CULTURAL
Generasi Beridentitas Hibrid, Dari Mana?
Published
6 years agoon
By
philipsmarx27 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Asal-usul generasi hibrid dapat ditelusuri sejak ‘homo sapiens’, manusia modern itu eksis dan membentuk sejarah
PADA 23 SAMPAI 26 September 2018 saya mendapat kesempatan berkunjung ke Pulau Salibabu, Kab. Talaud. Tepatnya di desa Bitunuris. Pergi ke sana untuk menjadi fasilitator pada Sekolah Pluralisme, program Sinode AM Gereja-gereja di Sulutteng. Sebagai host kegiatan ini adalah sinode GERMITA Talaud. Kegiatan dilaksanakan di jemaat Torsina Germita, Bitunuris.
Dari sekitar dua puluh peserta sekolah pluralisme, dua di antaranya adalah Ni Komang dan Frederik Tudja. Keduanya berasal Gorontalo. Mereka masih sangat muda.
Ni Komang beragama Hindu. Keluarganya transmigran asal Bali di Gorontalo. Ni Komang mahasiswa Fakultas Pendidikan Guru di Universitas Negeri Gorontalo.
Ketika berbicara, Ni Komang menggunakan bahasa Melayu-Gorontalo yang memiliki kedekatan dengan Melayu Manado, Melayu Luwuk, Melayu Talaud. Jadi, ketika dia berbicara teman-temannya dari Luwuk sampai Talaud mengerti. Namun kentara sekali dalam intonansinya pengaruh bahasa Bali.
Jadi, Ni Komang adalah generasi keturunan Bali, beragama Hindu yang sudah dipengaruhi kultur Gorontalo yang sebenarnya juga tak lepas dari pengaruh kebudayaan di Celebes.
Ibu Frederik Tudja berdarah Minahasa, marga Walukow, Kristen. Ayahya dari suku Saluan, Luwuk juga Kristen. Kini ia tinggal di Gorontalo. Ibunya delapan bersaudara. Hanya ibu Frederik yang Kristen. Tujuh lainnya Islam sebab ayah ibunya masuk Islam ketika menikah perempuan muslim.
“Saya berasal dari Gorontalo,” kata Frederik.
Frederik sangat bangga dengan identitas Minahasa, Saluan, Kristen yang dia punya.
Ni Komang dan Frederik adalah generasi ‘milenial’ yang lahir dari keluarga-keluarga lintas asal, etnis, budaya, bahasa, dan agama. Di dalamnya juga termasuk proses saling silang genetis.
Ini sebetulnya gejala yang tidak baru sama sekali dalam sejarah ‘homo sapiens’ di muka bumi ini.
Pada Sekolah Pluralisme sebelumnya di Luwuk, Maret (Rabu 21 – Jumat 23) 2018 saya juga berjumpa dengan seorang muda dengan identitas hibrid yang unik. Namanya Stevand Montol. Kami biasa menyapa dia dengan Ivan saja.
Ivan berasal dari keluarga keturunan Minahasa. Leluhurnya datang ke Luwuk di zaman kolonial sebagai seorang guru. Keluarga Ivan lama hidup di sebuah kecamatan yang mayoritas penduduknya adalah transmigran dari Jawa dan Sunda. Dia bertumbuh dalam kultur khas di situ. Sejak kecil belajar bahasa Jawa dan Sunda dan hingga dewasa fasih berbahasa itu.
Apa identitas kultural Ivan? Dia bermarga Minahasa, lahir di Tanah Luwuk, menjadi warga Luwuk, fasih berbahasa Jawa dan Sunda, agama Kristen.
“Kalau orang bertanya identitas saya, saya bilang, ‘saya orang Indonesia”’ ujar Ivan.
Ni Komang, Frederik dan Ivan menjadi generasi hibrid bukan karena kehendaknya. Migrasi salah satu sebabnya. Hibridisasi pada mereka bukan hanya secara biologis melalui kawin-mawin, namun juga budaya.
Di Minahasa, seperti daerah lain, hibridisasi ini sudah lama terjadi. Ia disebabkan oleh adanya perjumpaan orang-orang yang beragam suku, agama dan ras. Sejak abad 18 dan 19, migrasi terjadi karena maksud kolonial.
F.R. Mawikere dan Meity Wowor dalam “Kajian Historis Pemukiman Disekitar Pantai Manado” (2014) menyebutkan, kedatangan kelompok-kelompok migrasi sudah berlangsung sejak abad 17. Mereka adalah para pedagang-pedagang, termasuk nelayan dan kaum imigran dari daerah-daerah kerajaan di sekitar jazirah Sulawesi Utara. Lainnya adalah imigran beretnis Cina, Arab, Ternate, Bugis Makasar dan lainnya yang diperkirakan mulai masuk sejak permulaan abad ke-17.
Pembangunan benteng Niuew Amsterdam yang lebih kokoh dan megah dekat pelabuhan Manado pada tahun 1703 mendatangkan para pekerja dari China dan tempat lainnya. Begitulah sehingga berdiri Kampung Cina dan Kampung Arab yang berdekatan di Manado. Menurut Mawikere dan Wowor, sejak saat itulah orang-orang Minahasa yang berdiam di pegunungan mulai melakukan interaksi dengan orang-orang beragam agama, etnis dan ras yang tinggal dan menetap di Manado.
Di abad 19, di masa Hindia Belanda, terbentuk beberapa kampung yang khas. Kampung Jawa Tondano terbentuk kira-kira tahun 1830-an. Pendirinya adalah Kyai Modjo, ulama kharismatik yang berperan dalam Perang Jawa tahun 1825 dan 1830. Ia datang bersama 60-an pengikutnya laki-laki. Mereka kemudian kawin-mawin dengan perempuan Minahasa.
Mengikuti kebijakan pemerintah kolonial yang sedikit dipengaruhi tradisi Kristen Eropa di Minahasa, keturunan mereka yang dikenal ‘orang-orang Jaton’ (Jawa Tondano) mesti memiliki marga. Jadilah, yang dulu adalah nama mbah-mbah menjadi marga. Sehingga kini di Minahasa ada marga Kyai Demak, Ki Marjo, Masloman, Mertosono, Maspeke, Modjo, Mashud, Melangi, Pulukadang, dan lain sebagainya.
Generasi mereka kini, meski mayoritas beragama Islam, tapi sangat bangga dan fasih berbahasa Tolour. Sebuah generasi yang tidak bisa menghindari dari hibridisasi, baik secara geneologis maupun kultural.
Di beberapa tempat di Minahasa, semisal di Amurang, Manado, Tanawangko, Kema dan Belang, terdapat komunitas yang lazim disebut Borgo (burgers). Di kota-kota pelabuhan itulah Belanda membangun benteng. Orang-orang yang disebut Borgo ini biasanya dikaitkan dengan perkawinan campur antara orang-orang Minahasa dengan Eropa (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Jerman) sejak zaman luluhur mereka yang hidup di masa bangsa-bangsa itu datang ke sini.
Rosalind Louise Hewett meneliti komunitas ini dalam disertasinya berjudul Indo (Eurasian) Communities In Postcolonial Indonesia pada The Australian National University tahun 2016. Hewett yang bersuamikan orang Manado ini menyebutkan dalam penelitiannya, di beberapa tempat pesisir Minahasa yang berdiri benteng itu, para tentara Spanyol dan para pejabat berdiam di benteng-benteng itu. Para tentaranya bertugas menjaga benteng. Sesekali bajak laut dapat saja datang menyerang mereka. Benteng jadi pertahanan yang aman.
Jelang abad kesembilan belas, tulis Hewett, Pemerintah Belanda mengidentifikasi mereka sebagai metizos atau warga campuran Eropa dengan penduduk setempat. Belanda menyebut mereka sebagai burger inlandsche. Kelompok masyarakat ini dibedakan dengan warga Minahasa kebanyakan yang tinggal di pegunungan.
Orang-orang Borgo di Minahasa tidak hanya beragama Kristen, tapi juga banyak di antara mereka adalah muslim. Burger Kristen dapat dikenal dari marga mereka, antara lain Thomas, Holderman, Marcus, Heydemans, Jacob, Setlight, dan lain sebagainya. Di masa kolonial, mereka memiliki posisi penting, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Hampir sama kedudukannya dengan orang-orang Cina dan Arab.
Perjumpaan dan percampuran ini menghasilkan semacam kebudayaan dan identitas hibrid pula. Kita ambil contoh bahasa. Bahasa sehari-hari yang mempertemukan orang-orang beragam agama, suku dan ras di daerah ini adalah ragam bahasa Melayu Manado. Sebuah ragam bahasa yang merupakan pengembangan dari bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca di kepulauan nusantara sejak beberapa abad sebelumnya.
Geraldine Y.J. Watupongoh dalam disertasinya berjudul Bahasa Melayu Surat Kabar di Minahasa pada abad ke-19 di Universitas Indonesia tahun 1983 menyebutkan, kelahiran ragam bahasa Melayu Manado terjadi karena perjumpaan dan persentuhan antara beragam budaya.
“Persentuhan dengan bahasa-bahasa asing dan bahasa daerah telah berlaku sejak bahasa Melayu menjadi lingua franca dan bahasa kontak,” tulis Watupongoh.
Ragam bahasa Melayu-Manado yang hingga kini masih dipakai untuk berkomunikasi di Manado, pegunungan Minahasa dan secara umum di wilayah Utara Sulawesi kaya dengan kosa kata asing, seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Cina, bahasa Minahasa dan bahasa daerah sekitar lainnya.
Watupongoh menulis, ragam bahasa Melayu di daerah ini terbagi pada dua jenis, yaitu Melayu Gunung dan Melayu Pante atau Melayu Pasar. Jenis yang terakhir, tulis Watupongoh, “Bersumber di Maluku, bahasa ini kemudian memasuki Manado melalui Ternate bersama pelaut dan pedagang.”
Sementara jenis Melayu Pante digunakan oleh penduduk bandar Manado keturunan Eropa, kelompok Borgo, dan penduduk Minahasa yang mendiami daerah Minahasa.
Kata-kata ragam bahasa Melayu-Manado yang umum digunakan sekarang banyak yang masuk dan menjadi bagian dari komunikasi di masa kolonial. Beberapa kata yang diambil dari bahasa Belanda, misalnya kata ‘reken’ (menghitung); kata ‘zolder’ (loteng), ‘maar’ (tapi), ‘koi’ (tempat tidur), ‘om’ (paman), dlsb.
Bahasa Portugis terdapat pada kata, ‘sunuh’ atau ‘sonoh’ (tidur nyenyak), ‘pesijar’ (melancong), ‘oras’ (jam, waktu), ‘kintal’, ‘kadera’, dan banyak lagi. Bahasa Spanyol yaitu kata ‘peda’, ‘maraju’, ‘fresko’, dan lain-lain. Beberapa kata dari bahasa Cina juga diserap. Misalnya kata ‘kongsi’, ‘top’, dan lain sebagainya.
Hibridisasi tidak Sama dengan Asimilasi
Hibridisasi genetik, lalu budaya adalah hukum alam. Namun, ‘asimalisasi’ sebagai proyek politik suatu bangsa dilakukan secara sengaja dengan tujuan tertentu demi identitas nasional.
Di masa orde baru, ini pernah jadi proyek politik, terutama bagi orang-orang Tionghoa. Asimilasi ini lebih ke ranah budaya, sosial dan politik. Di periode tahun 1959 sampai 1965 dalam sejarah Indonesia, meski pada sisi politik tertentu rezim memperlihatkan ciri pluralistik, namun sejumlah kebijakan tampak mulai menerapkan politik asimilasi.
Puncak dari politik asimilasi terhadap warga Tionghoa dalam sejarah Indonesia terjadi pada era orde baru.
“Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnik Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak pernah dilakukan pada masa sebelumnya,” tulis Leo Suryadinata dalam Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia: sebuah bunga rampai, 1965-2008, terbit 2010.
Politik asimilasi tersebut, setidaknya tercermin dari sikap Soeharto. Suryadinata mengatakan, “Soeharto sendiri menyatakan secara jelas bahwa warga negara Indonesia keturunan Cina harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli.”
Politik asimilasi ini dijalankan secara tersamar bersama kebijakan Soeharto yang cenderung anti asimilasi karena pertimbangan kondisi politik. Suryadinata mengambil contoh misalnya, “Toleransi terhadap agama-agama minoritas dan pembedaan antara pribumi dan non-pribumi cenderung malahan memilah, dan bukan mempersatukan etnik Tionghoa dan orang Indonesia asli.”
Dengan begitu, etnik Tionghoa tetap terpisah dari komunitas ‘tuan rumah’. Kendati demikian, kata Suryadinata lagi, “Sulit untuk menyangkal bahwa ciri-ciri utama dari kebijakan selama rezim Orde Baru adalah asimilasi.”
“Ciri terpenting adalah penghapusan tiga pilar utama kebudayaan Tionghoa,” tegasnya.
Tiga pilar yang dimaksud Suryadinata adalah, pers berbahasa Tionghoa, sekolah-sekolah menengah Tionghoa, dan organisasi-organisasi etnik Tionghoa.
Tidak berapa lama setelah kelahirannya, rezim Soeharto menutup semua koran Tionghoa, kecuali satu. Koran ini menjadi harian Tionghoa satu-satunya yang dikelola oleh pemerintah dan dikuasai oleh militer. Koran ini diterbitkan secara dwibahasa, Tionghoa dan Indonesia. Ia populer di kalangan orang-orang etnik Tionghoa.
Impor publikasi dalam bentuk apa pun yang berbau bahasa Cina juga dilarang. Sejak tahun 1966 semua sekolah menengah Tionghoa yang diizinkan beroperasi tidak mendapat dukungan pemerintah. Penggunaan bahasa Tionghoa pun tidak didukung.
“Meskipun pada awalnya pemerintah mengizinkan beberapa Sekolah Nasional Proyek Khusus untuk anakanak Tionghoa warga negara asing, sekolahsekolah tersebut pada akhirnya dilarang pada tahun 1975,” tulis Suryadinata.
Politik asimilasi Soeharto adalah untuk ‘mengindonesiakan’ orang-orang Tionghoa. Sepertinya, itu juga berlaku pada orang-orang dan masyarakat beragam etnik lainnya. Entah untuk membentuk identitas dari ras, suku dan budaya yang mana. Itu tidak jelas. Banyak orang beranggapan, “Indonesianisasi’ sama dengan “Jawanisasi”. Tapi masih menyisahkan pertanyaan, Jawa mana yang dimaksud?
Salah satu bentuk asimilasi ini yang penting dilakukan oleh pemerintah orde baru adalah kebijakan ganti nama. Ini cara jitu untuk mengubah identitas ketionghoaan. Kebijakan itu dimulai sejak rezim ini lahir, yaitu pada tahun 1966.
“Soeharto menerapkan kebijakan tersebut, dengan menekan etnik Tionghoa untuk mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama yang berlafal Indonesia,” tulis Suryadinata.
Nama-nama Tionghoa diganti dengan nama-nama yang disebut nama Indonesia. Itu sama dengan nama-nama non-Tionghoa. Seolah-olah ganti nama ini tidak wajib, namun ini kemudian dianggap penting sebagai bukti kesetiaan pada Indonesia.
“Sebagian besar dari orang Indonesia keturunan Tionghoa mengganti nama mereka, karena ganti nama sering dianggap sebagai bukti dari kesetiaan politik kepada Indonesia atau pengidentifikasian dengan bangsa Indonesia,” lanjut dia.
Bagi Suryadinata, kebijakan ini pada dasarnya merujuk pada konsep Indonesia yang menganggap atau menetapkan ada yang disebut ‘pribumi’ atau penduduk asli’ dan ‘penduduk non-pribumi’.
“Dengan perkataan lain, orang-orang Tionghoa diharapkan untuk melepaskan karakteristik khas ketionghoaan mereka dan mengenakan ciri khas budaya penduduk asli.”
Namun sesungguhnya, politik asimilasi ini menjadi ciri dari negara-bangsa yang berupaya kuat untuk membentuk satu identitas tunggal, identitas nasional. Di sini masalahnya. Sebab, asimilasi berbeda dengan hibridisasi dalam hal proses dan akibat.
Asimilasi terkadang dilakukan secara paksa, dan pada umumnya ia politis, sementara hibridisasi terjadi secara secara evolusionis sebagai cara atau teknik untuk berkembang. Dengan begitu hibridisasi tidak menyebabkan kerusakan-kerusakan yang berarti dan menyakitkan.
Kalaupun ada yang hilang atau terdegradasi akan dianggap sebagai konsekuensi. Berbeda dengan asimilasi yang terkadang dilakukan secara ‘paksa’, halus atau bahkan dengan kekerasan, fisik atau kultural sekalipun.
Hibridisasi Bukan Hal Baru
Hibridisasi bukan hal baru. Ia sudah berlangsung sejak migrasi kelompok-kelompok manusia beberapa juta tahun lalu. Namun, karena ia terjadi secara evolusionis, maka tidak pernah akan tercipta satu identitas, apalagi ras tunggal.
“Sekarang beberapa ilmuwan bahkan melangkah lebih jauh. Mereka mengusulkan bahwa seluruh spesies kita adalah produk hibridisasi antar spesies, dan bahwa kita berutang banyak atas keberhasilan kita pada kenyataan ini,” tulis Melissa Hogenboom penulis dari BBC dalam artikelnya “Human Evolution Was Shaped By Interbreeding”.
Argumennya, tulis Melissa, setelah manusia modern pertama meninggalkan Afrika, mereka bersentuhan dengan Neanderthal. Dengan begitu, mereka dapat bertahan dan berkembang. Itu terlihat pada DNA manusia modern sekarang ini.
Istilah ‘Neanderthal’ sering dipakai untuk menunjuk pada anggota genus Homo yang berasal dari zaman Pleistosen. Jejaknya ditemukan di Eurasia, dari Eropa Barat hingga Asia Tengah dan Utara. Spesies ini dinamakan Neandertal sesuai dengan lokasi tempat pertama kali ditemukan di Jerman, Neandertal atau Lembah Neander.
“Analisis genetik menunjukkan bahwa orang Eropa dan Asia memperoleh 1-4% DNA mereka dari Neanderthal,” tulis Melissa.
Para ilmuwan menemukan bahwa, orang Afrika yang nenek moyangnya tidak pernah meninggalkan benua membawa DNA Neanderthal, karena 3.000 tahun yang lalu orang-orang dari Eropa dan Asia bermigrasi ke Afrika. Banyak orang Afrika modern mewarisi beberapa gen, termasuk beberapa gen Neanderthal, dari para leluhurnya itu.
Dari proses panjang migrasi telah membentuk manusia hibrid akibat saling-saling gen. Dari proses dan jenis manusia inilah – mereka itu adalah kita hari ini – lahirlah beragam bahasa, tradisi, budaya, peradaban, dan lain sebagainya.
Pada satu masa, kekristenan Eropa misalnya, melalui gereja dan para missionarisnya bermimpi akan ada satu dunia yang Kristen. Beberapa kelompok di dalam agama-agama misi lainnya, seperti Islam masih dalam mimpi itu. Tapi, apa yang kita lihat, justru pluralisasi terjadi semakin massif.
Perubahan yang mengarah ke pluralisasi kebudayaan di tengah hibridisasi gen dan budaya, mestinya membuat cara pandangan kita ikut berubah. Tampak paradoks memang. Di satu pihak pluralisasi adalah kenyataan, pada pihak lain pada waktu bersamaan terjadi hibridisasi. Sesuatu yang sulit dimengerti.
Yuval Noah Harari dalam Sapiens A Brief History of Humankind (2011) mengatakan, “Dalam paruh pertama abad ke-20, para ahli mengajarkan bahwa setiap budaya bersifat lengkap dan harmonis, memiliki esensi tak berubah yang mendefinisikannya untuk selamanya.”
Ringkasnya, pandangan ini memahami bahwa perubahan itu linier menuju ke sebuah tatanan yang tunggal.
Tapi pandangan itu keliru. Justru perkembangan peradaban masyarakat menampilkan hal yang berbeda, yaitu pluralisasi yang berjalan bersama dengan hibridisasi. Ini ditunjukkan dengan gejala semakin senang dan bangganya kelompok-kelompok tertentu mengagungkan identitasnya yang dikira ‘asli’ dan ‘tunggal’ tapi sesungguhnya tanpa disadari sebagai homo sapiens – binatang tidak berekor yang berdiri dan berjalan tegak – ia adalah produk dari hibridisasi yang panjang dan tak pernah berhenti.
Jadinya, “Kini, sebagian besar ahli budaya menyimpulkan sebaliknya,” tulis Harari.
Setiap budaya memang memiliki keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai yang khas, tetapi semua itu terus bergerak, kata Harari. Manusia, budaya dan masyarakatnya dibentuk dan berkembang karena kontradiksi-kontradiksi, baik internal maupun eksternal.
“Budaya-budaya terus berusaha merekonsiliasi kontradiksi-kontradiksi ini, dan proses ini menggerakkan perubahan,” kata Harari.
Jadi, apakah kita masih perlu berpikir dan berjuang keras demi ras, budaya, dan agama yang murni, asli dan tunggal sementara kita dan sejarah itu adalah hibridisasi?
Dan hibridisasi itu adalah hukum alam, bukan hukum agama. (*)
Editor: Andre Barahamin