CULTURAL
Filosofi Wale, Foso Tumo’tol hingga Rumamba
Published
3 years agoon
4 Februari 2022
Wale bagi orang Minahasa ibarat mikro kosmos. Di dalamnya tercakup tempat perlindungan, tempat ibadah, dan yang paling utama sebagai tempat belajar. Wale diibaratkan seperti inkubator, bahkan rahim, yang akan membentuk karakter manusia yang tinggal di dalamnya.
Oleh: Leonard Wilar
Editor: Rikson Karundeng
ORANG Minahasa memilik rumah khas yang disebut wale. Dahulu, wale atau rumah di daerah ini dibangun cukup besar dan dihuni oleh beberapa keluarga. Jenis rumah itu dikenal dengan wale wangko, rumah besar atau rumah panjang.
Pendirian wale punya tata cara khusus dan tidak boleh sembarangan. Semua melalui foso (ritus) Sejak awal proses pembangunan hingga tuntas, harus dikaitkan dengan alam sehingga jadi satu kesatuan. Wale harus menyatu dengan alam.
“Tata caranya sudah dimulai ketika proses pemotongan pohon, yang nantinya diolah menjadi kayu untuk bahan dasar pembuatan rumah,” kata Rinto Taroreh, budayawan Minahasa asal wanua (desa) Warembungan.
Para leluhur, orang tua terdahulu, memiliki pengetahuan dan cara khusus untuk menentukan waktu dan cuaca yang tepat untuk memulainya. Proses pemotongan pohon juga harus melalui upacara “tumalinga ni koko”, mendengar tanda burung manguni. Apabila tanda baik, biasanya keluarga yang akan mendirikan rumah, saat itu juga akan memotong pohon di hutan atau di kebun untuk dibawa ke rumahnya.
“Pohon yang digunakan bukan sembarangan. Orang tua dulu biasanya memilih dua jenis pohon sebagai bahan dasar. Pertama, pohon tahas atau cempaka. Kedua, pohon wakan. Pohon tersebut harus dipilih. Pohon yang digunakan itu pohon yang tidak posok atau tidak patah ujungnya saat bertumbuh. Terkena petir pun tidak bisa digunakan. Jadi harus mengunakan pohon yang bagus,” ungkap Taroreh.
Menurutnya, orang tua dahulu memiliki alasan hingga menggunakan kedua jenis kayu tersebut. Pertama, kenapa kayu tahas karena kayu ini yang paling mengikuti musim. Apabila musim panas, kayu ini akan mengecil, dan ketika musim hujan akan mengembang. “Artinya ‘bahidop’, kayu itu hidup” ujar Taroreh.
“Kedua, kayu wakan ada getah yang gatal. Alasan orang tua mengunakan kayu ini, untuk mengetahui apabila ada orang yang berniat tidak baik masuk ke rumah, dapat diketahui. Kayu wakan biasa digunakan di atas ruang tamu. Apabila ada yang berkunjung duduk di ruang tamu, jika gelisah itu menandakan mereka memiliki niat tidak baik,” jelasnya.
Fredy Wowor, budayawan Minahasa asal Sonder, juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya, proses pendirian wale harus diawali dari kesadaran tou (manusia). Ketika memiliki rencana untuk mendirikan rumah, doa dan berhubungan dengan Sang Pencipta jadi hal yang utama untuk memulainya sehingga dapat berjalan dengan baik. Bukan hanya itu, menurutnya pengetahuan membaca tanda-tanda alam yang dimiliki leluhur, jadi salah satu faktor yang diperhatikan dalam proses pendirian rumah.
Menanam pohon sudah jadi kebiasaan yang dilakukan orang tua sejak dulu. Itu dilakukan agar anak dan cucu bisa menikmatinya saat pohonnya sudah besar. Kesadaran itu sudah dimiliki orang tua, bahwa kayu tersebut akan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Sehingga pohon yang ditanam sejak, nanti bisa dijadikan bahan dasar untuk mendirikan rumah.
“Dahulu rumah khas Minahasa adalah rumah panggung. Meskipun saat ini banyak yang bertransformasi menjadi rumah beton, tapi masih banyak yang mengunakan rumah panggung,” ungkap Wowor.
Kayu yang dipakai untuk rumah memiliki filosofi tersendiri. Contohnya ‘tiang raja’, itu menentukan masa depan bagi keluarga pemilik rumah. Sebisa mungkin dari awal pemasangan kayu yang akan dijadikan ‘tiang raja’, tidak boleh terbalik. Dikarenakan bisa celaka keluarga pemilik rumah dan akan membawa bencana.
“Begitu juga yang dipakai untuk tiang-tiang yang lain, memakai kayu tersendiri. Dinding, dan balok pun demikian juga. Samua itu memiliki makna bagi orang Minahasa,” sebut Wowor.
Tata Cara Tumo’tol
Proses pendirian wale akan dimulai saat mereka berdoa, berencana, mendengar tanda burung, juga tanda alam. Ketika semua aspek sudah diperhatikan dengan benar, masuk ke tahap peletakan ‘batu pertama’.
“Upacara adat ‘tumo’tol’ atau peletakan batu pertama sebagai dasar bangunan. Pertama, orang tua menggali tanah yang akan menjadi fondasi awal. Batu yang jadi landasan ada tiga batu. Tiga batu ini bentuk ‘batu dodika’ atau batu tungku yang dikenal dalam masyarakat kita,” terang Rinto Taroreh.
Di tengah ketiga batu itu diletakan piring putih, dan uang koin. “Uang koin itu menyimbolkan kemakmuran. Seperti bilangannya, ‘Sebagaimana tanah ini ada yang punya, ibaratnya kita akan ganti’. Itu makna dari peletakan uang koin di atas piring putih,” kata Rinto.
Piring putih polos yang tidak bercorak apapun, juga digunakan untuk menutup uang koin. “Piring putih memiliki makna tentang kebersihan hati. Piring putih diletakan di tengah ketiga batu yang ditaruh. Selanjutnya, ditutup dengan batu besar di atasnya,” jelas Rinto.
Batu yang dijadikan sebagai dasar awal fondasi, diambil dari kuala (sungai). Batu itu disebut watu laney. Batu yang licin namun keras. Ia akan menjadi dasar fondasi awal rumah.
“Watu laney mempunyai ‘bilangannya’. Saat diambil dari sungai, biasa ada ungkapan dalam bahasa tana’ yang artinya,’Bagaimana kerasnya batu ini, begitu juga kerasnya orang yang menempati rumah ini. Bagaimana licinnya batu ini, begitu juga kalau ada orang yang mempunyai niat tidak baik hanya akan terpental’,” tutur Rinto.
Setelah tiga batu, koin dan piring selesai diletakkan, selanjutnya ada batu yang akan diletakkan di atas tanah yang disebut batu arihi. Tiang yang diletakkan di atas batu itu disebut arihi, balok yang melintang di bagian bawah disebut pangarian wawa. Balok yang melintang di bagian atas disebut dengan pangarian natas.
Hal yang sama juga diungkapkan Fredy. Menurutnya, dahulu ketika akan meletakkan ‘batu pertama’, itu dilakukan dengan mendengar tanda burung dan tanda alam. Bukan hanya itu, mereka juga berdoa agar rumah yang nanti didirikan membawa berkat untuk keluarga yang akan menempatinya, bahkan untuk semua yang ada di sekelilingnya. Dalam doa dan permohonan disebutkan, rumah itu sebagai tempat berlindung.
Foso Sumolo dan Proses Rumamba
Ketika wale selesai dibangun, sebelum ditempati akan dilakukan upacara adat yang disebut sumolo atau memasang lampu. Lampu yang digunakan adalah lampu teplok botol. Lampu itu akan diletakan selama tiga hari dan tidak boleh padam. Selama pengerjaan rumah dari awal sampai akhir, yang menjadi pemilik rumah sementara adalah bas (tukang).
“Saat akan memulai sumolo, saat itu juga pemilik asli rumah akan datang dan seakan mengetuk pintu. Bersamaan dengan itu, tukang di dalam rumah akan keluar dan bertanya maksud kedatangan mereka. Pemilik rumah akan berucap, seakan datang untuk membeli rumah tersebut,” jelas Rinto.
Wale sangat penting, karena ada tiga titik yang terhubung di situ. Pertama, manusia. Di badan manusia itu nawak, terdapat juga asengan atau roh dari kehidupan manusia, angin atau nafas dari Sang Khalik. Badan manusia menurut Rinto, hanya wadah yang terhubung untuk bisa membuat hasil karya, dan atas restu Sang khalik rumah tersebut bisa jadi. Kemudian, kayobaan, tempat alam semesta, semua itu jadi satu kesatuan dan tidak terputus.
Setelah proses sumolo selesai, akan dilakukan upacara adat rumamba’, yang artinya batada atau menghentakkan kaki. Proses rumamba akan ada gerakan-gerakan sambil orang-orang membuat lingkaran dan bernyanyi.
“Makna dari proses tersebut untuk menguji kekuatan rumah. Puncak dari upacara adat ini, ada satu bagian rumah yang akan dipatahkan atau rango. Contohnya, sudah tersedia papan yang akan ditendang sampai patah, dan dengan demikian upacara adat rumamba sudah selesai,” papar Rinto.
Wale, Dapur dan Batu Dodika
Fredy menjelaskan, rumah bagi orang Minahasa ibarat mikro kosmos. Di dalamnya tercakup tempat perlindungan, tempat ibadah, dan yang paling utama sebagai tempat belajar. Rumah diibaratkan seperti inkubator, bahkan rahim, yang akan membentuk karakter manusia yang tinggal di rumah itu.
“Jangan lupa, dulu orang Minahasa seperti memiliki trah-trah atau klan. Makanya kalau di Tontemboan ada istilah tu’ur imbale, yang berarti pemimpin keluarga,” kata Freddy.
Ia juga menjelaskan, di kampung-kampung, para tu’ur imbale seperti ‘kelung umbanua’ atau ‘aka imbanua’, mereka yang menjadi fondasi di dalam klan (rumah). Rumah yang dijadikan sebagai tempat perlindungan, tempat ibadah dan tempat belajar, dalam konsep tertentu adalah ruang hidup bagi keluarga, dan yang akan menentukan masa depan mereka.
Salah satu bagian sentral di dalam rumah juga adalah dapur. “Dapur kalau model dulu, hanya seperti ‘batu dodika’ yang menyimbolkan keharmonian, mengingatkan tentang asal usul, tapi juga mengingatkan tentang ikatan keluarga,” jelas Fredy.
Secara filosofis, dari sisi pembelajaran, ‘batu dodika’ mengingatkan orang Minahasa tentang tiga hal yang mendasar. Ngaasan (kecerdasan), niatean (punya kepekaan), dan keter (kuat secara fisik). Hal itu yang membentuk kualitas tou (orang) dari rumah tersebut.
“Dengan demikian manusia harus pakai otak, punya hati bersih, dan harus kuat. Tapi itu tidak terpisah, namun utuh dalam diri seseorang. Output dari keluarga tersebut, mereka akan mendidik tonaas,” tegas Fredy.
‘Batu dodika’ juga simbol yang mengingatkan tentang spiritualitas, Tuhan, orang tua, dan anak. Ikatan inilah yang menentukan hakekat sebagai tou Minahasa. “Jadi kita tidak perlu resah dan memperdebatkan bahwa leluhur kita, kalau dari bahasa biologis seperti kera atau sekarang heboh-heboh berasal dari Dinasti Han. Tidak akan bermasalah, apabila kita memahami tiga prinsip (batu dodika) ini dan tidak akan goyah,” tandasnya.
Dalam lingkaran tersebut, generasi saat ini bisa memahami ada orang tua, dan orang tua kita memiliki silsilah, dan sadar silsilah itu berasal dari Tuhan. Tiga ‘batu dodika’ ini ada dalam ikatan dan mengingatkan juga tentang tiga acuan hidup orang Minahasa, yang disebut sebagai leluhur Karema, Lumimu’ut, dan Toar. Mulai dari pendidikan, spiritualitas, dan bersosial.
Kata Fredy, ada ungkapan tua ‘dapur berasap’ yang masih tetap hidup sampai sekarang. Itu juga bagian dari eksistensi orang Minahasa agar hidup bersosial dan dimulai dari keluarga. Etos hidup dari sebuah keluarga, juga ditentukan dari ‘dapur manyala’, atau ada aktivitas yang dilakukan di dalam dapur dari pemilik rumah.
“Dari tiga hal tersebut, tempat perlindungan, tempat belajar, dan tempat ibadah, pokok dasarnya di sini. Makanya kalau kita lihat saat ini, terkadang oma atau opa tinggal atau memiliki kamar tidur dekat dapur,” kata Fredy.
Selanjutnya, api adalah simbol kehangatan, juga semangat. “Kalau di rumah dulu saat bangun pagi, kita biasa menyalakan api untuk memasak air. Maknanya, saat mereka akan menyalakan api, kalau dulu, pagi-pagi mereka pergi ke tetangga untuk meminta api. Dikarenakan saat diberikan hanya bara api saja, tugas mereka untuk buat api tersebut agar bisa menyala. Itu menjadi semacam cermin. Sama seperti saat kita merefleksikan proses meminta api dan membawa api tersebut ke dapur kita. Dapur memiliki filosofi yang diibaratkan, kalau di rumah seperti jantung. Karena, saat masih berdenyut, pasti keluarga tersebut masih hidup,” jelas Fredy. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan