BERITA
Gerakan Bersama Perempuan Tuntut Ruang Hidup Demokratis, Sejahtera, Setara, dan Bebas Kekerasan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx4 Maret 2019
Oleh: Febriani Sumual
kelung.com – Bulan Maret menandai masuknya peringatan hari perempuan internasional yang diperingati setiap tahunnya pada 8 Maret. Tahun 2019 menjadi spesial sebab bertepatan dengan momentum politik elektoral Pemilihan Umum (Pemilu) Pemilihan Presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg).
Momentum ini penting melihat situasi ini rakyat Indonesia, khususnya perempuan dan masyarakat marjinal yang masih menghadapi pembatasan ruang demokrasi, pemiskinan, ketimpangan sosial dan maraknya kriminalisasi serta kekerasan seksual. Itu sebabnya, datangnya Pilpres dan Pileg pada April mendatang dinilai sebagai momentum politik bagi perempuan untuk menyuarakan agenda politik perempuan independen.
Hal tersebutlah yang menjadi tuntutan bersama Komite International Women’s Day (IWD) (Komite #IWD2019) yang terdiri dari lintas organisasi kemasyarakatan. Berbagai organisasi ini memandang bahwa momentum Hari Perempuan Internasional menjadi ajang untuk menyuarakan tentang penghapusan ketidakadilan berbasis gender dan seksual.
Tuntutan tersebut akan dikumandangkan dalam aksi bersama “Panggung Politik Perempuan Independen”.
Aksi ini akan diisi dengan kegiatan long march dari Patung Kuda Indosat hingga berujung pada panggung ekspresi di Taman Aspirasi Monas pada Jumat, 8 Maret 2019 mulai pukul 14.00 WIB. Tema yang diusung adalah seruan untuk “Perempuan Bergerak Mewujudkan Ruang Hidup Demokratis, Sejahtera, Setara, dan Bebas Kekerasan”.
Reli politik “Panggung Politik Perempuan Independen” akan menjadi momentum untuk menegaskan independensi tanpa berpihak terhadap salah satu calon yang maju dalam politik elektoral baik pasangan calon presiden (Capres) – calon wakil presiden (Cawapres) maupun calon legislatif (Caleg). Harapannya adalah untuk membangun kekuatan politik independen perempuan sebagai dorongan perubahan yang selama ini terpinggirkan dan gagal disuarakan oleh setiap pemerintahan yang dihasilkan dari pesta demokrasi setiap lima tahun sekali.
Komite IWD telah mengidentifikasi dan mengelompokkan isu permasalahan tersebut ke dalam 8 klaster. Yaitu; perempuan dan ketenagakerjaan, perempuan dan pendidikan, perempuan dan kekerasan seksual, perempuan dan kesehatan, identitas perempuan dan ekspresi, ruang hidup perempuan dan agraria, perempuan dan kebijakan serta perlindungan hukum, dan yang terakhir adalah media, teknologi dan perempuan.
Di dalam isu perempuan dan ketenagakerjaan, buruh/pekerja perempuan lebih rentan mengalami pemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan di hampir seluruh sektor industri. Pemiskinan tersebut tergambar dari ketiadaan tunjangan pasangan bagi buruh/pekerja perempuan, upah murah, hingga tidak ada upah lembur. Untuk keluar dari jurang kemiskinan, perempuan Indonesia menjadi pekerja rumah tangga (PRT) migran yang sebagian terancam hukuman berat, termasuk hukuman mati.
Sementara di dalam negeri, nasib PRT tidak jauh berbeda dan justru belum diakui sebagai pekerja. Selain itu, kondisi kerja buruh/pekerja perempuan masih buruk seperti jam kerja panjang, tidak ada cuti hamil dan haid, tidak ada fasilitas laktasi, dan dunia kerja rentan kekerasan dan pelecehan seksual. Masalah lainnya adalah fleksibilitas tenaga kerja yang semakin luas terjadi di industri garmen hingga media dan kreatif.
Dalam persoalan media, dan teknologi seringkali kita mendapati pemberitaan dan produk media yang masih menempatkan perempuan hanya sebagai objek eksploitasi untuk sensasionalitas dan komersialisasi, menampilkan seksisme, dan tidak berpihak pada korban kekerasan serta pelecehan seksual. Pemberitaan dan produk media (film, iklan, media cetak/elektronik, dan lain sebagainya) justru melanggengkan stereotipe negatif untuk perempuan dan minoritas seksual lain.
Dalam isu perempuan dan kekerasan seksual, kami melihat bahwa saat ini kasus-kasus tidak hanya terjadi di ruang-ruang tertutup, pelaku semakin berani melakukannya di ruang publik, seperti jalan raya, mall, taman, gang, angkutan umum, di tempat kerja, institusi pendidikan hingga ruang maya (internet). Kekerasan seksual sudah seharusnya menjadi urusan publik yang harus dijamin proses dan penyelesaiannya oleh negara. Ruang-ruang untuk berpartisipasi harus dibuka seluas-luasnya agar korban tidak lagi bungkam dan dapat dengan bebas menyampaikan kasusnya serta mendapatkan pemulihan diri secara optimal. Mendiamkan dan menutup-nutupi kasus kekerasan seksual yang terjadi sama hal-nya dengan memberi kemenangan bagi setiap pelaku kekerasan seksual.
Perempuan adalah mayoritas korban kekerasan seksual, dikarenakan perempuan sejak usia dini tidak mendapatkan pendidikan seksual dan tidak lepas dari posisinya yang rentan di dalam kultur patriarkis dimana terjadi ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan melalui relasi kuasa, objektifikasi dan eksploitasi seksual, nilai dan norma atau aturan tidak tertulis dari masyarakat untuk perempuan. Sektor pendidikan informal pertama untuk anak seperti keluarga pun tidak melek pendidikan seksual dan melihat seksualitas sebagai hal tabu untuk dibicarakan sehingga anak cenderung malas, malu, dan takut untuk bertanya kepada orangtua mereka mengenai gejala seksual yang mereka sedang rasakan, terlebih apabila mereka mendapat perilaku kekerasan seksual.
Tuntutan yang didorong oleh Komite #IWD2019 antara lain adalah mendorong pemerintah untuk berperan aktif dan mendukung disepakatinya rancangan Konvensi ILO tentang Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Tempat Kerja. Di tingkat nasional, Komite #IWD2019 menuntut negara untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan, memastikan pelaksanaan cuti haid, cuti melahirkan dan penyediaan fasilitas ruang laktasi layak sesuai dengan amanah UU Ketenagakerjaan serta memastikan pelaksanaan UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Di bidang pendidikan, mereka menuntut negara untuk memenuhi komitmen penyediaan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif. Tuntutan ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Nasional yang dimandatkan oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Rencana Aksi Nasional Anak Usia Sekolah dan Remaja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mereka juga menuntut negara untuk menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif untuk semua dan sesuai dengan tingkat usia serta aksesibel bagi semua ragam disabilitas.
Komite #IWD2019 juga menuntut negara untuk tidak hanya mengakui hak kesehatan reproduksi namun juga hak seksual bagi seluruh warga negara tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual dan ekspresi gender, status perkawinan, agama, ras, wilayah geografis, dan latar belakang ekonomi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan seksual yang komprehensif serta menjamin penyediaan layanan dan fasilitas kesehatan yang merata, adil gender dan berpihak pada yang lemah atau dilemahkan.
Mereka juga menuntut pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk membangun sistem dan dan kebijakan yang mencegah dan menangani meluasnya kekerasan terhadap perempuan berbasis siber. Juga mendesak perusahaan media dan lembaga profesi jurnalis dalam memproduksi isi pemberitaan yang ramah terhadap perempuan, adil gender dan berpihak pada korban.
Di bidang hukum dan kebijakan, aliansi lintas organisasi ini meminta negara untuk melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang diskriminatif bagi perempuan baik di level nasional maupun daerah. Evaluasi tersebut diperlukan sebagai basis hukum untuk kemudian merevisi atau mencabut serta membuat kebijakan publik berlandaskan prinsip mengakui dan melindungi untuk menjamin hak asasi manusia setiap warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) di setiap level peraturan maupun penetapan kebijakan publik.
Negara juga dituntut untuk mengakomodasi peradilan yang mudah, murah, terjangkau dan menyediakan fasilitas-fasilitas (seperti penerjemah, ruang ramah korban, aparat yang berperspektif HAM) yang aksesibel bagi disabilitas dan warga negara yang berada di daerah terpencil dan pedalaman. Komite #IWD2019 juga meminta negara untuk menghentikan berbagai proyek infrastruktur maupun kebijakan iklim yang merampas sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup masyarakat yang didukung oleh lembaga keuangan internasional. Dalam pandangan aliansi tersebut, hal tersebut berakibat pada munculnya konflik agraria yang melibatkan kekuatan militer, kekerasan dan kriminalisasi petani dan nelayan.
Terkait persoalan kekerasan seksual, negara diminta untuk segera mewujudkan kebijakan yang mencegah dan melindungi warga negara khususnya perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual serta pemulihan dan restitusi bagi korban kekerasan seksual melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini sudah menjadi prioritas program legislasi nasional (prolegnas). Mereka juga menuntut legislatif untuk segera mengamandemen UU Perkawinan No. 1 Tahun. 1974 sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan gugatan uji materi kenaikan batas usia perkawinan pada Desember 2018 dalam upaya menghapuskan perkawinan anak.
Selain itu, negara juga diminta untuk berhenti menjadi sponsor dalam mengekang kebebasan berekspresi perempuan dengan beragam identitas. Negara diharapkan untuk berperan aktif dalam menghentikan politisasi dan komodifikasi tubuh perempuan, keberagaman orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender untuk kepentingan politik praktis maupun kepentingan kepercayaan/agama tertentu.
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Intoleransi Kepada Penghayat Kepercayaan Malesung di Provinsi yang Dikenal Toleran
-
Revolusi Putih adalah Revolusi Perempuan
-
Perempuan: Pasar Tradisional vs Pasar Modern
-
Pembela HAM dan Lingkungan Sering Jadi Korban Kekerasan
-
Hoakiao dari Jember
-
Angola Hapuskan Hukum Diskriminatif Terhadap Homoseksual