ESTORIE
Gomburza: Kristen Syahid Inspirasi Gerakan Anti Kolonialisme
Published
6 years agoon
By
philipsmarx25 Februari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Tiga orang pastor dieksekusi mati melalui peradilan rekayasa. Di kemudian hari, mereka jadi inspirasi gerakan anti kolonialisme.
GOMBURZA MUNGKIN TIDAK populer bagi kalangan revolusioner dan pemeluk agama Kristen di Indonesia. Tapi di Filipina, Gomburza adalah catatan yang terus dikenang hingga saat ini. Kisah mereka adalah catatan sejarah tentang keberpihakan para pastor menentang kolonialisme yang dijadikan teladan tentang bagaimana seharusnya gereja berpihak saat rakyat luas ditindas.
Gomburza adalah akronim untuk menyebut tiga orang revolusioner Filipina: Mariano Gomez, Jose Burgos dan Jacinto Zamora. Ketiganya adalah pastor Katolik yang dieksekusi oleh pemerintah Spanyol di tahun 1872.
Ketiganya dieksekusi dengan garrote, sejenis kursi siksaan dengan tali yang digunakan untuk mencekik terdakwa hingga mampus. Gomez, Burgos dan Zamora dituduh sebagai dalang pemberontakan ratusan tentara di pelabuhan San Pelipe, yang terletak di kota Cavite, bagian selatan teluk Manila, Luzon. Cavite saat itu merupakan salah satu gudang penimbunan senjata kolonial yang penjagaannya diserahkan kepada tentara bayaran yang diambil dari orang-orang lokal.
Meski bukti-bukti soal peran ketiganya dalam pemberontakan ini tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan, Gomburza tetap dieksekusi. Dalam catatan Jennifer R. Casipit, dalam Gomburza: Reluctant martyrs started it all, penyebabnya tidak lain karena ketiga pastor tersebut memang sejak awal sudah dianggap mengganggu kolonial.Tuduhan tersebut dipicu oleh sikap terbuka Gomez, Burgos dan Zamora yang mendukung perjuangan orang-orang Filipina menentang penjajahan.
Ketiganya meyakini bahwa Tuhan juga menentang penindasan. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk berdiam diri. Kolektif Gomburza percaya bahwa doa tanpa tindakan merupakan penghinaan terhadap kekayaan akal budi yang diberikan Pencipta kepada manusia.
Masa Sekularisasi Gereja
Sebelum kita berbicara tentang peristiwa yang akhirnya mengarah pada pembunuhan ketiganya, ada baiknya jika kita membicarakan terlebih dulu tentang mengapa mereka begitu penting.
Ketiga pastor tersebut, Mariano Gomez, Jose Burgos dan Jacinto Zamora sangat aktif dalam upaya mendorong perubahan di dalam cara gereja. Terutama menyangkut bagaimana Gereja dioperasikan di masa Filipina berada di bawah cengkraman kolonial Spanyol.
Casipit menulis bahwa pada masa itu, gereja masih sangat dipimpin oleh para biarawan Spanyol dan ordo-ordo keagamaan meskipun ada deklarasi sekularisasi pada tahun 1774. Para imam juga menyadari perlakuan tidak adil terhadap Spanyol terhadap orang-orang Filipina biasa dan tidak ragu-ragu menyuarakan keprihatinan mereka melalui demonstrasi dan publikasi.
Gomez, Burgos dan Zamora di periode tersebut merupakan anggota Komite Reformasi yang berkampanye untuk dilakukannya perubahan terkait bagaimana negara kolonial dijalankan. Karena terus menerus berselisih paham dengan tujuan Spanyol yang memandang Filipina hanya sebagai lumbung ekstraksi, ketiganya lalu dianggap sebagai filibusteros atau penghasut.
Namun, Gomez, Burgos dan Zamora adalah tokoh publik sekaligus pastor yang populer di mata banyak orang Filipina yang menderita karena kolonialisme Spanyol. Sehingga meski sangat membenci tiga pastor tersebut, menurut Casipit, tidaklah mudah bagi pemerintah Spanyol yang mengendalikan tanah jajahan untuk dengan begitu saja menghukum mereka melalui eksekusi terbuka di hadapan regu tembak. Eksekusi mati dengan cara ditembak adalah jenis hukuman yang di masa tersebut dianggap efektif untuk menebarkan teror terhadap para pengikut dan meredam kemungkinan meluasnya dukungan publik.
Pemberontakan Cavite
Pada Januari 1872, sekelompok pekerja dan tentara Filipina yang marah melakukan pemberontakan di Benteng San Felipe, Cavite. Benteng itu adalah gudang senjata Spanyol tempat senjata dan amunisi dibuat, diperbaiki, dan disimpan.
Seperti yang ditulis oleh Jhon Schumacher dalam The Cavite Mutiny Toward a Definitive History, pemberontakan tersebut dimulai ketika buruh dan tentara yang sebelumnya tidak dikenakan pajak tiba-tiba kehilangan sebagian dari upah mereka untuk membayar pajak pribadi dan falla -jenis pajak yang dibayarkan sebagai ganti rugi agar tidak dibebankan untuk melakukan kerja paksa atau polo y servicio.
Perintah tersebut datang dari Gubernur Jenderal Rafael de Izquierdo, yang dikenal sebagai pemimpin Tangan Besi. Perintah yang dianggap tidak bisa lagi ditolerir oleh para buruh dan prajurit.
Pemberontakan di San Felipe dipimpin oleh Fernando la Morsolo, seorang sersan berdarah campuran (mestizo) yang dibantu oleh Jaerel Brent, seorang perwira rendahan lokal. Keduanya memimpin serangan awal yang mengakibatkan sebelas orang petugas berkebangsaan Spanyol di dalam benteng tewas. Setelah berhasil merebut San Felipe, La Morsolo dan Brent berharap bahwa aksi mereka akan memantik dukungan luas dari tentara-tentara pribumi yang berada di Manila.
Untuk itu, La Morsolo memerintahkan agar mengirim sinyal dari dalam benteng dalam bentuk tembakan kembang api yang dilakukan dari tembok kota malam hari setelah San Felipe jatuh ke tangan mereka. Sayangnya, sinyal tersebut diinterpretasikan secara berbeda oleh para tentara pribumi di Manila. Mereka menganggap bahwa kembang api tersebut adalah bagian dari perayaan Santa Loreto, perempuan suci yang dianggap sebagai pelindung Sampaloc -kini adalah daerah setingkat kecamatan di daerah ibukota Manila yang terletak di pinggir pantai.
Strategi awal para pemberontak adalah dengan membakar Tondo sebagai cara untuk mengalihkan perhatian penguasa kolonial. Harapannya, saat tentara Spanyol dimobilisasi menuju Tondo, resimen artileri dan infanteri di Manila dapat memulai pengambialihan Benteng Santiago lalu menggunakan tembakan meriam untuk mengirim sinyal balik ke Cavite.
Dalam rencana tersebut, La Morsolo menargetkan agar semua laki-laki Spanyol di Manila harus dibunuh.
Untuk itu La Morsolo mengutus kekasihnya ke Manila agar menyampaikan pesan tersebut. Pesan tersebut memang sampai, namun jatuh ke tangan yang salah. Kekasih La Morsolo justru memberitahu atasannya, seorang perwira Spanyol yang kemudian segera meneruskan berita tersebut ke atasannya. Pemerintah Spanyol di Manila lalu segera bergegas menyusun rencana untuk memadamkan pemberontakan tersebut secepat mungkin. Mereka khawatir, aksi pemberontakan di San Felipe akan memicu aksi sejenis di seantero Filipina.
Keesokan harinya, sebuah resimen segera dikirim untuk mengepung benteng dan meredam pemberontakan. Setibanya di San Felipe, pasukan Spanyol dengan mudah menaklukkan para pemberontak dalam waktu singkat.
Tetapi upaya Spanyol untuk memadamkan api pemberontakan tidak berakhir dengan menaklukkan para pembangkang di Benteng San Felipe. Seorang perwira muda ambisius bernama Felipe Ginoves diberikan tugas untuk memadamkan pemberontakan menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk meluaskan operasi pembersihan yang merembet hingga ke luar benteng. Ginoves yang dalam catatan Schumacher, sedang mencari momentum untuk menegaskan dirinya, lalu secara membabi buta melakukan penangkapan massal terhadap mereka yang dianggap bersimpati dengan pemberontakan di San Felipie.
Termasuk di antaranya menyasar tiga tokoh Katolik yang selama ini dianggap sebagai duri dalam daging oleh penguasa kolonial, yaitu Gomez, Burgos dan Zamora.
Semua mereka tertuduh diadili di pengadilan militer khusus yang tentu saja tidak adil sejak awal dibentuk. Pengadilan ini dikendalikan langsung oleh de Izquierdo dan Ginoves yang berharap bahwa Madrid akan mencatat kesuksesan meredam San Felipe sebagai prestasi mereka berdua. Saksi utama di dalam pengadilan ini adalah Francisco Salduo, yang tentu saja mengatakan bahwa pemberontakan itu adalah konspirasi untuk menggulingkan pemerintah kolonial.
Salduo bahkan mengatakan bahwa dia secara pribadi mengirim pesan kepada pastor Zamora dan Burgos. Schumacher mencatat bahwa selain Salduo, masih banyak saksi-saksi lain yang dihadirkan di dalam persidangan. Tapi tidak ada satupun kesaksian yang meringankan tuduhan terencana tersebut. Seluruh saksi bersepakat dengan Salduo bahwa Gomes, Burgos dan Zamora adalah otak di balik pemberontakan di Benteng San Felipe.
Berdasarkan kesaksian palsu tersebut, Mahkamah Militer kemudian memutuskan bahwa ketiga pastor tersebut bersalah dan dihukum mati sebagai ganjarannya. Tidak hanya itu, di dalam pengadilan rekayasa tersebut juga diputuskan bahwa Gomes, Burgos dan Zamora tidak akan dihukum mati di hadapan regu tembak. Tapi eksekusi ketiganya akan dilakukan di lapangan di San Felipe dengan menggunakan garrote.
Satu hal yang di luar prediksi adalah Salduo yang ikut juga divonis bersalah karena dianggap sebagai salah satu konspirator. Hukuman ini didasarkan pada pengakuan Salduo yang mengantar sepucuk surat mengenai pemberontakan tersebut kepada Pastor Zamra dan Burgos.
Hari Eksekusi
Eksekusi Gomes, Burgos dan Zamora diputuskan untuk dilakukan pada pagi hari 17 Februari 1872. Sebelum ketiga tokoh tersebut dieksekusi, Salduo adalah yang pertama kali meregang nyawa.
Sesudahnya, menyusul Mariano Gomez, yang saat itu telah berumur 73 tahun. Tertua di antara ketiganya, Gomes yang saat itu telah berumur 73 tahun justru merupakan sosok yang paling siap menghadapi kematian. Menurut Casipit, Zamora mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan menyempatkan diri berdoa serta memberkati semua orang Filipina yang berada di lapangan untuk menyaksikan eksekusinya. Zamora juga memberkati algojo yang ditugaskan untuk mencabut nyawanya.
Gomez, yang lahir di Santa Cruz, Manila pada 2 Agustus 1799, menyelesaikan pendidikannya di Universitas Santo Thomas sebelum akhirnya melayani sebagai Pastor di salah satu paroki di Bacoor, Cavite. Kata-kata terakhir Gomez saat melangkah menuju garrote begitu terkenal dan sering dikutip adalah: “mari kita pergi ke tempat di mana dedaunan tidak akan pernah bergerak tanpa kehendak Tuhan.”
Jacinto Zamora kemudian dieksekusi sesudahnya. Laki-laki kelahiran 14 Agustus 1835 ini menghabiskan masa kecil dan remajanya di tempat kelahirannya Pandacan. Saat dihukum mati, Zamora adalah seorang doktor yang mengajar mata kuliah kanon di Universitas Santo Thomas. Semasa kuliah, Zamora pernah dipenjara selama dua bulan oleh pemerintah kolonial Spanyol akrena memimpin sebuah protes pelajar. Namun catatan subversif di masa muda tersebut tidak mempengaruhi pelayanannya di Marikina, Pasig dan Lipa, usai diteguhkan sebagai pastor.
Zamora di ujung kematiannya adalah salah satu anggota Dewan Penguji para calon pastor baru. Ia terkenal sebagai penggemar berat panguigui –sebuah permainan kartu yang populer di masa tersebut.
Dieksekusi terakhir adalah Jose Burgos, yang baru berusia 35 tahun. Pastor Burgos dilahirkan di Vigan, Ilocos Sur, pada 9 Februari 1837. Dia adalah sosok yang paling terkenal di antara dua kompatriotnya yang lain. Burgos mendapatkan dua gelar doktor dalam bidang teologi dan hukum kanon, sekaligus merupakan salah satu penulis produktif di masanya. Ia terkenal sebagai seorang pemain pedang dan petinju yang mahir, yang menolak tawaran untuk duduk sebagai anggota Komisi Sensor Gereja di Manila.
Dalam catatan Casipit, yang mengutip Manila Cathedral: The History, Burgos sempat melawan dan menolak pasrah dengan hukuman mati yang dianggapnya merupakan hasil manipulasi. Ia meneriakkan kata-kata yang mengasosiasikan eksekusi dirinya, Gomez dan Zamora sebagai tindakan yang meniru perilaku orang-orang Yahudi ketika mengeksekusi Yesus.
Kematian ketiganya disaksikan ramai warga jemaat yang menangis sembari berlutut dan memanjatkan doa.
Syahid yang Jadi Inspirasi
Usai kematian Gomez, Burgos dan Zamora, kisah mereka menyebar secara diam-diam dan tanpa sengaja menjadi inspirasi bagi generasi pejuang kemerdekaan Filipina seperti Jose Rizal, Andres Bonifacio dan banyak anggota Katipunan.
Katipunan, adalah penyebutan populer untuk Kataas-taasan, Kagalang-galang, Katipunan ng mga Anak ng Bayan yang biasa disingkat KKK. Ini adalah organisasi rahasia revolusioner Filipina yang didirikan para tokoh anti-kolonialisme Spanyol di Manila pada tahun 1892. Tujuan utama Katipunan adalah kemerdekaan dari Spanyol melalui revolusi. Para pendirinya seperti Andres Bonifacio, Teodoro Plata, Ladislao Diwa, Darilyo Valino, Rulfo Guia, Dano Belica, Tiburcio Liamson, dan Gabrino Manzanero adalah orang-orang yang terinspirasi pemberontakan San Felipe, Cavitte dan para martirnya; Gomez, Burgos dan Zamora
Hal ini menurut Milagros Guererro, Emmanuel Encarnacion dan Ramon Villegas, dalam Andres Bonifacio and the 1896 Revolution dibuktikan dengan banyaknya anggota Katipunan yang menggunakan pita kain hitam di lengan. Gaya pakaian tersebut diyakini terinspirasi dari soutanes (jubah berwarna hitam) yang dikenakan oleh Gomburza pada saat eksekusi.
Banyak yang berandai-andai bahwa jika Pemberontakan Cavite dan eksekusi Gomburza tidak terjadi, kehidupan Jose Rizal akan mengambil arah yang berbeda. Dalam suratnya kepada seorang staf La Solidaridad di Paris,Jose Rizal mengakui pentingnya peristiwa tersebut.
Rizal menulis bahwa “tanpa 1872, tidak akan ada Plaridel, Jaena atau Sanciongco; juga mungkin tak ada orang-orang Filipina pemberani dan para dermawan di Eropa. Tanpa 1872, Rizal sekarang akan menjadi Jesuit dan bukannya menulis Noli Me Tangere, justru menulis hal yang sepenuhnya berlawanan. Mengamati ketidakadilan dan kekejaman itu memicu imajinasi muda saya dan berjanji untuk mendedikasikan diri untuk membalaskan dendam para korban suatu hari nanti. Dengan ide ini, saya telah belajar dan hal tersebut dapat dilihat dalam semua karya dan tulisan saya. Tuhan akan memberi saya kesempatan suatu hari nanti untuk menepati janji saya.”(*)
Editor: Gratia Karundeng