Published
6 years agoon
By
philipsmarx19 Januari 2019
Oleh: Juan Y. Ratu
kelung.com – Melisa Pinontoan (19) dan Gratia Kumaat (21) adalah siswi Sekolah Luar Biasa/Bagian B (SLB/B) GMIM Damai Tomohon. Mereka tuna runggu, jika berbicara menggunakan bahasa isyarat. Pemilu tahun ini, Melisa dan Gratia akan menggunakan hak pilihnya. Dalam kategori yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), mereka adalah pemilih disabilititas.
Gratia sudah tiga kali mengikuti Pemilu. “Sudah 3 kali waktu pemilihan Calon Legislatif (Caleg) 2014, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, dan Pilkada Serentak 2015 kala memilih Walikota Manado dan Gubernur Sulut,” kata Gratia kepada kelung.com dengan bahas isyarat ketika mewawancarainya di SLB/B GMIM Damai Tomohon, Jumat (18/01) siang. Arsina Ginto, tenaga pendidik SLB GMIM Damai Tomohon menerjemahkan bahasa isyarat tersebut kepada kelung.com.
“Apakah pada waktu memilih, ada yang menemani?”
“Ke TPS bersama dengan orangtua, namun di bilik yang beda,” kata Gratia yang memiliki segudang prestasi di bidang desain grafis.
Sementara, bagi Melisa Pemilu kali ini adalah pengalaman kedua kalinya untuk menggunakan hak pilih. Dia menggunakan hak pilihnya pertama pada tahun 2015, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak.
“Baru satu kali ikut. Tahun ini yang kedua kali,” isyarat Melisa.
“Apakah waktu memilih diberikan perhatian khusus?”
“Tidak. Dibuat sama dengan orang lain. Intinya tidak ada diskriminasi kala itu,” ungkap Melisa sambil melanjutkan, waktu ia memilih tahun itu dibantu oleh ibunya.
Melisa adalah siswi disabel yang memiliki segudang prestasi di bidang tatabusana. Beberapa waktu ke depan ia bahkan akan diutus mengikuti kegiatan internasional untuk kaum disabel.
Gratia dan Melisa mengaku sangat bersemangat menyambut pesta demokrasi tahun 2019. Harapan mereka, para penyelenggara Pemilu menjalankan tugasnya dengan baik, agar hak mereka dapat dijamin.
“Perasaan senang menyambut pemilu 2019, semoga berjalan dengan baik dan damai,” isyarat Melisa.
Kepala Sekolah SLB/B GMIM Damai Tomohon, Ginny Ponamon menjelaskan, murid SLB GMIM Tomohon memiliki hak pilih sesuai usianya bukan berdasarkan kedudukan kelas atau tingkatan.
“Kalau murid di SLB di sini bukan berarti yang berada di SD tidak bisa memilih, karena di sini banyak yang telah mencapai usia pilih tapi masih butuh dididik di jenjang Sekolah Dasar,” katanya.
Ponamon juga mengatakan, status anak didiknya di SLB terdaftar di tempatnya masing-masing sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada tanggal 14 November 2018, kata Ponamon, telah dilakukan sosialisasi oleh KPU Kota Tomohon tentang Pendidikan Pemilih bagi Penyandang Berkebutuhan Khusus di SLB/B GMIM Damai Tomohon.
“KPU sebelumnya sudah memberikan perhatian lewat kegiatan sosialisasi langsung di sekolah ini dengan menyasar seluruh warga negara yang telah memiliki hak pilih terutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus,” tambah Ponamon.
TPS Harus Nyaman Bagi Pemilih Disabel
Data KPU Sulut menyebutkan, di provinsi ini 6.176 atau 0,32% dari total pemilih adalah difabel. Hak pilih warga negara disabel diatur dalam Undang-undang (UU) No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu terutama dalam pasal 5. Juga dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, khususnya pasal 5 huruf (h).
Robby Golioth, Komisioner KPU Kota Tomohon ketika dihubungi kelung.com Sabtu (19/01) mengatakan, pihak penyelenggara Pemilu memberi perhatian khusus terhada pemilih disabel. Didata secara khusus dari rumah ke rumah. Di Kota Tomohon, jumlah pemilih disabel, yang terdiri dari tuna daksa, tuna runggu, tuna netra, tuna grahita dan yang lain termasuk lansia sebanyak 293 pemilih atau 0,41% dari total pemilih di Kota Tomohon.
“Pada dasarnya semua warga negara mempunyai hak yang sama dalam menyalurkan aspirasi
Termasuk dalam menentukan pilihan di pemilihan umum,” ujar Golioth.
KPU, lanjut Golioth, juga akan mempersiapkan hal-hal teknis bagi penyelenggara hingga, terutama bagi KPPS yang nanti akan bertugas di TPS.
“Itu pasti ada dan sudah dipersiapkan dengan tahapan kerja KPU. Juga akan dilaksanakan bimbingan teknis bagi KPPS, antara lain tentang proses pungut hitung di TPS nanti,” ujarnya.
Hal-hal teknis yang penting lainnya, menurut Golioth di antaranya adalah fasilitas TPS yang harus menjamin kenyamanan bagi para pemilih disabel. TPS yang akan disiapkan nanti harus mudah dijangkau oleh semua pemilih.
“Tidak boleh ada TPS yang naik atau turun tangga maupun lokasi yang menurun atau menanjak.
Meja tempat pencoblosan harus kosong bagian bawahnya agar pemilih yang menggunakan kursi roda dapat melakukan pencoblosan dengan leluasa. Lansia yang stroke, juga termasuk dalam kategori pemilih yang berkebutuhan khusus,” tutur Golioth menjelaskan. (*)
Editor: Denni Pinontoan
Mendengar Tantangan Pantarlih di Tomohon
Merespons Kerawanan Pemutakhiran Data Pemilih, KPU-Bawaslu Belajar Dari Pengalaman
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
Setelah Tanggal 17, Apa?
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955