bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya sedang melakukan praktek sihir atau negatif lainnya.

Ada juga aksesoris yang secara eksplisit disebut akar bahar atau di Minahasa disebut dengan kamasilan/kamangsilang. Hewan laut yang menyerupai tumbuhan ini memiliki nama ilmiah Antipathes dichotoma lazim dipakai oleh orang-orang, karena secara ilmiah memiliki khasiat obat seperti melancarkan peredaran darah dan masalah tulang lainnya.

Akan tetapi, dalam film ini, “Si Mariara” diidentifikasi karena menggunakan akar bahar sebagai gelang. Efek negatif yang muncul pun tidak dapat dipungkiri, orang-orang awam yang melihat seseorang menggunakan akar bahar akan langsung dituduh atau dilabel sebagai pelaku mariara.

Selanjutnya, pakaian jubah serta kamar Si Mariara di dominasi dengan kain berwarna merah, serta pedang pusaka yang digunakan oleh loklok (makhluk ghaib yang bertubuh kerdil) juga diikatkan lenso (sapu tangan) berwarna merah. Saya teringat cerita Tonaas Rinto Taroreh dari Warembungan, ketika ia menjelaskan di periode 2000-an, menggunakan kain merah atau mengikat sesuatu benda dengan kain merah merupakan simbol bahwa orang tersebut melakukan praktek mariara.

Lebih jauh lagi, Si Mariara ketika melakukan ritual terlihat kerasukan oleh roh. Di Minahasa ada beberapa istilah yang sangat kontras untuk mengidentifikasi fenomena ini. Istilah Kinampetan dikenal oleh pelaku budaya ketika leluhur datang dan menggunakan tubuh seorang tona’as yang disebut dengan pa’kampetan, untuk melakukan aktivitas pengobatan, pembersihan, memberikan nasehat, dan lain sebagainya. Ada juga istilah Kinaselazan yang merujuk pada seseorang yang kerasukan roh jahat yang jelas tidak memiliki niat atau tujuan positif.

Masyarakat awam yang menonton film ini, dan melihat Si Mariara kerasukan, akan langsung mengasosiasikan setiap pa’kampetan atau prosesi ritual Minahasa sebagai praktek mariara.

 

Marten, Sang Kambing Hitam

Di sisi lain, Marten (Servie Kamagi) menjalani kehidupan dengan isolasi dan stigma. Anak lelakinya tidak bisa bersekolah, istrinya mengalami keguguran kandungan, rumahnya dibakar, dan harus terusir dari kampung. Sejak dari awal, film ini menggunakan istilah ”alifuru” untuk menjelaskan Marten yang seorang Kristen, namun masih melaksanakan peribadatan kepada Tuhan menggunakan tata cara yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun.

Oleh sang sutradara, Marten diceritakan sebagai kondisi yang menimpa masyarakat adat Minahasa saat ini. Masih banyak orang Minahasa yang memeluk agama Kristen (Katolik dan Protestan) juga masih mempraktekkan ritual-ritual purba warisan leluhur ini untuk menyembah Tuhan dan menghormati leluhurnya. Terlihat juga ketika Marten sedang berdoa, muncul adegan seorang kakek berjanggut panjang yang berbicara dengannya seolah memberikan nasihat.

Namun yang saya sayangkan, kenapa cerita berdoa secara Minahasa ini tidak dikembangkan lebih lanjut, atau bahkan ada aktor yang memerankan pa’kampetan untuk menunjukkan bahwa fenomena pa’kampetan sebenarnya memiliki ruang khusus, porsi, atau batasan khusus, yakni mendatangkan leluhur untuk memberikan nasihat, petunjuk baik, dan lain sebagainya.

Film ini juga memberi efek suara burung manguni, namun tidak juga dijelaskan apa signifikansi terkait suara manguni terkait tanda-tanda tertentu sesuai yang didengar.

Menurut saya, tokoh Marten dalam film ini seharusnya diberikan lebih banyak pengembangan cerita dan screen time. Sosok Marten dapat dikatakan tidak memberikan dampak lebih banyak pada pertengahan cerita ini. Di akhir film, tampak Marten sedang melinting rokok di suatu malam, di samping api unggun, sepertinya menunggu hewan buruan. Terdengar olehnya suara burung manguni, dan tiba-tiba muncul seekor babi. Marten mengejar babi itu, dan entah bagaimana, tidak dijelaskan secara personal dari sudut pandang Marten, kenapa dia berhasil memberikan serangan pamungkas kepada Si Mariara, padahal dia sedang berburu babi. Apakah babi itu pertanda dari leluhur untuk mengantar Marten kepada Si Mariara.

Konflik Buku dan Konflik Batu

Ada beberapa titik berat yang dalam pandangan saya, yang coba diekspos film ini. Pertama adalah fenomena mariara itu sendiri, selanjutnya stigma negatif dan prejudis masyarakat terkait penghayat kepercayaan, dan terakhir adalah perbedaan pendapat dalam interpretasi teologis Alkitab.

Adegan ketika Pendeta Muda David (Leon) dan Pendeta Edward (Eric) berdebat tentang interpretasi keselamatan dan belas kasih Allah, merupakan permulaan. Pendeta Muda David digambarkan sebagai seorang pendeta yang baru saja lulus kuliah dan mendapatkan tugas pelayanan di desa Patemboan, memiliki perspektif yang berbeda tentang Marten, ketimbang Pendeta Edward.

Perbedaan tersebut memuncak ketika Pendeta Muda David berhasil meyakinkan Marten untuk kembali mengikuti ibadah di gereja, namun diusir dengan tegas oleh Pendeta Edward. Namun Marten maju ke mimbar, dan memberikan Alkitab kecilnya ke dada Pendeta Edward sambil berkata, ”Kalau seperti itu Allah, maka saya lebih baik keluar”. Hal ini menyiratkan bahwa Marten yang melakukan praktek kepercayaan local, ingin juga mengikuti ibadah gereja. Namun oleh karena doktrin gereja, dia sudah tidak layak mendapatkan belas kasih Allah dan sebaiknya tidak usah masuk gereja.

Beberapa aspek dalam film ini juga memberikan gambaran terkait ”Iman Yang Menyelamatkan”. Adegan ini memuncak pada akhir film, ketika Pendeta Muda David ditangkap oleh loklok dan hendak dibunuh. Dengan pedang yang diikat kain dan lenso merah, loklok tidak mampu menusuk sang Pendeta Muda. Ia pun menjelaskan kepada loklok bahwa keyakinan pada Allah yang memiliki kuasa menyelamatkannya, dan juga mengatakan ”kebaikan itu selalu lebih besar dari kejahatan”.

Film ini berupaya membatasi ruang konflik. Konflik internal antara Pendeta Edward dan Pendeta David diselesaikan oleh keduanya, dan konflik – yang sebenarnya tidak ada – antara Si Mariara dan Marten  juga diselesaikan dengan Marten sebagai pemenang.

 

Bauni, Badiam, Bapikir, Basuara

Sekali lagi, saya tidak mengkritik terkait alur cerita atau tokoh-tokoh lain yang secara langsung tidak berkaitan dengan aspek kebudayaan Minahasa. Akan tetapi titik berat saya dari tulisan ini adalah resiko yang sangat mungkin terjadi ke depannya terkait warga penghayat kepercayaan, atau masyarakat yang melakukan ritual adat, atau bahkan para tokoh penyembuh tradisional.

Film sejatinya ditujukan untuk publik secara umum, dan harus mengambil pertimbangan bahwa tidak semua orang mengerti konteks dan teks dari film itu sendiri. Khususnya film ini, masyarakat awam yang mungkin sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang budaya Minahasa, akan langsung memberikan penilaian deduktif negatif berdasarkan aspek-aspek yang ditonjolkan pada film ini, ketika melihat secara langsung proses ritual atau praktek pengobatan tradisional.

Malahan film ini juga menjadi justifikasi bagi kelompok atau sebagian masyarakat Minahasa yang sangat anti dengan praktek ba opo’ (istilah pejoratif untuk kegiatan ritual). Melalui depiksi pemanggilan roh, penggunaan kain merah, zezeta’an/rerumeta’an yang ada, akan semakin terkoroborasi pemahaman mereka terkait kesesatan praktek ritual dan pengobatan tradisional.

Di sisi lain, para pelaku budaya lain juga akan sangat kuat tersinggung, ketika melihat hal-hal yang sejatinya dan memang memiliki nilai positif, diputarbalikkan melalui film ini. Apakah nantinya kawasaran tidak akan menggunakan akar bahar untuk aksesoris, atau apakah para tona’as dan walian sudah akan kembali bersembunyi. Atau apakah nantinya, kebudayaan tua Minahasa akan putus dan punah, karena misleading yang ditimbulkan dari film ini.

Ironis bahwa seharusnya film ini menunjukkan kolaborasi antara kaum rohaniwan agama dan orang-orang seperti Marten untuk menuntaskan mariara bersama-sama. Menurut saya, perlu adanya pemahaman yang kuat serta pengamalan yang kuat terkait kebudayaan Minahasa untuk memproduksi film serupa di masa mendatang.

Akhir kata, melalui tulisan ini saya mau mengajak semua Tou Minahasa untuk menonton film ini pada tanggal 27 Januari 2024, ketika film ini didistribusi ke seluruh bioskop. Tulisan ini saya harap menjadi sumber kritis bagi pemirsa film yang berasal dari kalangan awam yang memiliki sedikit pengetahuan terkait kosmologi Minahasa, dan menjadi sumber referensi untuk membela sesama pelaku budaya, bagi kalangan pemerhati dan pegiat budaya di Minahasa.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *