OPINI
Golput itu Pendidikan Politik Untuk Pembebasan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx8 April 2019
Oleh: Saleh Abdullah
Aktivis gerakan sosial
“Don’t ever question the value of volunteers. Noah’s Ark was built by volunteers; the Titanic was built by professionals.” (Dave Gynn)
DARI SEGALA ARAH dan bertubi-tubi Golput diserang. Dikatakan sakit mental (psycho freak), diharamkan, dianggap pengecut oportunis, dan diusulkan untuk dianggap sebagai teroris dengan ancaman jeratan 3 undang-undang sekaligus!; UU Anti Terorisme, ITE, dan KUHP. Mereka yang menuduh dan mencaci, ya, yang terhormat para elit agama dan politik.
Makanya jangan pernah berpikir bahwa tingginya posisi, elitisme, berkorelasi dengan naiknya mutu pikiran dan kebijaksanaan seseorang. Setidaknya, di negeri ini.
Lalu apa sikap para Golputer terhadap semua tudingan itu?
Biasa saja. Santai, tidak mengerahkan massa, tidak mengancam akan bikin people power, tidak ikut nyebar hoaks, dan tidak mengadukan hal tersebut ke polisi. Paling maksimal cuma bikin ramai di media sosial masing-masing. Sambil lucu-lucuan.
Sepertinya, para Golputer, penganut ujaran Charlie Chaplin: “Hidup adalah tragedi bila dilihat secara close-up, tapi jadi komedi bila dilihat secara long-shot.”
Golput memang berpikirnya panjang, tidak pendek sebatas Pilpres dengan segala hasrat kekuasaannya. Itu mungkin mengapa mereka lucu-lucu.
Golput didirikan pada awal Orde Baru, pada 28 Mei 1971. Persisnya menjelang Pemilu pertama Orde Baru pada Juni 1971. Golput bahkan didirikan oleh aktivis pendukung dan pendiri Orde Baru seperti Arief Budiman, Jusuf AR, Julius Usman, Imam Walujo, Adnan Buyung Nasution, dan lain-lain, untuk mengritik Orde Baru.
Memang, bila dilihat dari konteks kekuasaan Suharto yang mulai mencengkeramkan syahwat kuasanya ketika itu, Golput seperti sedang melawan kediktatoran Orde Baru Suharto di usianya yang masih belia. Itu sebab para politisi saat ini menganggap Golput saat ini tidak relevan, karena saat ini kediktatoran itu sudah “tidak ada.”
Pikiran tersebut, sepintas, bisa dikatakan “ada benarnya.”
“Benar” dalam arti saat ini sistem multi partai relatif dibolehkan. Keinginan untuk membuat partai, sepanjang semua syarat dipenuhi, boleh-boleh saja.
Sesuatu yang di masa Orde Baru bisa dianggap subversif dengan ancaman hukuman maksimal: mati!
Tapi kalau melihat sejauh mana kebijakan-kebijakan saat ini dilaksanakan, perdebatan bisa dibuka panjang lebar, dan mungkin bertele-tele.
Tapi ada yang menyesatkan dari pandangan bahwa Golput tidak kontekstual saat ini, bila dilihat dari esensi ide pada awal mula berdirinya. Para pencetus awalnya menganggap Golput bukan untuk mencapai kemenangan politik, karena mereka memang bukan partai.
Golput adalah gerakan moral untuk pendidikan politik, untuk melahirkan tradisi bagi adanya jaminan perbedaan pendapat terhadap penguasa dalam situasi apapun.
Konteks politiknya memang menjelang Pemilu 1971, setelah Suharto mematikan beberapa partai politik, seperti Masyumi, PSI, dan PKI. 10 Partai yang tersisapun, belakangan, direduksi lagi oleh Soeharto mejadi hanya 3 partai, PDI, PPP, dan Golkar.
Jadi naluri para pencetus Golput ada benarnya, bahwa Pemilu 71 adalah awal dari tindakan otoritarianisme Soeharto dan Orde Baru-nya.
Jadi konteks politik berdirinya, memang dalam rangka merespon Pemilu 71. Memang ada juga konteks kritik para pencetus Golput terhadap rekan-rekan mereka sesama aktivis 66 yang sudah terkooptasi oleh Orde Baru dan menjadi anggota Parlemen.
Tapi konteks, ya, konteks.
Beda dengan esensi dan visi. Konteks terbatas, jangka pendek. Esensi atau visi lebih panjang dan luas, melewati batas-batas konteks.
Akhir-akhir ini, karena rasa kuatir secara elektoral, para politisi mengecam Golput. Yang mengecampun bukan orang sembarang orang. Mereka tokoh, elit sosial dan politik, juga menteri. Dari kecaman tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, pengecut, dan sebagainya.
Karena para Golputer adalah orang-orang -yang saya kenal- berwawasan dan berpengalaman luas, mereka santai-santai saja menghadapi semua kecaman itu. Sepertinya antara para pengecam itu tidak ada koordinasi.
Begini, Golput pernah dikecam sebagai psycho freak. Itu kecaman serius, melecehkan. Itu kan, sama artinya dengan “sakit mental,” atau beda tipis dengan “gila.”
Nah, lalu ada lembaga agama yang mengatakan bahwa Golput itu haram.
Dua pernyataan itu jelas bertabrakan. Para Golputer yang saya kenal tidak gampang sakit hati seperti para politisi pengecam itu, dalam menghadapi kedua jenis tudingan di atas. Mereka tertawa saja, sambil menunjukkan bahwa kedua tudingan di atas, contradictio in terminis.
Begini.
Kedua kecaman di atas, masing-masing dilansir oleh dua tokoh agama yang berbeda. Di dalam Islam itu, orang yang dianggap sebagai gila atau sakit mental, akan dibebaskan dari beban dosa atau salah. Jadi bikin umat bingung, kan?
Oke, mungkin ada yang akan bilang: “Lha, beda tokoh agama kok. Jangan disamakan, dong. Yang Islam, kan, tidak menganggap Golput itu gila.”
Mungkin lho, ya. Tapi okelah, anggap saja akan ada orang beranggapan seperti itu.
Tapi kedua statemen itu, kan, dinyatakan secara publik dan dibaca semua orang. Artinya, kalau ulama Islam merasa berbeda pandangan, klarifikasi dulu pernyataan pertama itu ke orang yang membuatnya.
Bilang “maaf bung, pak, atau apalah, pernyataan anda itu tidak sesuai dengan pandangan kami. Menurut kami, Golputer itu bukan psycho freak. Mereka waras, berpendidikan, dan pintar-pintar, malah. Pencetus Golput dulu aja para tokoh. Jangan bilang gila, dong. Kami mau haramkan mereka, nih.” Gitu kira-kira.
Makanya tadi saya bilang, seperti tidak ada koordinasi antara para pengecam.
Lalu pernyataan Pak Wiranto yang mau menjerat Golput dengan salah satu dari tiga UU sekaligus (UU Anti Terorisme, ITE, KUHP), juga ditentang oleh pak Mahfud MD. Menurut Mahfud, tidak ada UU yang bisa menjerat pengajak Golput.
Ajakan tidak memilih tidak bisa dijerat pidana. Tidak ada undang-undang yang mengatur ajakan untuk Golput sebagai pelanggaran hukum. Mau dianggap tindakan teror, bukan teror. Mau dibilang hoaks, juga bukan. Lha, mengajak itu terang-terangan dan bukan hoaks, kok.
Menurut ahli hukum tata negara ini, satu-satunya tindakan yang bisa dianggap melanggar hukum, kalau aktivis Golput nyata-nyata mengintimidasi atau menghalangi orang yang mau menyalurkan hak pilihnya.
Sederhananya gini. Kalau pas di hari pemilihan sejumlah aktivis Golput menyandera satu keluarga yang punya hak pilih, mengikat mereka dan mengancam dengan todongan senjata misalnya, itu baru para Golputer bisa diciduk karena melakukan pelanggaran hukum serius.
Masa sekaliber Menteri Koordinator, yang mengoordinasikan politik dan hukum pulak, bikin pernyataan publik yang tidak cermat? Bahaya sekali kan kalau penyelenggara negara seteledor itu, kan?
Lalu tudingan bahwa para Golputer tidak bertanggungjawab, tidak mencintai tanah air, cuma numpang makan di negeri ini dan serapah lainnya. Ini jelas tudingan yang sembarangan. Untungnya para Golputer itu orang-orang yang slow dan culun. Mereka tidak mengadukan tudingan itu ke polisi sebagai pelecehan.
Ha gimana?
Banyak mereka yang menyatakan akan Golput itu, saya kenal baik punya komitmen kerja kemanusiaan yang kuat. Banyak dan sering dari mereka bekerja dengan komitmen tinggi pada isu-isu kemanusiaan seperti tanggap darurat bencana, pendidikan literasi di komunitas-komunitas terpencil di mana listrikpun tak ada, membantu aparat-aparat desa dalam membuat perencanaan pembangunan desa, memperjuangkan lingkungan hidup dan hak azasi manusia. Hal-hal yang tidak dikerjakan oleh politisi atau kader parpol.
Sementara kader partai yang terpilih, baik menjadi politisi atau pejabat eksekutif negara, malah tidak sedikit yang dicokok KPK karena laku keparat mereka. Lalu siapa yang paling bertanggungjawab kepada negara dan kemanusiaan, ibu ketua partai? Siapa?
Jadi tudingan-tudingan kepada Golput itu jelas, bukan hanya salah secara hukum dan hak azasi manusia, juga menyesatkan. Menyesatkan karena masyarakat digiring pada arus pengertian bahwa pemilu dan hasil-hasilnya baik-baik saja, dan karena itu masyarakat wajib berpartisipasi.
Dan bahwa tindakan Golput itu salah dan tidak bertanggungjawab. Padahal Golput justru memulai sikapnya dengan salah satu pandangan mendasar: menggugat tanggung jawab para penyelenggara negara.
Sayangnya, dengan melancarkan serangan dan tudingan tersebut, mestinya para elit politik dan intelektual itu merasa malu.
Mereka harusnya menyadari tentang betapa tak bermutunya semua serangan dan tudingan mereka. Mereka telah diberi tempat dan pengakuan yang tinggi dari masyarakat, di posisi-posisi yang begitu strategis, tetapi malah memproduksi pernyataan-pernyataan yang dari segi kualitas dan moral, tak setara dengan posisi mereka (untuk tak menyebutnya sembrono).
Kalau kita semua sepakat bahwa pada setiap pemilihan umum, ada aspek pendidikan politik bagi masyarakat, lalu hasil pendidikan seperti apa yang diharapkan?
Apakah terus membebek saja kepada para demagog itu, mengunyah dan menelan semua hoaks politik yang berseliweran, mengamini semua anggapan tanpa perlu menyaring dan menyeleksinya? Bukankah hasil pendidikan terbaik adalah ketika mereka yang dididik bisa memunculkan sikap kritis, pandangan berbeda untuk menuju sesuatu yang lebih baik?
Education yang berarti pendidikan itu, berasal dari kata Latin educere, yang merupakan gabungan dari ex (out/keluar) dan ducere (to lead/membawa, memimpin). Sehingga arti educere bisa bermakna membawa keluar atau menyelamatkan dari situasi yang buruk, atau membebaskan. Bukan membebek. Itu! (*)
Editor: Andre Barahamin