GURATAN
HAM di Indonesia Sudah Mampus Bertahun-tahun yang Lalu!
Published
5 years agoon
By
philipsmarx10 November 2019
Oleh: Andre Barahamin
JOKO WIDODO – yang lebih dikenal sebagai Jokowi, telah mengumumkan daftar menteri-menteri yang akan membantunya menjalankan negara di periode kekuasaannya yang kedua. Jokowi sendiri secara resmi diangkat kembali pada hari Minggu, 20 Oktober 2019, untuk melanjutkan kekuasaan setelah memenangkan pemilihan presiden kembali pada 17 April yang lalu.
Dia mendapatkan kemenangan setelah ditantang sekali lagi oleh mantan kompetitornya di Pemilu 2014, Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal, dan sosok yang memiliki keterkaitan erat dengan Front Pembela Islam (FPI).
Di Pemilu April 2019, Jokowi memutuskan untuk bekerja sama dengan Ma’ruf Amin yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), seorang ulama konservatif yang memiliki sejarah menentang hak asasi manusia, sebagai calon wakilnya. Memilih Amin sebagai pasangannya secara umum dipandang sebagai upaya Jokowi untuk mendapatkan dukungan dari kelompok massa Muslim konservatif di Indonesia.
Di sisi lain, Prabowo memilih Sandiaga Uno, seorang taipan bisnis, sebagai kandidatnya untuk Wakil Presiden. Prabowo menolak untuk memilih satu dari tiga nama yang diusulkan oleh tiga partai politik yang berbeda dalam koalisinya: Partai Demokrat yang masih dipimpin oleh dari mantan presiden dua periode, Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terasosiasi dengan paham Wahabbisme, dan Partai Amanat Nasional (PAN) ) yang memiliki hubungan tidak resmi dengan Muhammadiyah, salah satu dari dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Pertandingan ulang di Pilpres 2019 menandai puncak dari segregasi sosial di antara para pemilih Indonesia. Sebelum hari pemungutan suara, setiap kubu secara brutal – menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram – untuk menyerang lawan mereka dengan memproduksi dan menyebarkan berita bohong. Sentimen agama dan etnis juga digunakan dan menyasar kelompok minoritas, khususnya terhadap kelompok keturunan Indonesia-Cina dan LGBTIQ.
Pemilihan itu sendiri – yang diikuti oleh lebih dari 150 juta dari sekitar 180 juta pemilih yang terdaftar memilih untuk memberikan suara mereka – mengakibatkan kematian 270 petugas pemilihan karena faktor kelelahan dan beban kerja yang berlebihan. Tragedi itu kemudian diikuti oleh kerusuhan di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan protes atas penghitungan suara. Kerusuhan tersebut menyebabkan enam orang tewas, lebih dari seratus orang ditangkap dan sekitar dua ratus pengunjuk rasa terluka.
Namun, ketika Jokowi secara resmi diumumkan sebagai pemenang, pendukung dari kedua kubu sama-sama ditelantarkan dan sama sekali tidak memiliki petunjuk tentang siapa yang akan ditugaskan dan menjabat sebagai Menteri untuk periode 2019-2024.
Partai-partai politik yang membawa Jokowi berkuasa mengusulkan anggota paling loyal untuk mewakili kepentingan mereka. Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, putri Soekarno – presiden pertama Indonesia – sudah yakin akan memiliki lebih banyak kursi dibandingkan dengan partai politik lainnya. Kepercayaan diri ini dipandang wajar karena PDI-P adalah tiang inti dalam koalisi Jokowi-Amin sebagai partai pengusung utama. Saluran TV nasional, surat kabar, dan media daring mengundang para analis politik untuk memberikan prediksi, komentar, dan rekomendasi. Publik didorong untuk memiliki imajinasi bebas tanpa petunjuk – dengan pengandaian delusional bahwa opini publik akan mempengaruhi komposisi menteri – meskipun beberapa wajah lama tampak sangat yakin akan tetap mengamankan posisi mereka.
Selama dua hari sesudah pelantikan Jokowi secara resmi untuk memulai periode kedua kekuasaannya, semua berita utama di kanal-kanal informasi seluruh negeri hanya tentang mereka yang masuk kabinet dan siapa yang keluar.
Pada saat yang bersamaan dengan para aktivis Greenpeace Indonesia yang memanjat ke atas dua patung utama di Jakarta dan memajang spanduk raksasa untuk mengirim pesan protes yang mempertanyakan komitmen Negara atas penggunaan bahan bakar fosil yang ekstensif, kejutan terbesar bagi kedua kubu yang secara intensif saling menyerang satu sama lain selama pemilihan diumumkan oleh Jokowi pada 23 Oktober: menunjuk Prabowo Subianto, saingan politiknya yang paling sengit sebagai Menteri Pertahanan.
Pengumuman tersebut mengguncang seantero negeri, khususnya, para pendukung Jokowi garis keras. Tak satu pun dari mereka yang percaya bahwa Jokowi memutuskan untuk membentuk koalisi kekuasaan dengan seseorang dengan catatan sebagai pelanggar hak asasi manusia dan musuh utamanya.
Prabowo adalah Panglima Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – yang kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia setelah reformasi artifisial pasca-1999 – sebelum dicopot dari jabatannya karena dinyatakan bersalah memberikan perintah untuk menculik dan menyiksa para aktivis pro-demokrasi di periode senjakala kediktatoran militer Soeharto.
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan untuk menjadi presiden kedua menggantikan Soekarno melalui salah satu kudeta paling berdarah dalam sejarah modern di dunia. Kudeta itu mengakibatkan lebih dari 500.000 aktivis politik, pendukung serta simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) terbunuh dan jutaan lainnya dipenjara secara ilegal tanpa melalui proses pengadilan. Soeharto adalah ayah mertua Prabowo setelah ia menikahi salah satu anak perempuan diktator tersebut. Prabowo kemudian menceraikan istrinya di kemudian hari.
Prabowo sempat mengasingkan diri sebelum memutuskan kembali ke Indonesia dan mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada tahun 2008. Di tahun 2012, Prabowo bergandengan tangan dengan Megawati dalam koalisi PDI-P dan Gerindra yang berhasil memastikan kemenangan Jokowi yang saat itu merupakan mantan walikota Solo berpasangan dengan Basuki Tjahja Purnama atau lebih dikenal sebagai Ahok, merebut kursi Gubernur DKI Jakarta. Koalisi dalam pemilihan Jakarta adalah episode lanjutan dari koalisi yang dirintis pada pemilihan 2009 saat Megawati dan Prabowo tumbang dalam pemilihan presiden untuk menantang petahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menggandeng Jusuf Kalla. Di pemilihan 2014, koalisi ini pecah ketika Megawati lebih memilih Jokowi dan setuju untuk mendukung Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden.
Namun, kemenangan Jokowi pada tahun 2014 jauh lebih mudah.
Saat itu, mantan gubernur Jakarta ini berhasil menggalang dukungan dari serikat buruh, organisasi petani, aktivis hak asasi manusia, jaringan pembela lingkungan dan Masyarakat Adat. Dukungan itu karena komitmen politiknya untuk mengatasi masalah yang disoroti oleh kelompok-kelompok ini. Komitmen politik – dikenal sebagai Nawacita, terdiri dari sembilan program utama. Komitmen tersebut termasuk janji politik Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu, untuk mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat melalui RUU Masyarakat Adat, melaksanakan reformasi agraria sejati, untuk meningkatkan kondisi kehidupan para pekerja dan untuk mengakhiri pembakaran hutan tahunan di Indonesia .
Tidak satu pun dari janji ini dipenuhi dan semua kelompok ini pergi dengan kecewa. Kemudian, dalam pemilihan presiden 2019, kebanyakan dari mereka menarik dukungan mereka dari Jokowi. Grup ini lebih dikenal sebagai Golongan Putih (Golongan Putih) atau Golput.
Bertentangan dengan banyak orang, Penamaan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan bukanlah awal atau tanda kebuntuan hak asasi manusia di Indonesia.
Faktanya, itu dimulai kurang dari 100 hari sejak dia pertama kali mengambil alih kekuasaan pada tahun 2014. Sejak awal, Jokowi tetap diam ketika lima pemuda Papua ditembak mati oleh tentara Indonesia di Paniai. Sampai hari ini, tidak ada tindakan yang telah diambil dan keluarga korban yang masih memendam rasa kecewa dan menuntut pihak tentara untuk bertanggung jawab penuh. Jokowi kemudian menuju Merauke dan mengumumkan proyek mega-pertanian 1,2 juta hektar, ambisi yang menargetkan tanah adat. Proyek itu gagal dua tahun kemudian. Jokowi juga meningkatkan penyensoran negara atas Papua untuk melarang jurnalis dan peneliti asing memasuki Papua tanpa izin keamanan.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam empat tahun (2014-2018), rezim Jokowi berhasil mencatatkan jumlah konflik agraria tertinggi yang pernah didokumentasikan di era pasca-Soeharto. Pada 2015, Indonesia menderita krisis kabut asap besar yang menelan biaya 16 miliar dolar dan menyebabkan lebih dari 500.000 orang menderita penyakit pernapasan – keadaan darurat diumumkan. Tahun ini, pembakaran hutan terjadi lagi dan belum sepenuhnya pulih.
Menyerahkan urusan pertahanan nasional kepada saingan sengitnya, menunjukkan bahwa Jokowi dengan nyaman menyandarkan dukungannya dari mereka yang memiliki latar belakang militer. Dia memulainya di masa jabatan pertamanya dengan menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan dan Wiranto – seorang penjahat perang yang dicari karena aksi kejahatannya di Timor Leste sebelum referendum – untuk masing-masing mengepalai Kementerian Koordinator Maritim dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dia juga membawa Moeldoko, mantan Panglima Tentara Nasional untuk memimpin Kantor Staf Kepresidenan, sosok yang secara terbuka menyatakan dukungannya atas tes keperawanan bagi wanita yang ingin bergabung dengan tentara atau polisi.
Untuk masa jabatan keduanya, Jokowi bergerak lebih jauh. Bersama Prabowo, ia mempertahankan Pandjaitan dan Moeldoko di posisi masing-masing. Jokowi memperluas kekuasaan Pandjaitan dengan menugaskannya untuk menjadi penanggung jawab urusan investasi asing. Dia membawa Tito Karnavian, yang adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menangani masalah-masalah domestik sebagai Menteri Dalam Negeri. Tito adalah mantan Komandan Kepala Kepolisian Daerah di Papua dan dikenal dengan kebijakan tangan besinya merepresi unjuk rasa damai yang diadakan oleh aktivis pro-referendum dan penentuan nasib sendiri di Papua. Saat konflik bersenjata di Nduga, Papua, yang menewaskan belasan karyawan perusahaan Istaka Karya, Karnavian adalah sosok yang berada di balik keputusan mengerahkan ratusan pasukan polisi untuk memburu gerilyawan pro-kemerdekaan. Konflik itu sendiri menyebabkan Orang Asli Papua menjadi pengungsi dan tragedi ini masih terus berlangsung sampai sekarang.
Jokowi juga menunjuk dr. Terawan Agus Putranto, sebagai Menteri Kesehatan. Terawan sebelumnya adalah Kepala Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto dan pangkat terakhirnya dalam ketentaraan adalah Mayor Jenderal. Dia terkenal karena diskors dari Asosiasi Dokter Indonesia akibat pelanggarannya terhadap kode etik terkait dengan terapi cuci otak atau Digital Subtraction Angiography (DSA). Untuk Kementerian Agama, Jokowi menyerahkannya kepada Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia. Razi dikenal memiliki hubungan dekat dengan Pandjaitan dan secara luas dianggap sebagai aktor yang tepat untuk menghadapi meningkatnya konservatisme Muslim.
Jelas terlihat bahwa tugas utama Razi adalah bekerjasama dengan Karnavian dan Prabowo untuk mengakhiri terorisme ISIS di Indonesia.
Semua fakta di atas dengan jelas mengungkap kebenaran buruk tentang hak asasi manusia dan keadilan sosial di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak memberi Prabowo Subianto posisi hanya untuk pertukaran dukungan politik. Alasan utamanya adalah, perlahan-lahan mengubah negara menjadi di bawah kontrol Negara yang ketat dan memaksakan keamanan atas hak asasi manusia untuk memastikan investasi asing yang akan datang dalam pengembangan infrastruktur, proyek mega-pertanian dan industri pertambangan akan disambut dengan ramah. (*)
Editor: Greenhill Weol