Connect with us

ECONEWS

Hidup Subsisten, Momboya, dan Panjaga

Published

on

24 Maret 2019


Oleh: Daniel Kaligis


 

Laku hidup subsisten, terbukti lebih ramah lingkungan dan menghindarkan diri dari bencana

 

MANAKALA HUJAN menderas, orang-orang menebar jala peruntungan ke permukaan air. Jala tenggelam, diam sekian detik, lalu ditarik ke darat. Berapa ekor ikan terjaring, dipersiapkan bagi hidangan untuk nanti bersantap. Sekali dua dicoba, jala ditebar lagi, cincin-cincin logam pemberat membenamkannya, ikan-ikan didapat mendekam dalam jala, orang-orang bersorak.

Sungai dan anak-sungai meluap, ikan-ikan melawan arus, tambak-tambak ada yang jebol, petak sawah digenangi air, juga halaman rumah dan jalan-jalan.

Dari Kulo, mata air di bawah beringin sangkongan tua Parepei, mengalir jauh meliuk-liuk melintas Tahawe, Lepo Weru, Rano Oki, Na’akir, Seseperan, Wowolean. Atau curah air di area tangkapan Watuharan, di mana deru debur gelombang telaga sayup-sayup terdengar.

Tahun 1980-an, masa di mana hasil perikanan danau Tondano masih di atas tiga ribu ton per tahun. Orang kampung menanam jagung dan padi, disimpan di loteng rumah untuk kebutuhan masa paceklik.

Di masa itu saya masih sempat bertemu kelompok kecil subsisten ini di wanua-wanua Minahasa. Mampir di pondok mereka, menikmati hidangan bersama: ubi rebus, nasi jagung, kangkung rebus, ikan asap, dabu-dabu.

 

Hidup Subsisten

Datangi pondok Refly di Watuharan. Panen jagung ada dalam karung-karung goni, persiapan bibit jagung digantung di langit-langit atas tungku terjangkau asap. Conny, adiknya Refly memipil jagung, duduk di tikar berbahan rumput tinorong (actinoscirpus grossus). Rumput tinorong tumbuh bersama tetepi di rawa yang disebut rewo.

Pepohon sombar menaungi pondok, di bayangnya gerobak di parkir, bajak dan sisir tanah tergeletak dekat gerobak. Ternak sapi merumput di padang ilalang tak jauh dari pondok.

Refly, remaja yang lincah menggunakan ternak sapi untuk membajak. Seperti anak-anak kampung lainnya, dia tahu membaca alam dan musim, berburu, memancing, mahikan – ini kegiatan mencari ikan dengan turun langsung ke air tanpa menggunakan alat tangkap, masongkay – proses membalik rumput dan membenamkannya ke dalam petak sawah sebagai kegiatan awal pengolahan lahan sawah. Pengetahuan itu diajarkan turun temurun.

Entah kebiasaan, atau apa, di kampung kami, hampir semua yang bernama Refly dipanggil Pacit, demikian Refly dikenal juga sebagai Rep Pacit.

Dia dan orang kampung lainnya mengenali lereng Tampusu, Kasuratan, Matrong, Tangkiuk, Kondi, Samberong, Ta’atalotoken, Spangi, Tahawe, Lepo Weru, Rano Oki, Na’akir, Nehengan, Seseperan, Wowolean. Area itu adalah hutan rakyat yang juga digarap sebagai kebun, nama kebun, nama lokasi persawahan dan mata air yang dikelola berdasarkan fungsi dan kegunaan. Satwa liar, burung dan ikan ada di dalamnya.

Dari rewo dan rimba rumbia berrawa Gagaaran, Pateka, Sendangan, Parorengan, Batu Tepe’, Touresak, sepanjang tepi telaga, adalah jalan perahu, setapak mengenang rindu debur ombak, dan sumber-sumber air dingin dan panas yang meng’ada’ seumur bumi.

Di tempat tinggal Juma’, di Paslaten, saya melihat dia mempersiapkan alat-alat sederhana untuk bertahan hidup: pisau, kikir, mata kail yang dikilir dari kawat logam, joran bambu, tali, benang nilon, jala yang dirajut sendiri, anyaman bambu untuk jerat ikan yang disebut roreng, senapan kayu buatan sendiri dengan karet pegas pemantik pelontar runcing mata panah bertangkai logam halus lancip berkait.

Dekat rumah Ai Koho di batas Timu – Sendangan, pernah ada pembuat perahu berbahan kayu. Dayung dan peralatan mencari ikan ada di perahu dibuat dari bambu.

Berbagai alat penangkap dibuat, tombak ikan bermata enam, delapan, dua belas, disebut sosoroka. Rangkai pancing dan senar berpelampung bekas sandal jepit berbahan karet ringan mengapung, tangkai bilah bambu pembenam jaring disebut dubo, jaring tebar bercincin pemberat disebut lolombo.

Di rumah nelayan dan peramu hutan dapat juga dijumpai pasak-pasak kayu pengait tali yang diikat pada joran bambu untuk jerat burung dan binatang liar di hutan.

Peramu hutan mengenali jalan-jalan burung dan unggas. Mereka mahir memanggil tikus puti’ ipus dengan siulan. Mereka tahu jenis daun yang dapat dimakan, buah dan akar beracun, buah yang dapat dijadikan sabun, kulit kayu pewarna alamiah, getah pohon yang berguna.

Nelayan mengenali sarang ikan, membuat lintasan di air di antara tetumbuhan ceratophyllum demersum yang oleh mereka disebut narakan. Jenis ganggang bertulang alot ini mulai berkurang seiring menebal penyebaran ecenggondok.

Nelayan, walau ada yang tetap sebagai nelayan, namun sebagian ada juga yang meramu hutan, mengolah sawah ladang.

Mereka bertahan hidup mengikut mau musim. Saya memandang fenomena ‘hidup subsisten’ sebagai ‘mengakali persediaan makanan untuk bertahan hidup berdasarkan musim lokal’.

Ketika angin selatan menderas, badai dan ombak meninggi, masih saja ada satu dua orang yang mencari ikan. Nekat berperahu, memancing di amuk air. Ada yang melempar mata kail dari tepi, menunggu ikan besar melahap umpannya.

Kalu bapancing sementara ba ombak besar, boleh dapa mujair, basar-basar ja dapa kalu memang mujur,” kata Ai.

Ai nama panggilan, nama dia sebenarnya Harry. Dia punya saudara kembar, namanya Harto. Dua bersaudara itu punya dua kakak laki-laki, Jemmy dan Yani, dan seorang kakak perempuan, Lely. Keluarga mereka, walau bermukim di tepi danau, juga punya aktivitas bertani. Mereka warga Sendangan.

Beberapa nelayan dan pemancing ikan memang punya pengalaman berbeda di danau. Selain kegiatan memancing di musim ombak memang menantang, mereka tahu bahwa dalam gejolak air, ikan-ikan lapar susah mengejar mangsa, sehingga dengan mudah dapat dipancing.

Ketika kemarau dan ombak tidak terlalu tinggi, ada beberapa perempuan mencari anak payangka, ini jenis ikan kecil yang hidup bergerombol, di sekitar Tondano, pesisir timur danau hingga Kakas, orang menyebutnya nike, orang remboken menyebutnya wi’iwir.

Di Sumaru Endo, Leleko, ada tante Jawa yang suka menangkap wi’iwir menggunakan sasarup.  Alat sasarup ini dibuat dari kasa jaring bermata sangat halus, kasa itu dijahit pada dua bilah bambu yang dirangkai berbentuk bingkai segitiga sama kaki memanjang. Pada bagian pangkal, kasa menjuntai sepanjang lengan meraih titik terjauh.

Dari sisi kiri atau kanan, sasarup diayun perlahan di bawah air, lalu diangkat. Tangan meraih wi’iwir yang terjaring mendekam pada kasa terjuntai, lalu hasil itu ditaruh pada loyang atau ember yang sudah disiapkan.

Begitu cara mencari sesuatu untuk dilauk, seberapa dapat diolah jadi pinera, woku, atau digoreng jadi perkedel wi’iwir.

Menu pinera dan woku memang khas seputar danau Tondano. Perkedel wi’iwir sekarang dapat dijumpai di resto-resto tepi danau, menjadi sajian terekomendasi, lebih dikenal sebagai perkedel nike.

Begitulah. Hidup subsisten, ‘memenuhi kebutuhan hari ini, besok cari lagi’, potretnya kian memudar di masyarakat. Waktu telah menghanyutkan banyak kenangan tentang mereka.

Satu dua masih bertahan subsisten, yang lain mengikut pergulatan zaman: sekolah, bekerja, merantau, menemu nasib sesuai peruntungan hingga boleh meng’ada’ hingga hari ini.


Budidaya, Eutrofikasi, Erosi, Sedimentasi, Penggundulan

Air danau digunakan sebagai air baku untuk pertanian, untuk industri selain juga untuk kebutuhan domestik. Air danau digunakan sebagian besar penduduk sekitar danau untuk kebutuhan mereka, mencuci, mandi, sumber air minum, dan seterusnya.

Danau Tondano potensial sebagai sumber perikanan darat. Tercatat total tangkapan tahun 1998 mencapai 2000 ton ikan budidaya karamba dan jaring apung. Produksi ikan dengan berkembang secara signifikan pada tahun 1990.

Rawa pada outlet danau dimanfaatkan untuk peternakan. Danau ini juga merupakan tujuan wisata yang utama, khususnya bagi pariwisata lokal.  Beberapa areal lahan di kawasan Daerah Aliran Sungai Tondano ini merupakan sentra produksi hortikultura bagi Minahasa dan Sulawesi Utara.

Beberapa peneliti menyebut, bahwa peternakan di sekitar danau dan budidaya ikan mujair dan ikan mas yang memberikan kontribusi nutrien melalui kotoran hewan dan sisa limbah pakan ikan.

Di HETA NEWS, David Simamora menyebut yang mana tahun 2010 telah diketahui keramba jaring apung sudah terpasang sejumlah 9.833 unit, meliputi 2,2 persen dari luas danau. Diperkirakan jumlah ratarata beban pencemar dari aktivitas jarring apung sebesar 2.915 ton limbah organik dengan kandungan 138,8 ton nitrogen dan 29 ton fosfor.

Limbah domestik padat dan cair berasal dari pemukiman penduduk berupa sampah rumah tangga, daerah komersial, perkantoran, dan fasilitas rekreasi menyebabkan penurunan kualitas perairan.

Berikutnya detergen dan pembuangan sampah organik ke danau juga menyebabkan peningkatan kandungan nutrien danau, ditambah sisa-sisa pembusukan tanaman air yang mati apalagi ecenggondok semakin luas penyebarannya.

Laporan Universitas Sam Ratulangi, tahun 2000, memprediksi erosi yang terjadi di bagian hulu Daerah Aliran Sungai Tondano berkisar 28,86 – 63,00 ton per hektar per tahun.  Japan International Cooperation Agency, tahun 2001, melaporkan erosi sebesar 12,5 – 27,6 ton per hektar per tahun.

Tahun 1934 kedalam danau diperkirakan sekitar empat puluh meter. Erosi tanah dan kerusakan koridor riparian di sepanjang sungai dan danau Tondano menyebabkan terjadinya sedimentasi di danau Tondano.

Akibat pendangkalan, diperkirakan lokasi terdalam hanya sekitar lima belas meter, bahkan sisi dua puluh meter dari tepi danau kedalaman airnya sudah ada yang kurang dari lima meter. Artinya dalam satu tahun terjadi pendangkalan sekitar 25-30 centimeter.

Persoalan lingkungan mengancaman kelestarian Daerah Aliran Sungai Tondano di antaranya perusakan hutan dan lahan, erosi dan sedimentasi, banjir, penurunan kualitas dan kuantitas air, pencaplokan sempadan sungai, danau dan mata air.

Pemerintah sendiri menyebutkan dalam beberapa artikel mereka bahwa tingkat kerusakan lingkungan di Daerah Aliran Sungai Tondano sudah sangat parah dan memprihantikan.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1999, Daerah Aliran Sungai Tondano dikategorikan sebagai salah satu dari enam puluh prioritas pertama di Indonesia. Pemerintah Sulawesi Utara juga menetapkan Daerah Aliran Sungai Tondano sebagai kawasan kritis.

Pada tahun 2000 hingga 2003 saya sering mendatangi Kawatak – Manimporok, melintasi kawasan lindung Tampusu – Kasuratan – Pangalombian, bermalam di Mahawu – Rurukan – Kumelembuai – Tetetana – Temboan, menembus hutan-hutan di Masarang, Papakelan.

Ketika saya, Vicks Lotulung, Youdy Deeng, Merry Sumanti Sinaga, Yorry Kariso, mendatangi hutan Sarekat Toulawa di Papakelan, orang-orang di sana menyebut bahwa penebangan hutan dikendalikan oleh aparat pemerintah.

Laporan PPLH-Unsrat 2005 menyebut angka pada tahun 1982 luas hutan 2.450 hektar, menutupi 8,35 persen dari luas wilayah. Tahun 1999 luas hutan berkurang menjadi 2.182 hektar. Area tutupan tinggal 7,44 persen, jauh di bawah persyaratan minimum UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni suatu wilayah harus punya hutan sebesar 30 persen.

Laporan Japan International Cooperation Agency, tentang kawasan hutan tahun 2001, lebih miris lagi. Kawasan lindung yang terdapat di beberapa areal pegunungan banyak didominasi oleh lahan pertanian dan semak belukar. Kecuali area lahan di gunung Kawatak, area lahan di gunung-gunung lainnya ternyata hanya memiliki luas hutan kurang dari 30 persen, bahkan ada yang nol persen.

Media, pemerintah, dan berbagai pihak masih saja menuduh penggundulan daerah tangkapan air dilakukan oleh masyarakat.

***

Tahun 2000, Peter Malingkas, Billy Mawikere, Regina, Kiki Angkouw, Dian Pangemanan, Karel Tumimomor, Harto Supit, saya dan kawan-kawan di Remboken, menggagas beberapa kegiatan untuk membantu mencegah penurunan kualitas lingkungan alam daerah tangkapan air danau Tondano.

Bersama Jaringan Kampung, yaitu perwakilan masyarakat di hulu – pesisir – hilir membuat demplot pembibitan mahoni, sengon, dan beberapa jenis pohon yang cocok dengan area DAS Tondano.

Pembibitan pohon inisiasi orang kampung tersebar dari kawasan Kawatak Manimporok, Noongan, Tonsewer, Panasen, Paheleten, Toulimembet, Passo, Tandengan, Ranomerut, Watumea, Eris, Telap, Toliang Oki, Paleloan, Urongo, Leleko, Paslaten, Sinuian, sekitar pegunungan Lembean, Papakelan, Tonsea Lama, Tanggari, dan sejumlah desa di area DAS Tondano.

Di pesisir danau, masyarakat juga menginisiasi pembibitan dan budidaya payangka di tambak-tambak penduduk.

Pada Konferensi Nasional Danau di Bali 2009, danau Tondano sudah dimasukkan ke dalam daftar lima belas danau kritis di Indonesia yang diprioritaskan untuk mendapatkan penanganan akibat terjadinya degradasi lingkungan yang semakin parah.

Penghujung 2018 datang di Minahasa, saya berdiskusi dengan kawan-kawan di kampung, membaca berita di koran lokal: belum lama berselang Dinas Kelautan dan Perikanan melepas bibit ikan mas dan bibit ikan nila di danau Tondano. Untuk menjaga ketersediaan pangan.

Beberapa teman di kampung ikut terlibat kegiatan itu. Ke media sosial mereka membagikan foto-foto kegiatan yang terselenggara Jumat, 7 Desember 2018. Lalu kawan-kawan lain mulai menanggapi foto-foto itu.

Ada jo tu foto ikang?” tanya Youdi ke Merlen.

Awo Pala, lapas kasana jo, nanti torang panen musim ba ombak,” ujar Merchy Tumembouw, menanggapi Merlen.

Merlen, salah satu warga Leleko, tokoh pemuda dan aparatur desa di sana. Dia menjawab tanggapan kawan-kawannya. “Ba tunggu jo, satu taon ley torang pigi ba panah ikang,” sahut dia.

Ini berita yang saya baca. Katanya, maksud dari menebar benih ikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Disebut, Minahasa sebagai daerah potensial bagi pengembangan sektor perikanan, untuk budidaya dan perikanan tangkap. Untuk kemandirian ekonomi. Tribun Minahasa menulis, ada empat ratus ribu bibit ditebar di danau Tondano.

Dengan tagline sama, Manado Today turut mengabarkan, ada seratus ribu bibit ikan disebar ke danau Tondano. “Sektor unggulan Minahasa adalah perikanan, maka dilaksanakan kegiatan penebaran benih ikan untuk menjaga stok ikan di danau Tondano, untuk menyejahterakan nelayan di seputaran danau Tondano,” tulis Rommy Rompas, reporter Manado Today, mengutip visi yang disampaikan pemerintah kabupaten Minahasa terkait pelaksanaan acara tersebut.

Di era 1990-an budidaya semakin massif di danau Tondano. Jaring apung ada di mana-mana. Sesekali terdengar cerita tentang rano lewo, fenomena ini tak kenal musim, di mana air danau bagian bawah sangat dingin, di bagian permukaan agak hangat, ikan-ikan budidaya, nila dan mas banyak yang mati dan mengapung.

Forum Patoupan Katouan pernah membahas degradasi danau terkait aktivitas masyarakat dan introduksi jenis asing yang ada di danau, acara itu berlangsung di Sumaru Endo.

Sebelum tahun 2000 sudah ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pihak universitas menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi Daerah Aliran Sungai Tondano, hulu – pesisir – hilir.


Momboya, si Opo Talaga

Merlen, kawan saya di masa kecil. Punya kesenangan sama pada suatu masa, memancing ikan. Rumah dia dekat aliran sungai Rendaina – Wowolean, di mana alir sungai itu bermuara di danau Tondano.

Beberapa kali saya melihat Merlen memancing mujair ukuran besar, mengingatkan saya pada ujarannya, “Dapa momboya kita.”

Padahal saya lebih suka mahikan dan menangkapi gurame seukuran dua jari, digoreng garing dan diberi sambal pedas, sungguh nikmat.

Momboya mengingatkan saya pada sajian makanan dalam daun woka. Ikan diberi bumbu kunyit dan daun kunyit, kemangi, rajangan jahe, kemiri, rawit, sereh, garam, dimasak dengan bara api sedang, jarak diatur supaya api tak menjilati pembungkus daun woka.

Dulu, menu ‘momboya dalam daun woka’ dapat saya nikmati pada acara-acara tertentu saja. Dan momboya memang tidak selalu ada.

Tak hanya dengar dari Merlen, terminologi ‘momboya’ pernah dikenal pada suatu masa ketika budidaya model jaring apung belum begitu dikenal di danau Tondano.

Malam tanpa bulan puluhan tahun lalu di dermaga Sumaru Endo saya dan Jeff memancing ikan. Perahunya Jeff ditambatkan pada tiang dermaga, obornya dimatikan.

Nembole ada cahaya, supaya ikang nyanda dapa lia pa torang,” bisik Jeff.

Kami berdiri mematung, menjulur senar ke air, berpindah-pindah, menduga-duga melempar kail ke air jangan sampai mata kail tersangkut narakan atau benda lain di bawah air.

Jeff, di saat itu berusia sekitar 40-an. Dia nelayan yang sekian tahun mencari ikan di danau Tondano, dia punya banyak cerita, dari dia juga saya mendengar tentang momboya dan opo talaga.

Ini talaga ada depe panjaga, opo talaga. Lengkali sementara ba-prau, dia so ada, kita so berapa kali bakudapa,” tutur Jeff.

Cerita seperti itu sering saya dengar dulu, dari nelayan dan dari tetua kampung. Mereka menyebut seperti penuturan Jeff, sementara berperahu (ba-prau) tiba-tiba muncul panjaga, opo talaga.

Kisah itu setara dengan tutur tentang panjaga hutan. Anak-anak takut pergi ke danau, takut berenang jauh ke tengah jangan sampai ketemu opo talaga. Cerita berkembang, dibumbu sedemikian rupa menjadi mitos ‘penjaga danau’.

Dulu nelayan dan orang kampung memperlakukan danau sebagai sesuatu yang harus dijaga.

Jalur melintas bekas alur perahu ada pada jernih permukaan di mana mata boleh menikmati ceratophyllum demersum nan hijau elok melayang di air danau. Sesekali dapat melihat gabus menyimpan anak-anaknya yang masih ‘jingga bergaris hitam’ dalam mulutnya. Mujair besar disebut momboya, gureme besar disebut momboya. Ikan-ikan itu menjauhi dayung bila ada perahu melintas di atasnya.

Selain momboya, ada wiko, udang kecil endemik, sepat, tawes, mas, lobster hitam, gurame kupu-kupu, karper, payangka dan sejumlah satwa penghuni danau Tondano.

 

Implementasi Pelestarian

Sekarang melihat ikan besar tidak ada lagi yang kaget dan berujar, “ada momboya”. Orang-orang sudah biasa melihat ikan besar di jaring-jaring budidaya.

Introduksi jenis ikan baru di danau bukan hal baru. Ada marble goby, ikan betutu yang justru dinilai lebih ekonomis dan punya peluang pasar di luar negeri.

Waktu Desember 2018 datang ke kampung, kawan-kawan di kampung juga cerita, “Belum lama ada kunjungan kerja Komisi V DPR RI, sekitar Juli itu, dorang datang tinjau tu pembangunan revitalisasi danau Tondano.”

Berdasarkan data, per tahun berton-ton larutan yang semata tak terurai dalam sekejap, dari pupuk kimia dan pestisida mengalir masuk dari sungai-sungai yang bermuara di danau.

Budidaya yang ‘kadang’ dan ‘mungkin’ tak memperhitungkan keberlanjutan di area danau ‘sudah terbukti’ mengakibatkan pendangkalan. Bila banjir tiba, doa-doa semakin panjang.

Mei 2008 saya ke Remboken, ada cerita banjir yang menjangkit di pesisir hingga ke hulu. Pendangkalan danau semakin parah akibat penebangan hutan di area tangkapan air, mulai dari hulu, pesisir sampai hulu Daerah Aliran Sungai Tondano. Sesungguhnya ini bukan cerita baru.

Dari beberapa catatan lama saya menemukan, ada banjir 1977, air menggenangi desa setinggi setengah meter. Air surut setelah beberapa bulan. Tahun berikutnya, 1978, air mencapai satu meter dan baru surut enam bulan kemudian.

Medio 2014 proyek revitalisasi mulai memancang tanggul untuk cegah banjir seputaran danau. Tahun sebelumnya sempat bikin panik, air meluap lebih dari satu meter di pintu air. Mungkin itu alasan revitalisasi?

Saya kembali ke tahun 2000, cerita yang sudah disinggung tadi pada paragraf di atas sana, saat Peter, Billy, Regina, Pem Kaloh, Kiki, Dian, Karel, Harto, saya dan kawan-kawan di Remboken, menggagas kegiatan di wilayah kami, Remboken.

Kami berhubungan dengan desa-desa tetangga. Berdiskusi, berbagi pengalaman. Tanah pernah dirampas penguasa, pun sampai saat ini rumput-rumput yang dapat dibaca hijau oleh satelit dipetakan sebagai hutan negara.

Youdy Deeng dan John Kawengian bertutur pengalaman mereka mengelola Sarekat Toulawa. “Dulu tanah Belanda ambe samua, maar torang malawang,” kata mereka berdua.

Ada 48,9 hektar di Papakelan yang jadi percontohan hutan dikelola rakyat. Tahun 1938, pemerintah Belanda memberi izin berupa perangkat aturan pengerjaan lahan hutan tanam masyarakat.

Di Sarekat Toulawa masyarakat menanam mahoni dan cempaka. “Itu torang pe tanah warisan, masing-masing so dapa jatah tanah voor ba tanam,” kata Kawengian.

Saya dan Billy mendatangi Vicks Lotulung di Paleloan, lalu mengunjungi Merry di Roong. Mengajak mereka berkampanye untuk lingkungan, dan mengajak PLN Suluttenggo berpartisipasi. Ada bantuan dari “Natural Resources Management Program” yang dibiayai USAID dalam hal publikasi. Pemerintah juga terlibat.

Kami menggelar lomba lukis di tepi danau. Ada dua ratus enam puluh meter kain kanvas lukis kami taruh di tepi jalan dan anak-anak sekolah perempuan dan laki-laki menuang hitam putih mereka terkait danau yang susah diurus itu.

Karel, Pem Kaloh, dan Kiki, menginisiasi pembuatan demplot. Ketika benih pohon mulai bertumbuh di polybag, benih-benih itu ditanam di sekitar sumber air Tampusu. Mereka juga menanami tepi danau.

Menularkan kepedulian. Kami menggagas media rakyat, Palakat Remboken dan buletin Payangka. Mendiskusikan mitos momboya, menggali cerita pelestarian. Bahwa pada zaman pendudukan Jepang, di Sumaru Endo ada pos tentara Jepang. Kehadiran tentara Jepang di sana membawa aturan ketat bagi nelayan danau. Menurut cerita, seorang bangsa Jepang yakni Hirohito, memberi nama payangka kepada ikan yang oleh penduduk lokal disebut wurukus.

Kami juga menemu cerita tutur, yang mana, jauh sebelum pendudukan Jepang, nelayan danau juga telah memberlakukan aturan adat tentang konservasi di danau. Di sana ada mitos ‘minta izin’ sebelum turun danau, dilarang mendekati satu lokasi di danau yang ada ‘panjaganya’, sehingga nelayan menghindari daerah tersebut karena memang di situ merupakan tempat berkembangbiaknya ikan.

Teman-teman di kampung masih bergiat hingga hari ini, membentuk Tou Rinembok. Aktivitasnya belajar budaya dan menanami daerah tangkapan air salah satunya.

Pem Kaloh dan beberapa kawan masih bertani, masih menyiap pasak-pasak kayu dan temali untuk jerat binatang hutan sesuai musimnya. Yang lain menarikan kawasaran, walau pernah dan akan dianggap kafir oleh modernisme.

Bagi kami, ‘momboya’  adalah ketersediaan pangan pada musim yang tepat. Panjaga adalah arti lain dari hutan yang tumbuh dan pohon-pohon yang mengikat akar-akarnya pada bebatu jauh ke dalam hingga inti bumi.

Subsisten atau apa pilihan kita mengakali hidup. Bagi saya, bila datang ke wanua adalah menanam satu demi satu, berbagi pengalaman dan berbagi rezeki. Walau, hari ini semua seperti aliran menyatu di dasar yang tak lagi kasat mata. Torang samua adalah ‘panjaga’.(*)

 

 


Editor: Denni Pinontoan


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *