GURATAN
Foso dan Ingatan Nenek
Published
1 year agoon
15 Juli 2023
“Oh ene, tumekel mola puyun. Nenek kumua’mane wa’kamu tia tetey paliuz-liuzen tradisi ne t’ua dulu, zozo katu ung tarekan mawalina mo suasana. Apalagi en’ko mah’kiit wo mah’penero ung tradisi wia um’wanua kenu. Sando mokan ta sumirita u walina, eh lakez pe. Sumambayang sa tumekel’lo.”
Penulis: Etzar Frangky Tulung
MALAM dingin menusuk. Rintik hujan masih menetes pelan di atas atap asbes rumah kecil. Tempat rentetan kenangan masa lalu terangkai dalam ingatan. Tembok retak, pintu kayu keropos dimakan rayap. Sebuah isyarat, rumah ini kian tenggelam ditelan zaman.
Cicak-cicak di dinding bermain kegirangan. Mereka menunggu kupu-kupu mungil yang beterbangan di dekat lampu kecil yang mulai redup. Sesaat terdengar raungan lapar induk kucing. Seakan mengingatkan saya dan nenek untuk makan malam.
Kira-kira pukul setengah 8 malam, nenek memanggilku untuk makan bersama. Nasi bercampur jagung, ‘ikang woku daong’ dan ‘sayor paku‘ sudah tersedia di atas meja. Tersaji indah memikat di atas kain serbet merah tua.
Doa berbahasa daerah Tombulu dilantunkan nenek kepada Opo Empung, Sang Pencipta, sembari mengucap syukur atas berkat kehidupan yang masih bisa dinikmati sampai detik ini. Selesai ‘mengaley‘, membawa syukur dalam sombayang, kami langsung menikmati sajian bersama.
Sementara makan, saya banyak bertanya tentang pengalaman nenek. Tetapi nenek berkata, “Sementara makan, jangan bercerita. Tidak baik.”
Nenek saya bernama Theresia Osak. Ia dilahirkan pada 18 Maret 1940. Jadi kini telah berusia 83 tahun. Tetap terlihat sehat dan masih setia tinggal di wanua tercinta, Taratara, Tomohon. Tepatnya di Taratara Tiga, Lingkungan VI.
Waktu makan malam selesai, kami pun berpindah tempat ke ruang depan. Sebatang rokok kretek dipasang, saya siap mendengarkan cerita tradisi dan pengalaman nenek.
Terlihat nenek menatap ke atas seakan mulai memikirkan sesuatu. Saya pun mulai bertanya, dengan maksud untuk memandu ingatan nenek tentang masa lalunya bersama kakek, kekasih tercinta yang telah berpulang lebih dulu.
Saya pun mulai membuka percakapan, “Nek, sedap itu ikang woku tadi kang. Itu bumbu memang pas skali, apalagi nasi milu dengan sayor paku.”
“Oh kangkwaa, nyaku kwa si mangun’lah itu eh. Ta’an zei’kan si’nemboran saring bata. Kina lake’zan marisa eh kwaa.”
Ia merespons dengan bahasa Tombulu. Artinya, “Yah pastilah, karena nenek yang ada momasa. Mar nyanda tambah akang bumbu sarimbata. Cuma ada kase banyak rica.”
Pertanyaan demi pertanyaan saya sampaikan ke nenek, jawabannya pun sangat enak didengar. Kira-kira pukul 22:00 Wita, rasa kantuk mulai mengganggu. Akhirnya saya menyerah, dan bermaksud hendak pamit untuk tidur lebih dulu.
Baru saja hendak berdiri dari kursi, nenek kemudian bertutur tentang pengalaman ketika mendiang kakek saya akan mencari ikang di malam hari. Sontak saya pun langsung duduk kembali. Ada keinginan besar yang menahan agar tetap mendengar cerita ini.
“Dulu waktu kakek masih ada, amper tiap malam dorang mancari ikang. Mancari tikus ekor putih, kodok, burung utang, meong utang, tikus terbang dengan ular patola,” kata Nenek Theresia.
“Mar yang paling selalu ja dapat tikus terbang atau kelelawar. Kebanyakan ditangkap di daerah puncak Tetempangan atau yang ada dekat jurang,” jelas Nenek Theresia.
Saya pun bertanya ke nenek, alat apa yang biasa digunakan olek kakek untuk menangkap kelelawar. Saya juga menanyakan, biasanya berapa banyak hasil buruan yang biasa dibawa pulang, apa ada tradisi atau ‘foso’ yang biasa dilakukan sebelum mancari hewan buruan.
“Oh, kalo yang digunakan namanya pukat atau jaring yang ada pakai bulu di ujung kiri dan kanannya. Biasanya, satu malam ada sekitar empat sampai lima ekor yang dibawa pulang. Itu sudah cukup untuk bisa makan dua sampai tiga kali,” jelas Nenek Theresia.
Selanjutnya, nenek menjelaskan tentang larangan atau ‘foso’ yang dilakukan oleh orang rumah atau mereka yang pergi mancari hewan buruan di malam hari.
“Biasanya, sebelum berangkat ke lokasi, kakek sudah berpesan kepada orang rumah untuk jangan membuka pintu saat mereka sudah pergi. Apalagi bermain pintu, dibuka tutup banyak kali,” ucap Nenek Theresia sambil tersenyum.
Melihat nenek yang tersenyum, membuat saya ikut tersenyum sambil berkata dalam hati, “Nenek pasti senang berpikir tentang masa-masa itu bersama kakek.”
Ia menjelaskan, arti dari pintu yang harus ditutup setelah mereka pergi berburu ialah agar perjalanan mereka untuk berburu bisa mendapatkan hasil dan hal-hal buruk tidak terjadi. Jikalau pintu rumah terbuka, berkat atau kemujuran tidak akan menghampiri mereka.
“Biasanya juga, kakek dan temannya kalau sudah di hutan, mereka mendengarkan petunjuk burung Manguni. Kalau burung itu berbunyi dekat mereka, berarti di situ ada berkat,” tambah Nenek Theresia.
Jika semua foso dilakukan dengan baik, nenek memastikan, sesuai pengalaman, ternyata benar saat mereka kembali ke rumah akan membawa hasil buruan yang bisa dikatakan lumayan.
Saya bertanya lagi, apakah sudah pernah terjadi kalau melanggar hal itu tidak akan ada hasil buruan yang didapat?
“Sudah, beberapa kali terjadi. Itu bisa dibilang kesalahan nenek. Waktu itu, nenek sudah diperingatkan kakek, dan nenek sudah bilang ke anak-anak untuk tidak boleh bermain pintu saat kakek mancari ikang. Tetapi waktu nenek sedang memasak, anak-anak bermain masuk keluar rumah,” ungkap Nenek Theresia dengan tertawa.
Nah, setelah kejadian di rumah itu, beberapa jam kemudian kakek dan temannya tiba. Nenek pun menyimpan niat untuk bertanya apakah ada hasil atau tidak. Hanya menunggu, berharap penjelasan kakek.
Setelah itu, kakek pun berkata, “Yah, maka’ilek man u esa eh, woo soe apa u wengi kenu’.” Artinya, “Hanya mendapatkan satu ekor saja, tidak tau keburukan apa di malam ini.”
“Jadi, setelah mendengar itu, nenek tidak mau lagi bertanya atau menambah cerita. Karena, nenek sudah tau mungkin karena kejadian di rumah sebelumnya, sehingga perburuan kakek dan temannya hampir tidak mendapatkan hasil,” jelas Nenek Theresia dengan penuh tawa dan haru.
Hujan semakin deras, hawa dingin malam pun semakin menusuk hingga ke sendi-sendi tulang. Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 23:15 Wita. Saya pun berdiri sambil berkata, “Nek, nanti lanjut besok jo neh, so lat ini. Nenek so boleh bobo.”
“Oh ene, tumekel mola puyun. Nenek kumua’mane wa’kamu tia tetey paliuz-liuzen tradisi ne t’ua dulu, zozo katu ung tarekan mawalina mo suasana. Apalagi en’ko mah’kiit wo mah’penero ung tradisi wia um’wanua kenu. Sando mokan ta sumirita u walina, eh lakez pe. Sumambayang sa tumekel’lo.”
Mengakhiri percakapan malam itu, nenek memberi nasehat. Artinya, “Oh io, silahkan tidur cucu. Nenek hanya berpesan, jangan pernah dilupakan tradisi orang-orang tua dulu, walaupun sekarang sudah berbeda zaman. Apalagi ngana sekarang sedang ada dalam proses mencari tau tentang tradisi di kampung ini. Nanti lagi lanjut bercerita besok, karena masih banyak lagi yang nenek mau cerita. Jangan lupa berdoa sebelum tidur.”
Setelah selesai mendengar pesan nenek, saya kembali ke kamar untuk beristirahat. Berencana bangun subuh, agar bisa berpapasan dengan jam bangun nenek. Sehingga boleh menikmati kopi pagi bersama dan bercerita pengalaman lainnya. “Sigi Wangko”. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan