INDEPTH
Golput 2019: Siapa pun yang Menang, Rakyat Tetap Kalah
Published
6 years agoon
By
philipsmarx8 April 2019
Oleh: Bilven R. Gultom
Editor, Penerbit Buku Ultimus – Bandung
Bagi Golput, politik ketakutan untuk memenangkan salah satu calon sudah tidak relevan lagi. Doktrin “minus malum” atau prinsip “the lesser of two evils” sudah tidak berlaku lagi.
TINGGAL SEMBILAN hari menjelang Pemilihan Umum 17 April 2019 (Pilpres dan Pileg serentak), ruang publik masih diisi oleh kampanye remeh temeh, penuh hoax, dangkal, dan tanpa substansi. Golput kembali muncul sebagai akibat dari reaksi publik yang menilai makin buruknya kualitas demokrasi. Sampai Debat Capres ke-4 tanggal 30 Maret yang lalu dari rencana lima putaran debat, secara umum tak ada perbedaan dan perdebatan substansial antara kedua paslon yang tersedia—debat hanya berputar-putar sekitar klaim, jargon, dan retorika.
Dengan modal angka golput sebesar 30,42% pada Pilpres 2014 silam—ditambah kandidat yang tersedia masih itu-itu lagi dan relatif sama saja—golput berpotensi menang dalam Pemilu kali ini. Tulisan ini berupaya memaknai golput hari ini.
Muncul sebagai Gerakan Protes
Golongan putih atau golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan moral sebagai gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama di era orde baru. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman, sementara pencetus istilah “golput” adalah Imam Waluyo.
Istilah ini meniru nama partai politik Soeharto: Golkar. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas surat suara di luar gambar parpol peserta pemilu bagi yang datang ke bilik suara, sebab kala itu jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Menurut gerakan ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI.
Dengan struktur politik yang dibangun rezim orde baru Soeharto melalui 3 pilar politiknya (ABRI, birokrasi, dan Golkar), apa pun pilihan dalam pemilu tidak akan mengubah sistem yang ada.
Politik massa mengambang (floating mass) yang diterapkan pemerintah orba membuat rakyat tidak punya kemampuan, baik secara moral maupun aktual, untuk memengaruhi elite politik. Dengan instrumen politik perizinan, rezim orba membatasi kebebasan rakyat dalam berkumpul, berorganisasi, dan mengekspresikan pendapat, dan tentu saja ini bertujuan untuk menghambat lawan-lawan politiknya dalam melakukan kegiatan politik.
Spektrum Golput
Secara umum dan sederhana, saat ini semua bentuk hak pilih yang tidak digunakan (non-voting) disamaratakan sebagai Golput. Tapi, setidaknya ada empat jenis Golput yang berbeda latar belakang dan makna politiknya.
Pertama, Golput karena persoalan administratif. Misalnya, tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan/atau tidak mendapat undangan untuk mencoblos. Atau mereka yang baru meninggal, tapi namanya masih masuk DPT.
Kedua, Golput karena persoalan teknis. Misalnya, tidak mungkin menjangkau TPS pada saat hari-H pencoblosan karena lokasi pemilih jauh di tempat terpencil. Misalnya juga, mahasiswa yang kuliah jauh di luar kota asal tempatnya terdaftar dan tidak tahu caranya mengurus mutasi. Atau suatu pekerjaan darurat yang tidak mungkin ditinggalkan atau diinterupsi, misalnya sedang merawat orang sakit.
Ketiga, Golput karena apatisme politik. Tidak mau ambil pusing dalam persoalan politik. Capek atau bosan dengan ingar bingar politik yang ada, sementara kehidupan ekonomi tak kunjung ada perbaikan. Atau misalnya lebih memilih bangun kesiangan pada hari-H ketimbang pergi antre ke TPS untuk mencoblos. Atau lebih memilih pergi berlibur ketika hari pencoblosan Rabu 17 April 2019 yang telah ditetapkan menjadi hari libur nasional; apalagi libur panjang karena Jumat 19 April juga merupakan libur nasional wafat Isa Almasih dan dengan kemungkinan hari Kamisnya juga akan mengambil cuti bersama.
Keempat, Golput karena kesadaran politik. Merasa tidak ada kandidat yang layak, kecewa atas dua paslon (pasangan calon) yang tersedia, protes atas terbatasnya pilihan atau bobroknya sistem politik yang menghalangi munculnya kemungkinan pilihan alternatif, dan lain sebagainya.
Alasan untuk Golput (1): Jokowi Mengecewakan
Pada Pilpres 9 Juli 2014, pasangan Joko Widodo–Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden dengan perolehan suara sebesar 53,15% mengalahkan pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85%.
Pasangan Jokowi–JK mengampanyekan janji-janji dan visi-misi yang dibungkus dengan sembilan agenda prioritas yang diberi nama Nawacita, dengan jargon Trisakti berupaya melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Ketika rakyat dihadapkan pada dua pilihan antara Jokowi, sipil yang belum banyak memiliki dosa politik dan Prabowo, bekas jenderal yang memiliki catatan kejahatan HAM, ternyata memang lebih banyak orang memilih Jokowi; sebagian orang—termasuk kaum golput seumur hidup yang kali itu terpaksa “turun gunung”—memilih dengan tujuan untuk menghadang Prabowo, mantan menantu orang nomor satu rezim orde baru Soeharto. Prestasi Jokowi sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta menjadi tambahan alasan untuk memilih.
Jokowi pun berkuasa. Semua harapan-harapan pemilih disematkan di pundak Jokowi. Ia diharapkan mampu mengakomodasi agenda-agenda progresif dengan melaksana-kan janji-janji kampanye, visi-misi Nawacita, juga semangat Trisakti dan Revolusi Mental.
Tapi, harapan sudah mulai memudar sejak ia membentuk kabinet pertamanya.
Mulai dari Bagi-Bagi Kursi hingga Mengangkat Wiranto
Saat hendak mendaftarkan diri menjadi calon presiden, Jokowi berjanji tidak akan membagi-bagikan kursi kepada partai politik pengusungnya dalam pemerintahan mendatang. Ia mengatakan bahwa tidak ada transaksi politik apa pun bagi partai yang ingin bergabung dalam koalisi PDI Perjuangan. Ia berjanji akan mengisi kabinet dengan orang-orang profesional.
Pernyataan Jokowi menjelang pemilihan presiden itu ternyata bertolak belakang ketika 15 September 2014. Sesudah terpilih, Jokowi mengumumkan akan membagi kursi menteri dalam dua bagian, yaitu 16 kursi untuk kalangan profesional partai dan 18 kursi untuk kalangan profesional nonpartai.
Jokowi-JK mengumumkan kabinet pertama 26 Oktober 2014 di halaman Istana Negara dan melantiknya sehari setelahnya. Kabinet Kerja itu diisi 4 menteri koordinator dan 30 menteri. Latar belakang anggota kabinet ini berasal dari kalangan porfesional dan partai politik pengusung pemerintah, yaitu PDIP, PKB, Partai NasDem, dan Partai Hanura.
Seiring berjalannya waktu, menjelang satu tahun usia pemerintahan, tanggal 12 Agustus 2015 Jokowi merombak kabinet. Pada Reshuffle Jilid I ini, Jokowi mengganti 6 menteri. Perombakan ini tak terkait dengan jatah parpol, karena yang masuk relatif berlatar belakang profesional semua kecuali Pramono Anung yang merupakan politisi PDIP.
Beberapa bulan kemudian banyak partai politik melaku-kan konsolidasi dengan menggelar Munas, Muktamar, atau Kongres. Usai regenerasi itu, beberapa partai politik mengubah sikap koalisi. PAN, PPP, dan Partai Golkar yang semula berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP), pascakonsolidasi berubah haluan menjadi partai pendukung pemerintah. Mereka bergabung dengan empat parpol yang sejak awal mendukung Jokowi-JK.
Momen konsolidasi diikuti dengan soal “jatah” kursi untuk parpol baru pendukung pemerintah. Dua parpol yaitu PAN dan Golkar belum ada wakil di kabinet, sementara PPP direpresentasikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim. Maka, pada 27 Juli 2016 Presiden Jokowi resmi melakukan Reshuffle Jilid II dengan 12 menteri sekaligus dari 34 anggota Kabinet Kerja dengan masuknya politisi PAN dan Golkar di dalam kabinet.
Dalam reshuffle kedua ini adalah kursi Hanura di kabinet diduduki Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Tentu saja penunjukan Wiranto sebagai Menko Polhukam mendapat reaksi keras. Wiranto adalah salah satu sosok di balik pelanggaran HAM berat saat aktif menjabat di militer.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, Wiranto terlibat kasus penyerbuan kantor PDI 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi tahun 1997/1998, dan peristiwa Biak Berdarah. Menurut laporan khusus 92 halaman yang dikeluarkan Serious Crimes Unit bentukan PBB disebut bahwa ia gagal mencegah terjadinya kejahatan HAM di Timor Leste.
Kriminalisasi Petani dan Konflik Agraria
Saat ini, masa pemerintahan Jokowi hampir berakhir, tapi reforma agraria yang menjadi salah satu janji politiknya semasa kampanye yang tertuang dalam Nawacita tidak berjalan sebagaimana mestinya. Malah kriminalisasi di sektor agraria justru terus meluas dan tidak memperlihatkan indikasi yang serius dari pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut.
Pemerintahan Jokowi malah meneruskan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang sangat identik dengan pembangunan infrastruktur dan industri perkebunan skala luas. Strategi pembangunan yang tidak partisipatif dan cenderung hanya mewadahi keinginan pemodal oleh pemerintah menjadi penyebab banyaknya muncul korban dari pihak rakyat kecil.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa pada masa Jokowi konflik tanah meningkat tajam. Sepanjang tahun 2018 sedikitnya telah terjadi 410 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi di Indonesia. Sedikitnya 10 orang telah terbunuh, 6 orang tertembak, 132 orang mengalami penganiayaan selama menghadapi tindakan represif, 115 laki-laki dan 17 perempuan.
Sepanjang 2017 terjadi 659 konflik agraria memakan korban 612 orang dengan 369 orang dikriminalisasi, 230 dianiaya atau tertembak, dan 13 lainnya tewas. Angka itu meningkat hampir 50% dibandingkan 2016. Persoalan agraria tahun 2017 mencakup lahan seluas 520 ribu hektar dan melibatkan 652 ribu kepala keluarga. Tahun 2016 terjadi 450 konflik. Sepanjang tahun 2015 sedikitnya telah terjadi 252 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 400,430 Ha. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Tahun 2014 terjadi 472 konflik. Infrastruktur dan perkebunan menjadi dua sektor yang mendominasi konflik.
Secara akumulatif selama kepemimpinan Jokowi hingga 2018, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria terjadi 1.769 konflik agraria, sedikitnya 41 orang tewas di berbagai wilayah konflik agraria. Sementara itu, 546 di antaranya dianiaya, 51 orang tertembak, dan 940 orang dikriminalisasi.
Artinya, selama empat tahun terjadi 1769 konflik atau 442 kasus/tahun. Jika dibandingkan era SBY selama sepuluh tahun yang mencapai 987 kasus atau nyaris 100 kasus/tahun, konflik agraria pada era Jokowi meningkat 4,5 kali lipat dibanding era SBY.
Praktik kriminalisasi aktivis lingkungan memang sudah terjadi sejak era orde baru, dan pemerintahan Jokowi melanjutkannya. Usman Hamid (Amnesty International Indonesia) menyebut ada dua jenis kriminalisasi yang biasa dilakukan. Pertama, aktivis lingkungan dituduh sebagai pihak yang melawan negara. Mereka dituduh sebagai penyebar ideologi komunisme dan anti-NKRI.
Kedua, aktivis lingkungan dijerat kasus kriminal yang tidak kontekstual dengan kasus lingkungan yang mereka perjuangkan. Cara itu dilakukan saat ini karena ambisi pemerintah yang berlebihan dalam proyek pembangunan PLTU, PLTA, bandara, Kulonprogo, Kertajati, Kendeng, dsb.
Mengutip data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada 50 orang pejuang lingkungan dan hak atas tanah yang dikriminalisasikan pada 2017. Sementara sepanjang tahun 2018 lalu, YLBHI telah menangani 300 kasus konflik agraria di 16 provinsi, dengan luasan lahan konflik lebih dari 488 hektar. YLBHI menemukan 367 pelanggaran HAM dalam kasus tersebut. Konflik agraria ini berasal dari perampasan-perampasan lahan di masa lalu.
Lahan masyarakat lokal maupun masyarakat adat yang diambil alih oleh perusahaan swasta maupun BUMN dengan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) maupun dengan izin-izin yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izin-izin itu sudah berakhir dan tanahnya tidak kunjung dikembalikan. Pelaku pelanggaran HAM dalam konflik agraria sebagian besar berasal dari perusahaan, yaitu mencapai 84 kasus. Disusul kemudian pemerintah daerah dengan 73 kasus dan Perhutani 53 kasus.
Kasus-kasus agraria ini tidak tersentuh program reforma agraria pemerintah. Sebab, reforma agraria yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak dalam konteks penyelesaian konflik.
Gagal Penuhi Janji kepada Masyarakat Adat
Saat pencalonan pada Pilpres 2014, guna meraih simpati dan dukungan Masyarakat Adat, Jokowi berkomitmen mengakui dan melindungi Masyarakat Adat yang termanifestasi dalam beberapa poin Nawacita, yakni, pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan Satgas Masyarakat Adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa, melaksanakan Putusan MK 35/2012, dan memulihkan korban-korban kriminalisasi. Tapi, hingga menjelang akhir lima tahun pertama, komitmen itu mengalami stagnasi. Beberapa kebijakan pembangunan Jokowi justru memunculkan beban baru bagi Masyarakat Adat.
Mengenai RUU Masyarakat Adat, justru pemerintahlah yang kini berupaya menghambat pengesahan RUU Masyarakat Adat. DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) kini tak kunjung diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR RI. Ibaratnya, sekarang pemerintahlah yang melempar bola (RUU Masyarakat Adat) keluar lapangan. Justru, produk hukum pengakuan Masyarakat Adat lahir dari utusan politik AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di legislatif. Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN) mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat adalah harga mati. Melalui itu, AMAN menilai bagaimana kualitas rezim Jokowi selama lima tahun ini.
Ada empat bukti empirik komitmen Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat dalam Nawacita yang sampai hari ini justru kontradiktif. Pertama, berbagai kasus pelanggaran HAM yang dialami Masyarakat Adat masih menggantung. Sampai 2018, AMAN mencatat 262 orang dikriminalisasi. Kondisi ini menjadi bukti tak terbantahkan dari belum seriusnya pemerintahan Jokowi-JK dalam menyelesaikan masalah hukum dan HAM sebagaimana dijanjikan.
Kedua, target pemerintah mempercepat penetapan status hutan adat sesuai mandat Putusan MK 35/2012 belum tercapai. Pemerintah berkomitmen menargetkan penetapan hutan kelola masyarakat termasuk hutan adat 12,6 juta hektar. Sayangnya, hingga kini, untuk hutan adat hanya berhasil ditetapkan 27.000-an hektar. Jumlah ini sangat jauh dari target.
Ketiga, belum ada desa adat ditetapkan pemerintah. Dari 133 desa adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah, belum ada satu pun mendapatkan registrasi dan kode desa dari Kementerian Dalam Negeri. Hal ini karena tumpang tindih fungsi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Selain itu, Kementerian Desa juga tak memiliki nomenklatur dalam pengaturan desa adat secara jelas hingga terjadi kemandulan dalam mengimplementasi-kan UU Desa Nomor 6/2014.
Keempat, peraturan perundang-undangan soal Masyarakat Adat masih tumpang-tindih dan saling menyandera. Belum mampu menjawab kebutuhan Masyarakat Adat bahkan menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan Permen Nomor 8/2018 tentang pedoman pengakuan Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara substantif sama dengan Permendagri 52/2014. Peraturan ini khawatir akan mengalami tumpang-tindih proses dan berujung kemandulan dalam implementasi.
Kebijakan Jokowi-JK Rugikan Buruh
Janji politik Jokowi-JK saat kampanye Pilpres 2014 antara lain janji menciptakan sepuluh juta lapangan pekerjaan baru, janji Tri Layak (kerja layak, upah layak, dan hidup layak), janji mempersulit investasi asing, dan tidak akan membuat utang luar negeri. Namun, terbukti ini cuma sekadar janji. Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK dinilai semakin menjauh dari tujuan memberikan perlindungan dan menyejahterakan kaum buruh Indonesia.
Terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tentang Pengupahan dan Formula Kenaikan Upah Minimum yang menyengsarakan kehidupan para kaum buruh. Serikat pekerja tidak akan dilibatkan dalam menentukan kenaikan upah minimum. Keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah merupakan sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah selalu melibatkan serikat pekerja. Dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi-JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan kenaikan upah minimum.
Ini bertentangan dengan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, dan Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat.
Sejak 1982 pada zaman orde baru, Serikat Pekerja dilibatkan dalam survei pasar untuk menentukan nilai Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Baru kemudian berunding untuk menentukan besarnya upah minimum yang salah satu acuannya adalah hasil survei yang dilakukan secara bersama-sama. Hal ini tidak akan terjadi lagi dengan berlakunya PP Pengupahan, karena yang menetapkan besarnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah Pemerintah (Badan Pusat Statistik).
PP Pengupahan merupakan kebijakan yang memiskinkan buruh dan mengancam demokrasi dalam hal kebebasan berserikat. Pemerintahan Jokowi-JK lebih kejam dibandingkan dengan masa pemerintahan orde baru Soeharto. Pada masa orde baru, Serikat Pekerja masih dilibatkan dalam kenaikan upah minimum melalui mekanisme tripartit (buruh – pengusaha – pemerintah).
Upah minimum di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. Upah rata-rata per bulan di Indonesia hanya US$174. Angka ini berada di bawah Vietnam US$181 per bulan, Malaysia US$506 per bulan, Filipina US$206 per bulan, dan Thailand US$357 per bulan. Di Jakarta, upah pada tahun 2017 sekitar Rp3,3 juta per bulan juga dianggap masih rendah. Padahal upah di Manila, Filipina, Rp4,2 juta per bulan, Kuala Lumpur, Malaysia, sebesar Rp3,9 juta per bulan. Sementara Bangkok, Thailand, Rp3,9 juta per bulan sampai Rp4,1 juta per bulan. Harusnya pemerintah bisa menaikkan upah buruh sebesar 15 sampai 20 persen. Bukan dengan formula PP 78 dengan besaran 8,25 persen. Apabila kenaikan upah ditentukan hanya sebatas inflasi plus pertumbuhan ekonomi, maka setiap tahun penyesuaian upah di Indonesia hanya dalam kisaran 10 persen (bahkan bisa lebih kecil). Padahal harga kebutuhan pokok di Indonesia penuh dengan ketidakpastian.
PP 78 pengupahan didalangi “pengusaha hitam” yang serakah dan rakus.
Dalam paket ekonomi jilid I hingga III, pengusaha sudah mendapatkan semua kemudahan yang mereka inginkan. Serikat pekerja pun mendukung langkah pemerintah untuk melindungi dunia usaha dengan penurunan tarif listrik untuk industri, gas untuk industri, dan memberikan bantuan dan kemudahan bagi pengusaha yang tidak melakukan PHK terhadap pekerja. Tetapi dalam paket ekonomi jilid IV, yang diterima kaum pekerja seperti air susu dibalas air tuba.
Kenaikan upah dibatasi hanya sebatas inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dan bisa dipastikan nilainya akan sangat kecil sekali. Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi terhadap upah murah. Kebijakan seperti ini curang dan tidak adil bagi buruh.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 sebagai revisi Permenaker Nomor 12 Tahun 2013, pemerintah telah menghapus syarat kewajiban berbahasa Indonesia terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) yang ingin bekerja di Indonesia. Kemudahan dalam berbahasa inilah yang menjadi salah satu sebab membanjirnya TKA, khususnya “unskill workers” dari Tiongkok. Berbanding terbalik dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan bekerja di luar negeri, yang diwajibkan untuk belajar bahasa negara tujuan.
Permenaker Nomor 35 tahun 2015 menghilangkan syarat rasio 1:10, di mana setiap 1 orang TKA harus ada 10 orang tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping, yang bertujuan untuk transfer ilmu dan teknologi. Penghapusan syarat rasio di atas dikhawatirkan menghilangkan kesempatan terjadinya alih pengetahuan dan alih teknologi dari TKA ke tenaga kerja lokal.
Permenaker No.36/2016 tentang Pemagangan di Dalam Negeri, merugikan hak-hak pekerja. Peraturan tersebut malah membuat celah bagi perusahaan untuk semakin eksploitatif terhadap pekerja. Permenaker tersebut hanya menguntungkan bagi perusahaan saja. Berdasarkan Permenaker No.36/2016, pengusaha dapat mempekerjakan peserta magang hingga 30 persen dari jumlah karyawan. Jangka waktunya satu tahun. Namun dapat diperpanjang terus, tanpa kewajiban membayar upah.
Alasannya, pemagangan sebagai bagian sistem pelatihan kerja untuk menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Peserta magang hanya berhak dapat uang saku yang meliputi biaya transpor, uang makan, dan insentif yang besarannya ditentukan sepihak oleh perusahaan. Sehingga, pemagangan mengakibatkan PHK pada karyawan tetap karena penguasaha memilih menggunakan tenaga kerja magang yang jauh lebih murah.
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing, bakal membuat arus kedatangan pekerja asing ke dalam negeri semakin deras, dan mengancam tenaga kerja lokal untuk bisa mendapatkan pekerjaan.
Kedaulatan Pangan Gagal, Impor Besar-Besaran
Jokowi mencantumkan kedaulatan pangan sebagai salah satu program prioritas dalam Nawacita. Saat baru menjabat sebagai presiden tahun 2014, Jokowi menargetkan swasem-bada sejumlah komoditi pangan strategis seperti kedelai, jagung, padi, dan gula, bisa terlaksana dalam tiga tahun. Namun, yang terjadi justru impor ugal-ugalan yang sangat merugikan petani sehingga kedaulatan pangan gagal tercapai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras tahun 2014 tembus 844 ribu ton. Setahun setelah pemerintahan berjalan, impor beras naik tipis 861 ribu ton. Kemudian, pemerintah kembali mengimpor beras sebanyak 1,28 juta ton pada 2016, dan sempat turun menjadi hanya 305 ribu ton pada 2017. Tahun lalu, impor beras kembali meroket hampir mencapai tujuh kali lipat tahun sebelumnya menjadi 2,25 juta ton.
Impor gula tahun 2014 tercatat 2,96 juta ton. Sementara akhir tahun lalu, angkanya sudah mencapai 5,02 juta ton.
Impor garam tahun 2014 terpantau sebesar 2,26 juta ton. Sempat ditekan pada 2015 menjadi 1,86 juta ton. Namun, kembali melonjak pada 2016 menjadi 2,14 juta ton. Impor garam kembali bertambah menjadi 2,55 juta ton pada 2017 dan sebesar 2,83 juta ton pada 2018.
Beberapa bahan pangan belum bisa ditingkatkan produksinya untuk menekan impor. Sebagai negara pembuat tempe, Indonesia membutuhkan sekitar 2 juta ton kedelai setiap tahun. Tapi, produksi dalam negeri menurut BPS masih kurang dari satu juta ton. Tahun 2014, total produksi kedelai di Indonesia hanya 954.997 ton. Setahun kemudian, angkanya naik, tetapi tak signifikan, hanya 963.183 ton. Tahun 2016, produksi malah turun ke angka 890 ribu ton. Tahun 2017 diprediksi turun lagi menjadi hanya 750 ribu ton.
Swasembada kedelai telah dicanangkan sejak 2014, tetapi sampai 2017 masih jauh panggang dari api. Setiap tahun, Indonesia lebih banyak mengimpor kedelai daripada yang bisa diproduksi. Ini ironi lain di negara produsen tempe. Tahun 2016, misalnya, impor kedelai mencapai 2,3 juta ton. Sampai akhir tahun 2017, angka impor kedelai diperkirakan naik menjadi 2,53 juta ton.
Produksi kacang tanah lebih menyedihkan dibanding kedelai. Kalau produksi kedelai sempat naik tipis pada 2015, produksi kacang tanah malah menurun. Tahun 2013, produksi kacang tanah Indonesia bisa menyentuh angka 701.680 ton. Tahun 2014, pada masa awal pemerintahan Jokowi-JK, angkanya turun menjadi 638.896 ton. Tahun 2015, total produksi turun lagi menjadi 605.449 ton.
Padahal kebutuhan kacang tanah menurut Kementerian Pertanian sekitar 700 ribu ton pada 2016. Alhasil, Indonesia masih harus mengimpor kacang tanah. Sepanjang 2014, volume impor kacang tanah tercatat sebesar 253.236 ton. Tahun 2015, meski produksi menurun, tetapi volume impor juga turun tipis menjadi hanya 194.430 ton.
Dalam empat tahun terakhir impor tidak terkendali malah cenderung obral impor. Dampaknya, yang terpukul adalah petani dalam negeri. Tujuan untuk swasembada pangan dikhianati dengan kebijakan impor ugal-ugalan dan penunjukan pejabat yang doyan rente.
Ingkar Janji Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawacita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu yang menjadi beban sosial politik, yaitu kasus Kerusuhan Mei 1998, kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus Penghilangan Paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Selama menjabat, Presiden Joko Widodo belum melakukan langkah signifikan terkait janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Tidak ada satu kasus pun yang diselesaikan. Hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum membuat langkah konkret untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dari Komnas HAM. Padahal Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu kepada Jaksa Agung sejak 2002.
Berkas penyelidikan yang telah diserahkan adalah kasus Peristiwa 1965/1966, Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985, Peristiwa Penghilangan Paksa Aktivis 1997–1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998–1999, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Wasior Wamena 2000–2003. Komnas HAM juga menambah tiga berkas kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA, dan kasus Rumah Gedong yang diserahkan pada 2017–2018.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, mewacanakan penyelesaian kasus melalui mekanisme nonyudisial, yakni pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Kemudian DKN diubah menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pembentukan Tim Gabungan ini jelas sekali tidak memperhatikan mekanisme akuntabilitas dan prinsip keadilan bagi korban. Mengingat penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia harus diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Jokowi setidaknya merangkul tiga purnawirawan jenderal yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Menurut KontraS, tiga jenderal yang mengunci Jokowi itu adalah Menko Polhukam Wiranto, yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan Timor Leste; Hendropriyono dalam kasus Talangsari dan pembunuhan Munir Said Thalib; serta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam kasus pembunuhan pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay.
Ditambah pula, empat orang yang terlibat dalam operasi Tim Mawar, tim yang ditengarai terlibat dalam penculikan sejumlah aktivis di era Orde Baru, mengalami kenaikan pangkat tahun 2016. Empat anggota Tim Mawar yang baru saja menerima kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal adalah Fauzambi Syahrul Multazhar, Nugroho Sulistyo Budi, Yulius Selvanus, dan Dadang Hendra Yuda.
Pada 16 September 2016, Hartomo jadi sorotan media lantaran institusi militer mengabaikan jejak masa lalunya dan malah diangkat sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI. Sebelumnya, Hartomo diangkat menjadi Gubernur Akademi Militer di Magelang. Pangkatnya kini adalah Mayor Jenderal. Pada 2003, Hartomo didakwa oleh sebuah persidangan dan divonis 3,5 tahun penjara karena terlibat dalam pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay 11 November 2001 oleh prajurit Komando Pasukan Khusus ketika Hartomo menjabat Komandan Satuan Tugas Tribuana 10, sebuah Satgas Kopassus, yang bertugas di Jayapura.
Menurut Yati Andriyani (Koordinator Kontras), Jokowi tersandera dengan berbagai kompromi politik atas nama stabilitas politik. Presiden Jokowi menggunakan isu pelanggaran HAM berat hanya untuk mendapatkan sokongan politik, suara, atau dukungan politik.
Jokowi tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Jokowi bahkan dapat disebut ingkar janji, utamanya kepada para keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain catatan merah bagi pemerintahan Jokowi–JK terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi poin dalam Nawacita namun tak terlaksana, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga mencatat banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di era pemerintahan Jokowi–JK seperti misalnya kasus Novel Baswedan yang tak kunjung tuntas lalu dibiarkan saja.
Selama tiga tahun pertama pemerintah era Jokowi–JK berjalan, sudah 18 orang dieksekusi mati. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan eksekusi mati sebanyak 16 orang ketika era SBY selama 10 tahun menjabat. Indonesia menjadi sorotan internasional dalam forum Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Sejumlah negara menyorot soal tingginya angka hukuman mati di Indonesia. PBB mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk Indonesia, intinya meminta agar hukuman mati dihapuskan.
Sejak rezim Jokowi gencar membangun infrastruktur, dalam 4 tahun, Komnas HAM mencatat ada sekitar 400 aduan masyarakat berkaitan dengan isu pembangunan jalan tol, revitalisasi jalur dan stasiun kereta api, pembangunan bandara, waduk, dan sejenisnya. Komnas HAM menyayangkan masih terjadi kriminalisasi terhadap warga oleh aparatur dalam pembebasan lahan yang tanahnya terdampak pembangunan strategis. Umumnya, konflik yang berpotensi memunculkan pelanggaran itu terjadi antara masyarakat dan TNI-Polisi.
Di Jakarta, dalam catatan LBH Jakarta, ada 57 persen kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat TNI sepanjang 2016. Dari 90 kasus penggusuran paksa, 53 kasus di antaranya mengerahkan aparat TNI. Pada 2015, 65 dari 113 kasus penggusuran paksa melibatkan TNI.
KontraS mencatat tindak kekerasan telah mencoreng kredibilitas TNI sepanjang Agustus 2016 hingga Agustus 2017. Ada 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan serdadu. Di antaranya mengakibatkan 15 orang meninggal, 124 luka-luka, 63 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 65 peristiwa penganiayaan sipil. Dari pelaku: 97 kasus oleh TNI AD; 25 kasus oleh TNI AU; dan 16 kasus oleh TNI AL.
Kasus-kasus ini tergolong penganiayaan (65 kasus), bisnis keamanan (42 kasus), tindakan yang merendahkan martabat manusia (32 kasus), perusakan (16 kasus), penembakan (10 kasus), dan pendudukan (10 kasus). Dari lokasi: 93 kali terjadi di Sumatera Utara, 39 kali di Nusa Tenggara Barat, 38 kali di Jawa Barat, 36 kali di Sulawesi Selatan, 23 kali di Jawa Timur, dan 18 kali di Papua. Pelanggaran HAM ini paling sering terjadi pada September, Oktober, dan November 2016.
Komnas Perempuan juga mencatat ada 31 kasus kekerasan TNI terhadap perempuan sepanjang 2016. Selain itu, ada 6 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam proses penangkapan dan penahanan oleh aparat kepolisian dan TNI di Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah.
Berdasarkan catatan Setara Institute, ada 13 pelanggaran HAM selama 2015: 6 kasus di antaranya dilakukan oleh tentara dan polisi. Ada sekitar 100 orang Papua yang jadi korban, 9 orang meninggal, 49 orang luka-luka, dan 42 orang ditangkap oleh aparat TNI dan Polri. Papua tetap jadi salah satu wilayah paling termiliterisasi: seorang polisi atau tentara mengawasi 97 warga sipil.
Tanggal 8 Desember 2014—masa pemerintahan Jokowi–JK—terjadi peristiwa di lapangan Karel Gobai, Kota Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua, menewaskan empat pemuda setempat, Apius Gobay (16 tahun) yang tertembak di perut, Alpius Youw (18 tahun) tertembak di pantat, Simon Degei (17 tahun) tertembak di rusuk, dan Yulianus Yeimo (17 tahun) tertembak di perut dan punggung. Presiden Joko Widodo di depan masyarakat Papua saat ibadah Natal nasional di Stadion Mandala, Jayapura, 27 Desember 2014 meminta Kepolisian RI agar segera menyelesaikan kasus Paniai Berdarah hingga tuntas.
Namun, sudah lebih dari empat tahun berjalan, janji Presiden Jokowi akan mengusut tuntas kasus Paniai Berdarah belum juga ditepati. Keluarga korban bahkan merasa tertipu dan sudah tidak percaya Indonesia.
Paniai adalah kata kunci penting untuk menilai kesungguhan pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Keluarga korban justru ditawarkan uang oleh pemerintah dengan nominal menggiurkan, Rp4 miliar sebagai kompensasi atas tewasnya empat pelajar di Enarotali itu. Tawaran tersebut ditolak keluarga korban dengan alasan mereka mau pemerintah harus mengungkap para pelaku penembakan, keadilan harus ada karena anak mereka yang mau sekolah untuk menjadi tuan di atas tanah airnya sendiri telah mati ditembak. Nyawa manusia tidak bisa dibeli dengan uang.
Belakangan korban meninggal dunia bertambah menyusul meninggalnya Yulianus Yeimo pada April 2018. Ia adalah pemuda kampung Ipakiye, korban penganiayaan aparat tanggal 7 Desember 2014 malam, beberapa jam sebelum tragedi berdarah di Lapangan Karel Gobai Enarotali, Paniai.
Selain itu, kasus pelanggaran HAM yang menjadi catatan merah pemerintahan Jokowi adalah pelanggaran hak berekspresi. UU ITE saat ini menjadi senjata ampuh untuk membungkam kebebasan berekspresi rakyatnya. Sudah ratusan korban UU ITE.
Yang paling mutakhir adalah kasus penangkapan Robertus Robet, dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia diciduk polisi 7 Maret dini hari dari rumahnya setelah beberapa hari sebelumnya diteror dan diintimidasi aparat, lalu ditahan dan diperiksa, karena menyanyikan gubahan mars ABRI yang pernah populer dinyanyikan aktivis ketika masa gerakan reformasi 21 tahun silam di dalam Aksi Kamisan ke-576, 28 Februari 2018 yang mengangkat tema “tolak dwifungsi TNI”, sebagai pengantar pembuka orasi refleksi yang isinya menolak rencana pemerintah menempatkan perwira aktif di kementerian.
Robet dijadikan tersangka atas Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang perubahan atas UU 11/2009 tentang ITE dan/atau Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Gagal Melindungi Minoritas
Berbagai kasus yang menunjukkan gagalnya pemerintah melindungi kaum minoritas menjadi catatan buruk yang mewarnai pemerintahan Jokowi. Pasal penistaan agama yang memakan korban, penutupan rumah ibadah, kekerasan terhadap kaum marginal, dsb.
Sepanjang lima tahun masa pemerintahan Joko Widodo yang mengusung “kebhinnekaan” dalam kampanye Nawacita, kasus-kasus penutupan gereja yang berlarut-larut seperti GKI Yasmin (sejak 2008) dan HKBP Filadelfia (juga sejak 2008) tak kunjung beres. Para jemaat kedua gereja itu sudah menggelar 189 kali kebaktian di depan Istana Negara, tapi tak kunjung diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi. Kasus seperti ini bukan cuma terjadi pada kelompok Kristen, tapi juga pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sepanjang lima tahun terakhir, ada lima masjid Ahmadiyah ditutup. Itu belum termasuk persekusi dan pengusiran di Lombok.
Tidak ada jejak keberpihakan Jokowi terhadap kelompok minoritas yang tertindas.
Dalam urusan SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah yang kerap jadi batu sandungan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas, Jokowi sama sekali tidak melakukan apa-apa. Padahal sebagai presiden, ia memiliki kuasa untuk memerintahkan menterinya mencabut peraturan bermasalah tersebut.
Jokowi hanya jualan isu keberagaman, toleransi, pluralisme, dan lain lain. Ada kasus-kasus lama seperti kasus GKI Yasmin, HKBP Filadelfia yang seharusnya dapat dia selesaikan, tapi tidak dia selesaikan, atau tentang putusan Mahkamah Konstitusi untuk Penghayat. Padahal ia tak perlu melakukan tindakan yang heroik, cukup menjalankan putusan pengadilan, tapi itu pun tak dilakukan.
Aspirasi minoritas bukan lagi prioritas Jokowi.
Ia lebih memilih memainkan politik identitas dengan memenangkan hati kaum Islam konservatif dan mengesampingkan suara kaum minoritas dan pluralis. Jokowi lebih memilih mengabaikan suara kaum marginal yang dibungkam oleh kaum religius yang seringkali menjadi pemegang “kebenaran” di Indonesia di atas hukum yang berlaku. Penutupan gereja, perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum LGBT, sering dibiarkan demi menyenangkan kaum mayoritas.
Kecewa dengan Pilihan Cawapres Ma’ruf Amin
Pada 9 Agustus 2018, Jokowi secara resmi memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais ‘Aam PBNU Prof.Dr. K.H. Ma’ruf Amin. Pilihan ini merupakan hasil kompromi dengan partai-partai pendukungnya, dan merupakan upaya meraih suara dari golongan Islam konservatif, termasuk menepis tuduhan Jokowi sebagai antiulama.
Yang lebih mengecewakan, tokoh agama yang diusung Jokowi ini memiliki catatan buruk terhadap kaum minoritas, salah satunya ketika 2016 lalu menjadi salah satu saksi yang memberatkan Basuki Tjahaja Purnama dalam persidangan atas tuduhan penodaan agama. Pernyataan ini turut membikin Ahok, yang ketika itu masih jadi Gubernur DKI, mendekam di sel.
Tahun 2005, dalam Munas VII MUI, Ma’ruf Amin yang ketika itu menjabat Komisi Fatwa MUI memutuskan Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Menurut Asfinawati (Direktur YLBHI), MUI memang punya hak untuk mengeluarkan fatwa, tapi MUI sudah melebihi kewenangan mereka karena dalam keputusan yang sama juga meminta pemerintah pusat menutup rumah ibadah Ahmadiyah. Tahun 1980-an ada pandangan terhadap Ahmadiyah yang sangat berbeda, tapi tidak bisa meminta negara untuk mengeksekusi dan menutup rumah-rumah ibadah.
Pernyataan terbuka Ma’ruf juga kerapkali kontroversial dan mendiskreditkan kelompok minoritas, dan ini sejalan dengan pandangannya bertahun-tahun sebelumnya. Ketika Satpol PP Depok menyegel masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di kawasan Sawangan, Depok, pada 2016, Ma’ruf mendukung itu.
Ma’ruf juga pernah mengatakan bahwa LGBT itu haram dan seharusnya dipidana. Ia bilang, kaum LGBT seharusnya direhabilitasi. Pernyataan-pernyataan tersebut, kata Asfin, tentu saja mampu memicu konflik dan kekerasan berkepanjangan karena keluar dari mulut orang yang punya otoritas.
Alasan untuk Golput (2): Prabowo Bukan Pilihan
Prabowo jelas bukan merupakan pilihan karena rekam jejaknya pada kasus pelanggaran HAM. Prabowo memiliki catatan dalam kasus penculikan aktivis 1997/1998 yaitu peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998
Mendukung Prabowo berarti mendukung bagian dari dinasti orde baru Soeharto. Saat orde baru berkuasa, militer sepenuhnya memegang kendali di Indonesia. Beragam peristiwa kekerasan yang dimotori militer menjadi bagian sejarah pahit yang tak bisa dihapus.
Prabowo yang kerap bicara isu kerakyatan dan di visi misinya menyebut soal kriminalisasi, tapi Prabowo di masa lalu adalah bagian dari pelaku kriminalisasi. Belum lagi ratusan hektar tanah yang dimiliki Prabowo dan proyek-proyek yang dimilikinya tentu akan menjadi konflik kepentingan apabila berkuasa.
Lagipula, selama lima tahun pemerintahan Jokowi-JK ini, kubu oposisi yang dipimpin Prabowo dan Partai Gerindra bersama dengan partai koalisinya—PAN dan PKS, tidak menjalankan fungsi oposisi sebagaimana mestinya. Berbeda dengan kritik yang dilakukan bekas pemilih Jokowi di atas tadi, kubu oposisi ini tidak mengkritik Jokowi-JK dengan substansi kritik yang sama. Kritik atau serangan kubu oposisi ini kepada kubu petahana kebanyakan superfisial, recehan, dan menyerang personal—keturunan PKI/Cina, asing-aseng, plonga-plongo, kominis, dan semacamnya. Tidak ada kemajuan yang berarti dalam kualitas demokrasi dibanding Pilpres 2014. Jika menjadi oposisi saja mengecewakan, bagaimana mungkin bisa menjadi alternatif pilihan? Kira-kira apa sebab kubu oposisi tidak mengkritik petahana secara substansial dan intelek? Jangan-jangan memang kedua kubu ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Para Oligark di Belakang Jokowi dan Prabowo
Tidak mudah bikin parpol untuk ikut Pemilu 2019. Syarat administratif yang berat seperti kantor di seluruh provinsi hingga kota, kepengurusan minimal 75% dari jumlah kabupaten/kota di setiap provinsi, 50% dari jumlah kecamatan di kabupaten/kota itu, keterwakilan perempuan 30%, serta keanggotaan minimal 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk, selain berbadan hukum. Untuk bisa masuk parlemen mensyaratkan ambang batas perolehan suara (electoral threshold) 4%, lebih tinggi dari dua Pemilu sebelumnya, yaitu 2,5% (2009) dan 3,5% (2014). Pemilu 2019 ini mereka tak hanya saling bersaing, tetapi juga berkoalisi mengusung calon presiden dan wakil presiden, karena tak satu partai meraih 20% kursi di DPR.
Banyak parpol berada dalam cengkeraman oligarki. Golkar yang dibesarkan di dalam negara orde baru, menjadi kendaraan politik penting bagi oligarki dalam berebut sumber daya negara hingga kini. Oligarki tak lagi menumpuk di Golkar. Mereka saling bersaing, dengan menyeberang partai lain atau membentuk partai baru. PDIP yang awalnya sebagai oposisi, juga menarik masuk sejumlah pengusaha atau pebisnis untuk menduduki jabatan di partainya. PAN tak ketinggalan mengikuti jejak yang sama, menyediakan posisi pada pebisnis. Partai Demokrat yang muncul setelah Pemilu 1999, tetap tak terlepas dari jangkauan oligarki hingga SBY bisa melenggang dua periode terpilih jadi presiden. Dalam periode ini pula terselip skandal bailout Bank Century serta “mafia migas”.
Mereka yang hengkang dari Golkar membesut beberapa partai baru. Prabowo Subianto bersama adiknya Hashim, yang juga seorang konglomerat, mengibarkan Partai Gerindra. Wiranto mendirikan Partai Hanura yang kini diketuai seorang pengusaha. Belakangan “putra Cendana”, Tommy Soeharto membesut Partai Berkarya. Surya Paloh, seorang konglomerat media dan properti, memimpin Partai Nasdem. Konglomerat media lainnya, Hary Tanoesoedibjo, mengerek partai baru, Partai Perindo. Partai baru lainnya, Partai Garuda, disebut-sebut ada keluarga Cendana di belakangnya. PKB di bawah sentuhan Muhaimin Iskandar, juga menarik beberapa pengusaha.
Begitulah gejala oligarki menguasai parpol, maka politik ditentukan oleh kekuatan uang dan kepentingan bisnis. Sehingga demokrasi elektoral—Pemilu Legislatif dan Presiden, serta Pilkada—selalu dilumuri “politik uang” (money politics), serta buahnya banyak politikus DPR dan DPRD maupun pejabat politik dililit kasus korupsi dan suap. Politik ini semakin meneguhkan “negara korup”.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), di kubu Jokowi ada enam orang yang diketahui merupakan pengusaha tambang, yakni kakak dari Ketua TKN, Erick Thohir, Garbaldi Thohir; Bendahara TKN, Wahyu Trenggono; Luhut Binsar Panjaitan; Ketua Bravo 5, Fachrur Razi; dan anggota Bravo ,5 Letnan Jenderal Suaidi Marasabessy; serta anak Dewan Pengarah TKN, Jusuf Kalla, Solihin Jusuf Kalla.
Sedangkan di kubu Prabowo diketahui setidaknya ada lima pengusaha tambang; Prabowo Subianto sendiri pemilik PT Nusantara Energy; calon wakilnya, Sandiaga Uno yang melalui PT Saratoga Investama Sedaya Tbk yang memiliki 20,75 persen saham di PT Merdeka Copper Gold Tbk; adik dari Prabowo, Hashim Djojohadikusumo pemilik Asrari Group; Hanifah Husain istri dari Direktur Relawan BPN, Ferry Mursyidan Baldan yang menjadi direktur di tiga perusahaan tambang.
Relasi antara penguasa dan pengusaha berpotensi melahirkan konflik kepentingan.
Konglomerat pengusaha pemilik media pun dengan gagah berada di kedua kubu. Masuknya Erick Thohir di TKN Jokowi-Ma’ruf memperpanjang daftar yang ada di kubu petahana. Sebelum Thohir bergabung, sudah ada Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Perindo yang juga menguasai jaringan MNC Media. Ia pemilik resmi RCTI, Global TV, Koran Sindo, Okezone, INews TV, dan sejumlah media elektronik lain. Di sana juga ada Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem sekaligus pimpinan Media Group yang membawahi merek seperti Media Indonesia dan Metro TV.
Keberadaan Hary Tanoe, Erick Thohir, dan Surya Paloh di kubu Jokowi-Ma’ruf membuat hampir semua media elektronik dan TV sudah “dikuasai” pasangan tersebut. Aburizal Bakrie, usai suara Golkar diarahkan untuk Jokowi, agaknya masih setia mendukung kubu Prabowo. Di bawah Visi Media Asia, yang berkongsi dengan Erick Thohir, Bakrie memiliki tvOne, ANTV, dan portal berita Viva.co.id. Sementara itu, ke mana kira-kira dukungan mantan menteri era Presiden SBY, Chairul Tanjung baron media lewat konglomerasi CT Corp yang memiliki Trans TV, Trans7, Detik, CNN Indonesia dan CNBC Indonesia? SBY dan Partai Demokrat sendiri secara resmi ikut mengusung paslon Prabowo–Sandi.
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut masing-masing kubu menyumbang purnawirawan TNI yang duduga atau sudah diputus terlibat pelanggaran HAM. Keseriusan penanganan kasus pelanggaran HAM pun diragukan siapa pun yang jadi pemenang Pilpres 2019. Kubu capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo–Ma’ruf Amin disebut menyumbang 10 jenderal, sementara kubu capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto memiliki 9 jenderal diduga terlibat kasus HAM. Namun, itu belum termasuk Prabowo sendiri yang disebut dipecat dari TNI karena kasus penculikan aktivis 97/98.
Dari kubu 01 adalah Jenderal (Purn) Fachrul Razi (Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Timor Timur 1999), Letjen (P) Sutiyoso (peristiwa 27 Juli 1996, Kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa aktivis), Jenderal (P) Try Sutrisno (Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari), Jenderal (P) A.M. Hendropriyono (Talangsari 1989, Peristiwa 27 Juli 1996, Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Tomor Timur). Selain itu ada Jenderal (P) Wismoyo Arismunandar (Peristiwa Talangsari), Jenderal (P) Wiranto (Tragedi Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II/kasus TSS, penculikan aktivis 97/98), Tomor Timur), Jenderal (P) Ryamizard Ryacudu (Peristiwa Aceh, Peristiwa Papua), Mayjen (P) Winston Pardamean S. (kasus bentrok TNI-Polri di Batam November 2014), dan Mayjen (P) Muchdi P.R. (penculikan aktivis 97/98, pembunuhan aktivis Munir).
Dari kubu 02, menurut KontraS, mereka adalah Letjen (Purn) Yunus Yosfiah (penembakan wartawan Balibo 5, Timor Timur 1999), Letjen Sjafrie Sjamsoeddin (DOM Aceh, Peristiwa Timor Timur, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan paksa), Brigjen (P) Chairawan Kadarsyah (penculikan aktivis 97/98). Di samping itu, Mayjen (P) Glen Kairupan, Letjen (P) Yayat Sudrajat, Mayjen (P) Tono Suratman (Timor Timur 1999), Kolonel (P) Fauka Noor Farid (penghilangan paksa aktivis 97/98), dan Mayor (P) Bambang Kristiono (penghilangan paksa aktivis 97/98).
Keberadaan para terduga pelanggar HAM dalam barisan pendukung menunjukkan ketidakseriusan calon presiden dalam rangka pengakuan, penghormatan, dan perlindungan HAM ke depan. Namun, setidaknya kita tahu bahwa keduanya terjebak pada bayang-bayang purnawirawan.
Secara Terbuka Mendeklarasikan Golput
Dengan kenyataan yang ada di atas—sekadar menyebut beberapa dari sekian banyak persoalan—bahwa ternyata kedua pilihan yang tersedia sama-sama buruknya, menjelang Pilpres 17 April 2019 banyak pemilih Indonesia mulai secara terbuka menyatakan niat untuk tidak memberikan suara alias golput.
Tanggal 15 Januari 2019 sekelompok mahasiswa mende-klarasikan “Milenial Golput”. Mereka mengaku kecewa dengan dua kubu di Pilpres 2019. Di media sosial mereka melihat banyak posting bermuatan kebencian. Di dunia nyata menyaksikan dalam keluarga sering berdebat politis karena menyaksikan pemberitaan di media soal panasnya persaingan politik. Mereka mengaku resah melihat media sosial dipenuhi unggahan politis tak sehat. Buzzer membuat ruang publik di media sosial jadi sesak dengan hoax dan ujaran kebencian.
Nining Elitos, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) mengatakan KASBI bakal menyerukan anggotanya untuk golput karena tak ada hal baru dalam pemilu tahun ini, juga pada tahun-tahun sebelumnya. Ia juga mengatakan banyak buruh kecewa dengan kebiasaan elite melupakan kepentingan rakyat. Jokowi juga terbukti sesudah berkuasa, yang dulu janjinya rakyat harus hidup layak, mendapat pekerjaan yang layak, upah layak, BPJS gratis, pada kenyataannya tidak terjadi alias janji kosong. Nining menyindir keputusan pemerintahan Jokowi yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menambah susah kehidupan kelas pekerja.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memilih tidak mendukung capres mana pun. Padahal, ketika Pilpres 2014, AMAN secara vokal mendukung Joko Widodo yang saat itu menjadi gubernur Jakarta, dalam pemilu presiden. Tetapi, AMAN telah menolak untuk mendukung Jokowi lagi saat pemilu presiden bulan April nanti, dengan mengatakan presiden tidak menepati janji yang ia buat untuk kelompok-kelompok masyarakat adat. Aliansi ini juga tidak mendukung Prabowo Subianto.
Tanggal 13 Februari 2019, sejumlah organisasi yang menggeluti isu Papua menyatakan tidak akan memilih presiden (golput) pada Pemilu 2019 mendatang. Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) merupakan koalisi yang mewakili lima organisasi, yakni Pembebasan, PPR, PPRI, SEBUMI, serta LSS. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) juga menyatakan untuk golput. Berbagai kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang banyak terjadi di Papua justru tidak disinggung sama sekali dalam debat-debat capres-cawapres.
Mereka menyampaikan bahwa baik Jokowi ataupun Prabowo memiliki citra yang buruk bagi mereka. Prabowo memiliki catatan buruk dalam kasus Mapenduma, sedangkan Jokowi sebagai petahana mengabaikan sejumlah pelanggaran yang berlangsung. Janji-janji Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti Paniai Berdarah, Deiyai, Dogiyai, dan sebagainya, tapi hanya berakhir dengan kata maaf. Setiap tahun ada peningkatan mobilisasi militer ke West Papua.
Sejumlah aktivis masyarakat sipil tanggal 23 Januari 2019 juga menyatakan sikap untuk tidak memilih saat pemilu atau golongan putih (golput). Hal itu disampaikan dalam diskusi “Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana” yang dihadiri ICJR, KontraS, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dan YLBHI.
Beberapa aktivis HAM secara terbuka telah menyatakan golput, seperti Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Menurutnya golput dalam konteks sekarang adalah suatu langkah rasional. Sebagai pegiat HAM, ia melihat tidak ada jalan keluar bagi para korban pelanggaran HAM dari kedua calon, keduanya punya rekam jejak yang sama. Kelompok yang mendukung Prabowo dan kawan-kawan, banyak dari mereka terlibat kasus-kasus intoleransi. Sedangkan Ma’ruf Amin, mengeluarkan fatwa-fatwa yang menimbulkan diskriminasi, bahkan kekerasan kepada minoritas.
Haris Azhar (Lokataru Foundation) menilai kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden memiliki latar belakang yang sama. Karenanya, ia memilih untuk golput pada 17 April mendatang.
Advokat publik, mantan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, menyebutkan bahwa pilihan untuk menjadi golongan putih (golput) adalah bentuk protes karena menginginkan sistem politik yang lebih baik. Golput merupakan hak konstitusional warga negara dan ternasuk hak untuk memilih dan berekspresi yang diatur dan dilindungi oleh UUD 1945.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari korban Tragedi Semanggi I, kecewa dengan Presiden Joko Widodo yang dinilainya tidak tepat janji. Sudah memasuki tahun ketiga pemerintahan, Presiden Jokowi belum juga melaksanakan salah satu poin dalam Nawacita, yakni menuntaskan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu. Sumarsih pun menegas-kan, tidak akan menjatuhkan pilihannya pada Pilpres 2019 untuk Jokowi. Program aksi Jokowi-JK, salah satu butirnya mengatakan, kami berkomitmen menghapus impunitas. Tapi, kenyataannya sudah tahun ketiga pemerintahannya, sampai sekarang belum ada tanda-tanda memprioritaskan penyele-saian kasus HAM berat masa lalu.
Suciwati, istri almarhum pejuang HAM Munir Said Thalib mengaku tak mau lagi terlalu berharap kepada Presiden Joko Widodo. Pasalnya, hingga kini, kasus kematian suaminya itu tak kunjung dituntaskan. Padahal dalam janjinya saat kampanye dan September 2016, Jokowi mengatakan akan menuntaskannya dan menemukan dokumen tim pencari fakta (TPF) kasus Munir yang dinyatakan hilang.
Warga korban gusuran di Cikuasa Pantai dan Kramat Raya, kota Cilegon menyatakan golput dalam Pemilu 2019. Jumlah pemilih di dua wilayah itu mencapai 3.000 pemilih. Warga korban gusuran memilih golput lantaran tak ada kejelasan soal ganti rugi dari pemerintah Kota Cilegon. Padahal, mereka telah dinyatakan menang oleh pengadilan dan Pemkot wajib mengganti rugi. Mereka digusur oleh Pemkot Cilegon pada Agustus 2016 lalu, dua tahun lebih warga di sana mengharapkan belas kasih warga lain untuk menyambung hidup.
Tanggal 8 Maret 2019, Komite Politik Alternatif, yang merupakan koalisi organisasi buruh yang terdiri dari Partai Rakyat Pekerja (PRP), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Kongres Politik Organisasi (KPO), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), dan Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), mendeklarasikan diri golput di gelaran Pilpres bulan depan dalam demonstrasi di depan gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Melalui referendum yang diselenggarakan secara demokratis pada tanggal 10 Maret 2019, Pengurus Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR) mengajukan golput menjadi posisi organisasi dalam Pemilu 2019. Posisi golput dinilai sebagai satu-satunya posisi politik yang tidak kontradiktif dengan program politik, yakni pembangunan partai politik alternatif. Dalam referendum tersebut, 80,52% anggota FSEDAR menyetujui posisi politik golput, sedangkan sebanyak 19,48% menyatakan hak pilih harus tetap digunakan. Dengan demikian, serikat secara resmi dapat menjadikan golput sebagai posisi organisasi. Tentunya posisi golput bukanlah suatu bentuk kepasrahan, tetapi sebagai bagian dari upaya pembangunan kekuatan politik alternatif.
Sebagai bentuk kekecewaan atas Pemilu 2019 yang tidak demokratis, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyatakan sikap untuk tidak menyalurkan hak suaranya pada Pemilu 2019. Langkah ini merupakan keputusan secara nasional dari serikat pelajar yang ada di 11 Provinsi dan 23 kabupaten dan kota se-Indonesia. Menurut mereka, tidak ada satu pun partai politik yang mewakili kepentingan rakyat dan lahir dari rahim rakyat. Pemilu hanya sebagai ajang pesta kaum modal, bukan pesta rakyat. Undang-undang pemilu dan pembentukan partai itu menyulitkan rakyat luas untuk terlibat dalam kontestasi pemilu.
Sejumlah aktivis hak asasi manusia, tokoh-tokoh simpul gerakan rakyat, kelompok terpelajar lainnya, dan individu-individu secara meluas mulai mendeklarasikan pilihan mereka untuk tak memilih alias golput.
Gus Dur Pernah Golput
Sikap golput Gus Dur pada tahun 2004 adalah sebuah sikap moral yang merupakan hak sebagai warga negara, menurut tata hukum yang berlaku. Bahkan, dalam pandangan mantan presiden Abdurrahman Wahid, atau biasa dipanggil Gus Dur, gerakan golput tidak hanya untuk memberikan kritik pada sistem yang dianggap lalim, tapi juga memperbaiki sistem demokrasi pascareformasi.
Kenyataan demi kenyataan yang Gus Dur gambarkan, tidak heran jika lalu mendorongnya kepada sikap menolak berpartisipasi dalam sebuah “pemilu” yang hanya akan mempertahankan dan melestarikan status quo? Gus Dur beranggapan, keikutsertaannya dalam pemilu seperti itu, hanya akan berarti kerja “memperpanjang penderitaan” saja. Karenanya ia lalu mengambil sikap “bergolput ria”. Apa akibatnya bagi sistem politik kita yang ada dewasa ini? Mungkin dengan sikap Gus Dur itu, akan cukup banyak anak-anak bangsa yang tergerak hati dan pikiran mereka untuk melakukan perlawanan lebih jauh.
Tidak Ada Peluang Memunculkan Calon Alternatif
Buruknya sistem politik yang berlaku saat inilah yang mengakibatkan rakyat hanya ditawari dua paslon yang sama-sama buruk dari 250 juta penduduk yang tersedia di NKRI ini. Syarat-syarat membentuk partai elektoral dipersulit, sehingga hanya partai-partai modal besar yang dapat ikut pemilu dan sistem politik kita menutup adanya partai lokal, kecuali di Aceh yang memiliki Otonomi Khusus.
Ketentuan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu nasional sebelumnya sudah jelas mengecilkan peluang munculnya tokoh alternatif.
Meski sebuah partai politik telah lolos verifikasi nasional dengan syarat yang berat dan berbiaya mahal, telah punya kursi di DPR, tapi tidak dapat serta merta mencalonkan siapa pun sebagai Presiden Republik Indonesia. Syarat yang berat untuk mengajukan calon presiden ini, memaksa sesama partai modal besar, bergabung menjadi kekuatan modal yang lebih besar agar dapat mencalonkan seseorang sebagai presiden. Padahal, pengalaman memiliki presiden secara langsung selama tiga kali sejak 2004, menunjukkan bahwa calon yang diinginkan masyarakat umum bisa berbeda dengan calon-calon yang dikehendaki para kumpulan partai modal besar ini.
Aroma oligarki para elite ini semakin dikunci dengan tidak ada peluang mengajukan calon presiden independen. Padahal, masih dalam sistem NKRI yang sama, gubernur, bupati, atau walikota dapat dicalonkan dari jalur independen.
Padahal sistem rekrutmen pejabat publik lewat mesin-mesin partai modal besar bersama para sponsornya ini (oligarki) tidak selalu menjamin hasil yang baik. Dalam 13 tahun terakhir, terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dan sebagian besar dari mereka dipastikan adalah pejabat yang disorongkan dan didukung lewat jalur partai-partai politik. Dengan sistem politik yang oligarkis dan tertutup seperti ini pun, kedua capres dan cawapres saat ini sama-sama terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu semata-mata untuk meraih dukungan.
Meningkat Dari Pemilu ke Pemilu
Berdasarkan sekian banyak varian kekecewaan rakyat sekaligus kemacetan politik di atas—sekadar menyebut beberapa saja dari 1001 alasan-alasan lainnya—maka pada Pemilu 2019 yang akan berlangsung kurang dari sebulan lagi, jumlah mereka yang memilih golput diprediksi akan meningkat.
Indonesia sebetulnya memiliki tingkat partisipasi pemilih yang relatif tinggi dengan standar internasional—misalnya kalau dibandingkan dengan negara yang dianggap kampiun demokrasi Amerika Serikat dengan rata-rata pemilih cuma 50% setiap pemilu—tetapi tingkat golput telah meningkat secara signifikan dari pemilu ke pemilu.
Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, golput pada Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Tingginya angka golput bisa jadi disebabkan karena ini merupakan penyelenggaraan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia dan masih banyak rakyat buta huruf.
Pada Pemilu 1971—pemilu pertama rezim orba—ketika golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru angka golput hanya 6,67%. Golput pada Pemilu 1977 sebesar 8,40%. Dan angka golput berturut-turut pada Pemilu 1982 sebesar 9,61%; Pemilu 1987 sebesar 8,39%; Pemilu 1992 sebesar 9,05%; dan Pemilu 1997 sebesar 10,07%.
Pascareformasi, angka golput pada Pemilu 1999 sebesar 10.40%. Berturut-turut pada Pileg 2004 golput sebesar 23,34%; Pilpres 2004 putaran I sebesar 23,47%; Pilpres 2004 putaran II sebesar 24,95%. Pileg 2009 sebesar 29,01%; Pilpres 2009 sebesar 27,77%; Pileg 2014 sebesar 24,89%; dan Pilpres 2014 sebesar 30,42%.
Sebagai pembanding, pada Pilkada Serentak 2015, 2017, dan 2018, tingkat partisipasi pemilih berada rata-rata di kisaran 70–75%. Bahkan, di beberapa daerah partisipasi pemilih di bawah 60%. Sementara target KPU sebesar 77,5%. Angka partisipasi pemilih ini belum termasuk angka mereka yang tetap datang memilih namun mencoblos sehingga menjadikan surat suaranya tidak sah (golput aktif).
Pada pemilu 2019 ini, KPU menetapkan jumlah pemilih 192.828.520 orang. Jika tren golput sama dengan Pemilu sebelumnya, diperkirakan ada sekitar 60 juta pemilih yang tidak akan memilih. Namun jika tren itu naik jadi 40 persen, bisa dipastikan justru “suara” golput akan lebih besar dari kemungkinan perolehan suara masing-masing capres. Angka golput 40 persen setara dengan 77.131.408 suara. Artinya, kedua capres hanya memperebutkan sekitar 115 juta suara, sementara hasil survei-survei terbaru menyebutkan selisihnya tidak akan besar.
Meski tren golput kemungkinan naik, suara pada pilpres mungkin tidak akan terlalu anjlok karena suara pemilih yang baru mendapatkan hak pilih di pilpres ini. Mereka punya potensi untuk memilih karena mereka belum pernah dikecewakan. Mereka akan memilih presiden untuk pertama kali, bisa jadi partisipasi mereka akan tinggi.
Golongan Setan
Ketika golput dicetuskan pada awal orde baru, Pangkopkamtibda Djakarta menyatakan Golput sebagai organisasi terlarang, dan pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan. Sejumlah diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang oleh Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya. Larangan serupa juga dilakukan di Jawa Tengah. Adam Malik, Menteri Luar Negeri ketika itu, menyebut golput sebagai golongan setan. Sementara Ali Murtopo, yang saat itu menjadi asisten pribadi Presiden Soeharto, menyebut golput “Seperti bau kentut saja. Rupanya tidak ada tetapi baunya ada.”
Mirip zaman orba, kini golput juga punya banyak julukan. Seorang seniman poster Alit Ambara menyebut golput sebagai “golongan pucuk tai”. Seorang rohaniwan, mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rm. Franz Magnis-Suseno,S.J., menyebut mereka golput sebagai bodoh, just stupid, berwatak benalu, kurang sedap, mental tidak stabil, psycho-freak. Belakangan Romo Magnis menyesal dan mengakui hal itu merupakan kebodohan terbesar memakai kata-kata sebutan itu. Ia pun menarik kata-kata benalu dan psycho-freak. Grup musik Slank juga menyebut golput itu cemen.
Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri menyebut golput sebagai sikap pengecut. Hal itu disampaikannya dalam kampanye yang digelar di Gedung Olahraga Pandawa Solo Baru, Sukoharjo, 31 Maret 2019. “Sebagai warga negara Indonesia jangan golput, golput itu pengecut, tidak punya harga diri, tidak usah jadi WNI,” kata Megawati dalam orasinya yang disambut sorak sorai pendukungnya. Padahal, berdasar jejak digital, Megawati juga pernah menyerukan dan mendeklarasikan dirinya golput dalam Pemilu 1997 yang lalu.
Menko Polhukam Wiranto, 27 Maret 2019, menyatakan orang yang mengajak menjadi golongan putih (golput) dalam Pemilu 2019 merupakan pengacau. Menurut dia, mengajak golput merupakan tindakan yang mengancam hak dan kewajiban orang lain. Wiranto menuturkan pihak yang mengajak golput berpotensi bisa dikenakan sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Terorisme. Jika UU itu tidak bisa diterapkan, ia menyebut masih ada UU Informasi Transaski Elektronik atau UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menjerat pihak yang mengajak golput saat Pemilu 2019.
Tentu saja pernyataan Wiranto ini langsung direspons banyak orang. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz mengatakan masyarakat yang tak menggunakan hak pilih alias golput tak perlu dipidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Antiterorisme. Pernyataan Wiranto tersebut kurang tepat karena tak berlandaskan aturan perundang-undangan. Ia mengatakan hukum Indonesia memang memandang golput sebagai hak politik, setara dengan memilih. Hak politik warga negara dijamin Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pernyataan Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, soal pemidananaan penganjur golput sebagai hal yang kontraproduktif. Pernyataan Wiranto justru berpeluang mengubah golput menjadi gerakan ideologis.
Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menyanggah pernyataan Menko Polhukam Wiranto. Ia menilai tiga undang-undang (UU) yang disebut Wiranto yakni Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Informasi dan Transaksi Elektronik, atau KUHP tidak bisa digunakan untuk menjerat pihak yang mengajak golput. Ancaman pidana bagi pihak yang mengajak golput sebagaimana disampaikan Wiranto hanya menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat
Pasal 1 angka 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah menyampaikan secara tegas bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban massal, menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Terkait penggunaan UU ITE, ketentuan tentang perbuatan yang dilarang dalam regulasi itu hanya dapat digunakan untuk menjerat perbuatan-perbuatan seperti penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman. Selain itu, berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen, informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, akses tanpa izin, perusakan informasi elektronik, dan perbuatan lain.
Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU ITE yang dapat digunakan untuk menjerat perbuatan kampanye golput sebagaimana disampaikan.
Dalam Pasal 146 hingga 152 KUHP pun telah dengan jelas dinyatakan beberapa perbuatan yang dapat dipidana terkait dengan Pemilu. Pasal 148 KUHP menyatakan bahwa perintangan terhadap penggunaan hak pilih yang dapat dipidana harus dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan dilakukan pada saat waktu pemilihan diadakan. Ketentuan ini, memiliki muatan yang hampir sama dengan Pasal 515 UU Pemilu.
ICJR menilai bahwa kampanye golput yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat, tidak dapat dipidana menggunakan ketentuan ini. Anggara pun menegaskan pilihan untuk menjadi golput adalah bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya yang dijamin oleh UUD 1945 di Pasal 28. Hak untuk menyatakan pilihan politik pada hakikatnya merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan, sehingga menyatakan diri menjadi golput sebenarnya adalah pilihan untuk tidak menggunakan hak tersebut.
Golput dan Kampanye Golput, Tidak Bisa Dipidana
Posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan pelanggaran hukum dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Sebab, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak melarang seseorang menjadi golput. Pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan golput, namun berdasarkan Pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku.
Pasal 515 UU pemilu berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan: Pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih”, dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya orang yang mengerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.
Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat dipidana. Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana. Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yag dijamin oleh Undang-Undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain menggunakan janji dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.
Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini. Apabila nantinya terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini bagi mereka yang golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye golput adalah pelanggaran serius bagi hak konstitusi negara.
Sikap golput, dilindungi oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Klausul yang dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No.39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25.
Golput sah secara hukum karena dijamin pada Pasal 28 UUD dan Pasal 23 UU tentang HAM. Pasal 28 UUD berisi apa-apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia. Pasal 28E: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Hak memilih di sini termaktub dalam kata “bebas”. Artinya, bebas digunakan atau tidak. Sementara Pasal 23 UU HAM berisi: “(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Kritik dari Gerakan Golput
Golput yang berangkat dari pemikiran rasional mesti diyakinkan dengan visi, program, dan janji yang logis dan rasional. Mencegah golput tidak akan mempan jika hanya dipaparkan dengan hal-hal yang bombastis, janji palsu, dan harapan tak masuk akal. Golput adalah protes, karena itu perlu penjelasan dengan data valid beserta argumentasi yang kokoh, bukan malah mendiskreditkan golput. Golput tidak dapat ditumpas dengan berbagai ancaman atau larangan yang sampai saat ini digunakan untuk sekadar menakut-nakuti.
Jika ingin menumpas golput, berikut kira-kira tips yang harus dilakukan:
Pertama, karena Golput adalah sikap protes terhadap sistem politik yang ada, maka segeralah merevisi dan mengubah UU tentang Pemilu dan kepartaian yang ada menjadi lebih demokratis.
Kedua, jangan coba-coba mengingkari suara rakyat. Karena Golput adalah semacam bentuk hukuman terhadap penguasa yang pernah terpilih sebelumnya, agar jangan sekali-kali mengkhianati kepercayaan dan harapan-harapan yang sudah dititipkan rakyat atas janji-janji pada masa kampanye.
Ketiga, karena Golput dengan tidak memilih partai politik adalah juga bentuk kritik terhadap partai politik yang semakin hari semakin tidak membawa aspirasi rakyat, maka parpol-parpol yang ada sebaiknya segera membenahi diri agar semakin tidak ditinggalkan rakyat pemilihnya.
Keempat, terhadap para pendukung paslon yang ada, Golput sebagai bentuk kritik terhadap perilaku cebong–kampret yang semakin hari semakin membabi-buta mendukung pujaannya, maka semakin cerdaslah dalam dukung-mendukung junjunganmu, agar kehidupan politik kita semakin sehat dan bukannya malah semakin menjengkelkan dan mengganggu khalayak.
Bagaimana Seandainya Jokowi Kalah?
Seandainya Jokowi kalah, itu bukan karena golput, tapi karena ia tidak menggunakan kesempatan selama berkuasa untuk melaksanakan janji-janji kampanye dan harapan-harapan rakyat yang sudah memilihnya 5 tahun lalu.
Meskipun banyak yang menakut-nakuti bahwa dengan golput akan membuat yang terburuk berkuasa, tapi bagi golput, politik ketakutan untuk memenangkan salah satu calon sudah tidak relevan lagi. Doktrin minus malum atau prinsip the lesser of two evils sudah tidak berlaku lagi. Sebab kedua calon yang ada sama buruknya.
Siapa pun yang menang, rakyat tetap kalah.(*)
Editor: Andre Barahamin
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
HAM di Indonesia Sudah Mampus Bertahun-tahun yang Lalu!
-
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
-
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
-
Setelah Tanggal 17, Apa?
-
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955
-
Demokrasi di Minahasa: Tu’ur In Tana’, Pinawetengan, Paesaan In Deken Hingga Pemilihan Ukung