ESTORIE
Hendrikus Zacharias, Martir dari Kema di Masa Tanam Paksa Kopi
Published
6 years agoon
By
philipsmarx23 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Kebijakan tanam paksa kopi sangat menyiksa rakyat, seorang Hendrikus Zacharias dari Kema akhirnya harus membunuh kontrolir Hendrikus Haga sebagai bentuk perlawanan
SENIN, 29 September 1879 di Kema, Minahasa bagian utara.
Waktu kira-kira menunjuk pukul 8 pagi. Kontrolir Hendrikus Haga memanggil 13 orang menghadap dia.
“Saya memanggil Anda, dan sekarang Anda harus pergi bekerja seperti semua laki-laki sesuai dengan perintah dan peraturan Pemerintah untuk semua penduduk Minahassa,” kata Kontrolir Haga.
Dalam rangka tanam paksa kopi, maka jalan-jalan dibuat. Semua orang Minahasa wajib mengikuti perintah pemerintah untuk bekerja membuat jalan.
Tetapi, ada tiga belas laki-laki dari keluarga Borgo atau Burgers menolak perintah sang kontrolir.
“Ya, Tuan kontrolir, kami meminta banyak pengampunan dari Tuan. Kami tidak ingin bekerja,” kata salah satu dari mereka.
Alasan ini merujuk ke leluhur mereka sebagai warga keturuan Eropa. Kata mereka, sejak kakek, ayah, dan itu juga mesti berlaku bagi mereka, tidak berlaku wajib kerja.
“Karena sejak dulu, mulai dari kakek dan ayah kami hingga kami, anak-anak mereka, bebas dari pekerjaan, seperti membuat jalan,” kata mereka lagi.
Kontrolir Haga marah mendengar jawaban para laki-laki Borgo itu.
“Jika kamu benar-benar tidak mau mematuhi, aku akan menyerahkan kalian semua lagi, kamu akan dibawa ke Menado dan akan dipenjara selama sebulan,” kata kontrolir Haga dengan nada marah.
Lalu, salah seorang dari mereka, seorang pemuda pemberani bernama Hendrikus Zacharias balas berkata: ‘Ya, tuan! Bekerja di jalan atau dipenjarakan lagi di Kema; atau Tuan mengirim kami kembali ke Menado, seperti Tuan terakhir mengurung kami selama tujuh hari di Kema dan empat belas hari di Menado.”
“Trada mau. Saya tidak akan bekerja. Lebih baik jika tuan memberi saya peluru di kepala,” katanya lagi.
Wajah kontrolir Haga tampak makin marah. Dia lalu memanggil tiga kapala jaga di kampung itu.
“Kapala jaga! Bawa orang-orang ini ke Menado dan awasi mereka,” perintah kontrolir Haga.
Mereka lalu berkata kepada para kapala jaga itu, “Kami akan pulang dulu untuk memberitahu istri kami, bahwa kami akan pergi ke Menado selama sebulan. Kami juga akan mengambil pakaian kami.”
Wartawan surat kabar Java-Bode menulis kejadian pagi itu secara detil dengan merekam ucapan-ucapan para saksi mata. Laporan ini dimuat pada edisi 26 November 1879.
Tanam paksa kopi di Minahasa dimulai tahun 1822. Kebun-kebun kopi kebanyakan terdapat di dataran tinggi. Dua kota pelabuhan penting, yaitu Manado dan Kema jadi tempat berlabuhnya kapal-kapal mengangkut kopi-kopi untuk dipasarkan. Jalan-jalan penghubung antara kampung dan kota-kota pelabuhan dibuat untuk memperlancar tanam paksa kopi. Warga pribumi terutama yang dibebankan untuk bekerja membuat jalan.
Kontrolir Haga ditempatkan di Kema dalam rangka menjalankan tugas untuk mendukung tanam paksa kopi tersebut. Ketika ditempatkan di Kema ia mendapati ada banyak orang yang tidak mau menjalani kewajiban mereka bekerja. Ia lalu melakukan pendataan dan menemukan ada 40 warga Borgo Kema yang mestinya menanggung kewajiban bekerja. Di antaranya tiga belas orang yang dia panggil pagi itu. Demikian dilaporkan wartawan Java-Bode.
Tiga kapala jaga itu percaya dengan ucapan Hendrikus Zacharias dan kawan-kawannya. Ketiganya lalu ke pasar dan menunggu mereka di sana. Beberapa lama menunggu, orang-orang itu tidak muncul. Lalu mereka akhirnya melaporkan hal itu kepada kontrolir Haga. Mendengar laporan para kapala jaga, kontrolir Haga menjadi marah besar. Bersama ketiga kapala jaga, kontrolir Haga pergi menyusul ke rumah mereka. Sasaran pertama adalah rumah Hendrikus Zacharias yang dianggap sebagai pemimpin para ‘pembangkang’ itu.
Hari mulai siang ketika kontrolir Haga dan para kapala jaga menuju ke rumah Hendrikus Zacharias. Di perjalanan, mereka bertemu kepala kampung (wijkmeester) letter A, W.C. van Daim dan menanyakan alamat rumah Hendrikus Zacharias. Kepala kampung menjawab dan mengantar kontrolir Haga, tiga kapala jaga dan opas menuju ke rumah Hendrikus Zacharias.
Ketika tiba di halaman rumah yang dituju mereka melihat Hendrikus Zacharias sedang duduk di kursi. Kontrolir Haga masuk dan kini berdiri berhadapan dengan Hendrikus Zacharias.
“Silakan duduk, tuan,” kata Hendrikus Zacharias sambil mengambil kursi lain dan mempersilakan tuan kontrolir duduk.
Tetapi kontrolir Haga tidak mau duduk. Ia sedang marah besar.
“Apakah kamu tidak mau mengikuti?” Tanya kontrolir Haga.
“Seperti yang saya katakan tadi di rumah tuan. Sekalipun saya ditembak peluru, saya tidak mau,” balas Hendrikus Zacharias.
Mendengar jawaban itu, kontrolir Haga menjadi makin marah. Ia lalu menarik lengan Hendrikus Zacharias dan menyerahkannya kepada para kapala jaga serta opas yang sedang berjaga-jaga di situ.
Hendrikus Zacharias tiba-tiba berontak. “Dia mengambil peda (di Jawa disebut parang) yang ada di dekatnya lalu menebas kepala kontrolir Haga. Ketika kontrolir berusaha menangkis, Hendrikus melakukan pukulan susulan secara telak,” tulis koresponden Soerabaijasch Handelsblad, surat kabar lain yang memberitakan peristiwa itu pada edisi 4 November 1879.
Kontrolir Haga tidak berdaya. Dia tidak membawa senjata. Para kapala jaga dan kepala kampung yang juga tidak membawa senjata tidak dapat berbuat apa-apa. Opas yang membawa senjata ketakutan dan lari. Kontrolir Haga pun terluka parah. Darah mengucur dari kepala dan lengannya.
“Opas bersenjata melarikan diri dan meninggalkan tuannya. Tiga kapala jaga takut, karena mereka berdiri dengan tangan kosong di depan seorang pria bersenjata. Mereka mencari batu atau tongkat untuk melawannya, tapi tidak menemukan apa pun,” tulis wartawan Java-Bode.
Dalam keadaan terluka, terhuyung-huyung kontrolir Haga lari meninggalkan rumah Hendrikus Haga. Sialnya, di pintu keluar halaman, kakinya tersandung sesuatu dan jatuh. Hendrikus Zacharias makin beringas dan kembali menyerang sang kontrolir.
Kepala kampung dan para kapala jaga tak tega melihat tuan kontrolir terluka parah. Mereka berusaha membantunya. Hendrikus Zacharias pun melarikan diri.
Segera orang-orang berkumpul. Mereka menolong kontrolir yang terluka parah. Mereka membopong dia dan mengantar ke rumahnya. Dalam keadaan hampir pingsan, kontrolir masih sempat meminta tiga kapala jaga untuk mengumumkan kepada para penduduk di situ kejadian yang baru terjadi.
Hari sudah siang. Kira-kira pukul 11 waktu kejadian itu.
Di rumahnya, tuan kontrolir meminta orang-orang di situ untuk memanggil seorang Borgo bernama S. Chrestoffel untuk membantunya.
Chrestoffel pun datang. Membersihkan tubuh tuan kontrolir yang penuh darah. Membalut luka-lukanya dengan kain. Tuan kontrolir yang sangat ketakutan itu meminta agar rumahnya dijaga khawatir Hendrikus Zacharias datang lagi menyerang.
Nanti mendekati pukul tiga, seorang dokter dari Airmadidi datang mengobatinya. Tetapi sayang, luka terlalu parah. Tebasan peda menembus otot dan memutus urat-uratnya. Kontrolir kehabisan darah.
Tuan kontrolir akhirnya menghembuskan nafas terakhir, kira-kira pukul tiga sore. Kontrolir tewas dengan tubuh penuh luka tebasan peda. Kontrolir Hendrikus Haga meninggal pada usia yang masih muda, 26 tahun.
“Malam itu juga datang tuan Resident dan Jaksa serta pendeta dan kontrolir Menado ke Kema.”
Pemakaman jenazah kontrolir Hendrikus Haga dilaksanakan keesokan harinya, Selasa, 30 September di Kema.
Hendrikus Zacharias Dieksekusi Mati
Hari itu juga Hendrikus Zacharias menyerahkan dirinya kepada Residen. Ia ditahan dan dibawa ke Manado untuk dikurung di penjara di sana.
Surat kabar Het Nieuws Van Den Dag edisi 9 Agustus 1881 melaporkan, setelah melalui proses hukum dan pengadilan, Hendrikus Zacharias harus menerima vonis hukuman mati pada 18 Februari 1881 di penjara Manado. Permohonannya kepada Gubernur Jenderal di Batavia agar tidak dihukum mati, ditolak.
Hari-hari terakhir Hendrikus Zacharias di penjarah menyisahkan kisah yang menyentuh hati banyak orang. Pemberitahuan eksekusi mati itu diterima oleh Hendrikus Zacharias tiga hari sebelumnya. Ia meminta kepada kepala penjara untuk tidak memberitahukan hal itu kepada keluarganya di Kema.
Tentang asal-usul Hendrikus Zacharias tidak ada informasi yang jelas. Ia tinggal di pemukiman khusus orang-orang Borgo. Marganya menunjukkan bahwa ia dari keluarga Borgo. Tapi berita surat kabar Java-Bode menyebutkan, sangat mungkin ia adalah anak angkat keluarga Borgo. Orang tuanya berasal dari penduduk asli Minahasa.
De Locomotief, surat kabar lain yang melaporkan kasus pembunuhan dan eksekusi mati terhadap Hendrikus Zacharias pada edisi 25 Juni 1881 menulis beberapa kasus yang mirip sebagai akibat dari tanam paksa kopi dan kebijakan pemerintah Belanda yang telah membuat penduduk marah.
Korespoden De Locomotief menulis, selama tahun 1880 penduduk Minahassa mengirim kopi mereka ke pasar nasional sebanyak 13.500 pikul. Satu pikul sama dengan 61,76 kilogram. Berarti selama tahun itu sekitar 831.600 kilogram kopi dihasilkan dari tanam paksa di Minahasa. Pemerintah menekan penduduk agar menanam kopi lebih banyak. Pemerintah dan para kepala mendapat banyak untung dari tanam paksa kopi ini.
“Kata beberapa penduduk, bagaimana kami ingin menentang kehendak Pemerintah, kami begitu tak berdaya,” tulis koresponden De Locomotief.
Pada malam sebelum digantung, Hendrikus Zacharias tampak bersantai bersama teman-temannya di penjara. Minum anggur dan berpakaian sangat rapi.
Surat kabar Soerabaijasch Handelsblad juga menulis hari-hari terakhir Hendrikus Zacharias di penjara pada laporannya edisi 23 Juni 1881. Korespoden surat kabar ini menulis, di saat bersiap menjemput kematian, Hendrikus Zacharias sempat berharap ada pendeta yang datang mengunjunginya. Namun, dia tidak meminta kedatangan pendeta. Sebab, menurut dia mestinya tanpa meminta, pendeta itu sendirilah yang datang dengan kemaunnya.
“Anda tidak perlu khawatir tentang saya,” kata Hendrikus Zacharias kepada sipir penjara malam itu. Demikian surat kabar Java-Bode menulis.
“Saya ingin mati dengan hormat besok. Saya ingin mati sebagai martir, sama seperti Tuhan Yesus kita mati di kayu salib untuk pengampunan dosa-dosa kita. Jadi saya juga mati untuk berkorban kepada sesama saya di Kema.”
Kepala sipir penjara tersentuh mendengar perkataan Hendrikus Zacharias.
“Ya, karena itu nama saya akan diabadikan,” katanya lagi.
Ketika pagi datang, hari terakhir kehidupannya, Hendrikus Zacharias memang tampil sesuai yang dia bilang tadi malam kepada sipir penjara. Dengan tenang dia mendengar kepala jaksa membaca keputusan hukuman.
“Apakah ada yang ingin saudara sampaikan?” Tanya kepala jaksa.
“Apa yang belum saya katakan? Saya meminta tidak dihukum mati, tetapi ‘Yang Mulia’ tidak mau memberikannya dan itulah sebabnya saya ingin mati sekarang,” kata Hendrikus Zacharias dengan penuh keberanian.
Orang-orang banyak yang berkumpul menyaksikan hukuman mati itu mendengar perkataan Hendrikus Zacharias dengan takjub.
Dia pun berjalan dan menaiki tanggai menuju ke tiang gantungan. Tali melilit lehernya. Kepala Hendrikus Zacharias tetap tegap. Ia seolah mau mengatakan lagi apa yang dia ucapkan kepada kepala sipir tadi malam, “Saya ingin mati sebagai martir, sama seperti Tuhan Yesus kita mati di kayu salib untuk pengampunan dosa-dosa kita.”
Orang-orang yang hadir menyaksikan peristiwa itu tampak sedih. Beberapa orang bahkan menesteskan air mata.
“Kasihan, hal itu dilakukan terhadap dia, ” terdengar suara seseorang berkata.
Beberapa orang tua yang sering menyaksikan eksekusi mati seperti ini berkata, bahwa mereka tidak pernah melihat sebelumnya ada seorang seperti Hendrikus Zacharias yang mati digantung dengan tanpa rasa takut dan bahkan dengan wajah yang bahagia menyambut kematian. (*)
Editor: Daniel Kaligis