GURATAN
Hakikat Kearifan Para Tetua Adalah Soal Cara Berpikir

5 Februari 2025
“Telanlah makanan bersama dengan petuah”
Penulis: Fredy Sreudeman Wowor
WAKTU masih kanak-kanak, kita tentu pernah mendengar mama atau papa berkata demikian, “Anak-anak jang dulu makang tu hati, anak-anak bagus makang tu kaki” atau “Jang dulu makang tu kapala, blajar dulu bamakang tu ekor”, atau “Jangan kase biasa dudu di atas bantal, nanti bisul tumbuh di panta”.
Hari ini, perkataan-perkataan orang tua tersebut pasti kedengaran menggelikan, karena tentu saja bagian-bagian yang dilarang oleh orang tua itu ternyata adalah bagian-bagian yang paling sedap.
Hal ini menyebabkan lahirnya pendapat bahwa orang tua kita ternyata cenderung tidak mendidik dalam nasehatnya, malah lebih banyak membodohi kita di kala kita masih kanak-kanak.
Pertanyaannya sekarang, apakah hal ini memang demikian adanya?
“Lo’moten eng kanen karapi i pekua”, demikian salah satu ungkapan para tetua. Artinya: “Telanlah makanan bersama dengan petuah”.
Bertolak dari sari pati pepatah para tetua ini, soal makan menurutku, bukanlah sekedar menelan makanan untuk memenuhi hasrat dari rasa lapar. Soal makan bukan cuma soal pemenuhan kebutuhan yang bersifat jasmani belaka, tapi justru menyangkut juga soal spiritual.
Proses makan mengandung makna spiritual, karena menurutku dalam kegiatan di seputar meja makan ini berlangsung kegiatan pendidikan. Kegiatan pendidikan ini bertujuan mengajar kita memaknai aktivitas hidup kita untuk bertumbuh menjadi manusia.
Larangan yang sekarang terdengar konyol, tidak mendidik, tak masuk akal dan bersifat membodohi, justru mengandung makna yang sangat mendalam yang butuh kita renungkan terus-menerus sepanjang hidup kita seperti layaknya makanan yang terus kita makan untuk menunjang pertumbuhan hidup kita.
Petuah orang tua agar kita jangan dulu memakan bagian kepala dan anjuran untuk “blajar makang ekor” ini mengajar kita untuk melihat kebiasaan makhluk hidup yang dikenal sebagai ikan. Ekor bagi ikan adalah simbol dari gerak yang menunjang keberadaan ikan dalam melintasi air. Tanpa ekor, ikan akan kehilangan hakikat hidupnya. Tanpa ekor, ikan tak dapat bergerak ke depan. Tanpa ekor, ikan akan terseret ke dasar air, kehilangan daya gerak dan mudah menjadi mangsa dari ikan yang lain.
Adapun larangan untuk tidak terburu-buru memakan hati, misalnya hati ayam dan anjuran untuk memakan kakinya lebih dahulu, bagi orang Minahasa mengandung pelajaran bagi kita untuk meresapi keuletan ayam yang sebelum matahari muncul telah mulai melakukan aktivitas untuk mencari makan. Proses pencarian makanan yang dilakukan oleh ayam pun bukanlah sekedar proses membuta saja tapi justru dilakukan dengan membuat pilihan. Ini bisa dilihat dari aktivitas dari ayam yang dengan teliti menggerakkan cakarnya untuk memilih apa yang bisa dimakannnya.
“Reica tumawoy, reica kuman”, demikian petuah para bijak. Artinya: Tidak bekerja, tidak makan.
Duduk di atas bantal menyiratkan ajaran bahwa kita sebaiknya tau apa susahnya hidup, agar kita bisa memahami apa makna dari kesenangan itu. Dasar dari tempat duduk yang keras dan tidak halus seperti bantal menyiratkan makna bahwa kita mesti selalu siap sedia, waspada dan bertumpu di dasar yang teguh. Tidak mudah larut dalam kesenangan sekejap apalagi cari gampang. Seperti kata pepatah,”Sa mawawo ing tumulung, taneien mio tambisa i cawekel” artinya “Kalu mo badiri di atas, pikir juga bagimana kalu mo taplaka”.
Dari soal makan sampai soal istirahat ini, kita belajar bahwa orang tua kita memberikan petunjuk untuk melihat segala sesuatu tidak sekedar pada kenyataan faktual yang kasat mata saja atau lahiriahnya saja, tapi justru menunjukan pengertian untuk bisa melihat arti di balik setiap kenyataan tersebut.
Apa yang bisa kita maknakan dari kenyataan ini adalah hakikat kearifan para tetua adalah soal cara berpikir. Soal cara berpikir ini mewujud pada pola tindak. Pola tindak itulah makna “bisa” yakni arti dari setiap kabolehan. Inilah sebabnya lahir ungkapan: “Samua ada depe masing-masing”, “Samua ada depe tiap-tiap”, “Samua ada depe bisa”.
Soal melihat arti adalah soal menemukan makna dan soal menemukan makna adalah soal mengartikan bisa. Arti setiap bisa adalah hakikat cara berpikir.
