Connect with us

CULTURAL

Gambar Wajah Yesus di Dinding Rumah

Published

on

04 Maret 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

Berabad-abad lamanya, gambaran tentang Yesus sangat Eropasentris, kini muncul banyak upaya untuk memahami Yesus dari kebudayaan yang lebih beragam

 

KEBIASAAN orang-orang Kristen di Minahasa atau  di mana saja sedunia adalah memajang gambar Yesus di dinding rumah. Entah di ruang tamu, di ruang belajar atau di kamar. Gambar Yesus yang berambut panjang dan pirang, berjenggot dan berpakain khas orang-orang di tanah Palestina pada masa yang sangat lampau itu.

Salah satu lukisan yang sering dipajang adalah “Perjamuan Terakhir” karya Leonardo da Vinci yang dibuat kisaran tahun 1495–1498. Tentu bukan lukisan asli yang berharga jutaan dollar Amerika itu, melainkan duplikat yang dicetak di tempat-tempat percetakan. Lukisan lainnya adalah Yesus di atas kayu salib; Yesus dan anak domba; Yesus gembala yang baik, dlsb.

Itukah wajah asli Yesus? Sekali lagi, berambut panjang dan pirang, berjenggot dan menampakkan muka orang Eropa?

Brian Strassburger, seorang sarjana Yesuit yang bekerja pada Asociación Roncalli-Juan XXIII, lembaga non profit yang disponsori Yesuit di Managua, Nikaragua, memiliki rupa seperti Yesus dalam anggapan orang-orang Kristen se-dunia. Ia berambut panjang, pirang, dan berjenggot.

Strassburger berkisah. Suatu malam ia ke sebuah toko di Bronx, New York City untuk berbelanja. Ia keluar dari mobil dan berjalan melintas lapangan parkir. Seseorang dari dalam mobil melihat dia. Si orang itu tiba-tiba menginjak rem, melihat ke luar dari jendela mobil dan berteriak: “YESUS!”

Strassburger  segera sadar. Bahwa yang dimaksud si orang itu adalah dirinya yang berwajah seperti Yesus dalam banyak gambar yang beredar.

Kisah ini diceritakan Strassburger pada artikelnya berjudul ‘The Face Of Jesus” termuat pada The Jesuit Post (2 September 2015).

Strassburger melanjutkan, bahwa orang di dalam mobil tadi itu, bukanlah yang pertama menyamakan dia dengan wajah Yesus. Justru orang pertama adalah bibinya sendiri yang hanya setahun tidak bertemu.

“Adakah yang pernah memberitahumu bahwa kamu mirip Yesus?”

“Kita semua dipanggil untuk meniru Kristus!” jawab Strassburger.

“Kadang-kadang saya melanjutkan dengan mengatakan, ‘Anda tahu, saya juga melihat Yesus di wajah Anda,” kata Strassburger.

Lalu, bagaimana wajah Yesus sesungguhnya?

Alkitab dan tulisan para sejarawan paling awal tidak menulis gambaran wajah Yesus. Alkitab dan ajaran gereja memberitahukan bahwa, Yesus adalah seorang Yahudi yang hidup di abad abad pertama. Ia dari Galilea. Alkitab tidak menyampaikan bukti-bukti fisik Yesus secara detil. Kata Strassburger, di era Romawi, lukisan untuk wajah orang-orang pada umumnya jarang dibuat. Kecuali patung atau lukisan untuk kaisar.

“Catatan terbaik kita tentang Yesus (beberapa kitab yang kita sebut Injil) gagal memberikan deskripsi yang akurat tentang penampilan fisiknya,” kata Strassburger.

Strassburger berkelakar, misalnya tidak ada penulis perjanjian baru yang menulis ayat begini:

Yesus, yang menyibakkan rambut panjang di belakang telinganya, berbicara kepada orang banyak sambil membelai janggutnya yang terawat baik, “Pemerintahan Allah sudah dekat.”

Dengan tidak ada deskripsi historis yang dapat dijadikan sebagai rujukan valid, maka para seniman di abad pertengahan misalnya lebih mengandalkan imajinasi untuk melukis wajah Yesus. Imajinasi mereka tentu berangkat dari budaya Eropa yang mereka hidupi.

Ambil contoh misalnya lukisan “Perjamuan Terakhir” karya Leonardo da Vinci. Strassburger berkata, penggambaran Yesus oleh da Vinci memberi indikasi apa yang tren di masa itu, yaitu rambut bergelombang panjang yang mengalir di sekitar wajah berkulit putih Yesus.

“Ini mungkin salah satu gambar seni Eropa abad pertengahan yang paling bertahan lama,” kata Strassburger.

“Taking of Christ” karya Caravaggio yang mengambarkan Yesus memiliki janggut dan rambut bergelombang.

“Christ Carrying the Cross” karya El Greco, juga melanjutkan tradisi rambut panjang dan janggut pada Yesus berkulit putih.

“Lukisan-lukisan ini terkenal di dunia karena keindahannya. Tetapi sessungguhnya apakah mereka mewakili penggambaran Yesus yang akurat?” Kata Strassburger.

Robyn J. Whitaker, pengajar dalam studi biblika di University of Divinity, Australia punya pengalaman dengan lukisan Yesus di rumahnya. Sebagai seorang anak kecil dari keluarga Kristen, ia punya gambar Yesus yang digantung di dinding kamarnya. Itu sekitar tahun 1970-an. Dia tahu Yesus itu tidak berkulit putih

“Tetapi sebagai seorang gadis kecil aku menyukainya. Dalam gambar ini, Yesus terlihat baik dan lembut, dia menatapku dengan penuh kasih. Ia juga berambut terang, bermata biru, dan sangat putih,” tulis Whitaker pada theconversation.com, 29 Maret 2018.

Masalahnya adalah, Yesus tidak putih,” lanjutnya.

Senada dengan Strassburger, Whitaker mengatakan, tidak ada deskripsi fisik tentang Yesus di dalam Alkitab. Tapi bahwa ada seorang bernama Yesus yang dieksekusi oleh tentara Romawi pada abad pertama, itu tidak diragukan lagi. Sebagai seorang Yahudi Timur Tengah, kata Whitaker, mestinya Ia berkulit coklat.

***

Para teolog Asia lalu mencari ‘wajah’ Yesus dari kebudayaan Asia. Berabad-abad, penggambaran Yesus sangat Eropasentris, begitupula dengan pengajaran tentang Kristus.

“Gambaran-gambaran mengenai Yesus yang dibawa masuk ke Asia sedemikian rupa terbungkus di dalam pelbagai macam bentuk kristologis sehingga sering kali membuat orang mengabaikan kenyataan Yesus sebetulnya berasal dari Asia, atau persisnya, dari Asia Barat,“ kata Rasiah S. Sugirtharajah,t teolog asal Sri Langka yang mengembangkan tafsir biblika pascakolonial dalam Wajah Yesus di Asia (terbit 1993/2007).

Kita lihat misalnya bagaimana orang-orang Afrika melukis Yesus dalam African Gospel Art. Lukisan-lukisan yang sangat indah itu berada di negara Mafa di Kamerun, Afrika Barat. Kisah-kisah Injil tentang Yesus direkonstruksi menurut kebudayaan mereka. Dalam hal pakaian, arsitektur, lingkungan dan adat istidat.

Rekonstruksi imajinatif kisah Perjamuan Terakhir menghasilkan sebuah lukisan yang menggambarkan Yesus dan murid-murid-Nya berkulit hitam dengan pakaian dan arsitektur ruangan yang khas Mafa. Begitu pula tentang kisah Yesus Gembala Yang Baik.

Lihat juga para seniman di China merekonstruksi wajah Yesus sesuai kebudayaanya. Sebuah lukisan tentang Yesus Gembala Yang Baik karya Ji Jiade menampilkan Yesus dengan mata sipit, berambut panjang dan berjenggot hitam dengan pakaian khas China.

Di Indonesia, terutama di Jawa dapat pula dijumpai Wayang Yesus. Yesus direkonstruksi sesuai dengan seni wayang. Dengan demikian, jelas Ia tidak lagi berambut pirang dan berkulit putih. Di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) Ganjuran, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Yogyakarta pada sebuah ibadat Jumat Agung menggelar wayang yang berkisah tentang Yesus yang disalib.

Pastur Paroki Ganjuran, Romo Herman Yoseph Singgih Sutoro seperti dilansir dari Tribunjogja.com mengungkapkan, pagelaran wayang wahyu ini sebagai visualisasi kisah sengsara Yesus yang dibacakan dalam ibadat untuk membantu umat menghayati kisah tersebut.

“Ibadat Jumat Agung ini gereja mengakulturasikan budaya Jawa, di sana ibadat dalam bahasa Jawa diiringi gamelan dan peraga dengan pakaian Jawa,” tuturnya.

Lalu bagaimana wajah Yesus ketika direkonstruksi oleh para saintis?

Pada 2001 pakar forensik antropologi Richard Neave menciptakan sebuah model pria Galilea dari dokumenter BBC, ‘Anak Tuhan’, dengan menggunakan tengkorak asli yang ditemukan di wilayah itu. Hasilnya adalah, gambaran wajah Yesus yang berambut hitam pendek agak keriting, berjenggot hitam dan berkulit agak gelap. Menurut Neave rekonstruksi ini sekiranya dapat mendekati wajah Yesus dari Nazaret sesuai dengan perawakan orang-orang di sana pada masa itu.

***

Strassburger, sang pastor Jesuit itu mengatakan, “Saya bersyukur bahwa kita tidak memiliki citra historis tentang Yesus. Tentu saja, potret yang menarik akan membuat pemasaran yang baik (seperti kaos Che Guevara teman Anda). Tetapi beberapa hal mungkin lebih baik dibiarkan untuk imajinasi kita.”

Tentang upaya para seniman menggambarkan wajah Yesus menurut kebudayaannya, menurut Strassburger semua itu menawarkan berbagai cara untuk membayangkan Yesus.

Bagi Whitaker jika gambar Yesus selalu dicitrakan berkulit putih, maka berbahaya tercipta ukuran, bahwa manusia mesti berkulit putih.

“Pemikiran seperti itu mendasari rasisme,” kata Whitaker.

Saya sendiri pernah beberapa kali iseng melakukan semacam survei sederhana di kelas pada beberapa matakuliah yang saya ampuh di Fakultas Teologi UKIT. Pertanyaan saya kepada para mahasiswa, ‘Jika kalian berdoa dan menyebut Tuhan, apakah ada sosok yang muncul di kepala anda?’

“Kosong,” jawab seorang mahasiswa.

“Ada,” kata mahasiswa yang lain.

“Ya, ada.”

“Tidak.”

Saya lalu bertanya lagi, “Bagi yang menjawab ada sosok yang muncul, coba gambarkan rupa sosok itu?”

“Berambut panjang. Putih. Pakaiannya terurai panjang. Berjenggot,” jawab seorang mahasiswa.

“Serba putih. Kemilau. Rambut Panjang,” sambung yang lain.

“Siapa, Dia?”

“Yesus,” kata para mahasiswa yang datang dari beragam budaya di Indonesia Timur itu.

“Itulah gambar Yesus yang ada di dinding rumah kalian,” kataku. (*)


Editor: Daniel Kaligis


 

Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *