Connect with us

BERITA

Hoaks Kebangkitan PKI Terus Muncul

Published

on

26 Januari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

kelung.com – Sebanyak 43 laporan konten hoaks telah diterima Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) periode Agustus 2018 sampai 21 Januari 2019. Hoaks tersebut disebarkan melalui aplikasi pesan instan WhatsApp. Pada tahun 2018 aduan konten hoaks yang diterima sebanyak 733 laporan. Hoaks kebangkitan PKI salah satunya.

Dalam siaran pers yang ditayangkan di situs kominfo.go.id tanggal 22 Januari juga disebutkan, laporan terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2018, yakni sebanyak 16 konten hoaks yang disebarkan melalui platform WhatsApp. Pada bulan Agustus 2018 terdapat laporan 2 konten hoaks, September 2018 ada 5 konten hoaks, November 2018 sebanyak 8 laporan konten dan Desember 2018 sebanyak 10 laporan konten hoaks. Sementara sampai pada 21 Januari 2019 terdapat 2 laporan konten hoaks yang disebarkan melalui WhatsApp.

Desember tahun lalu, Kementerian Kominfo RI merilis 10 konten hoaks paling berdampak pada tahun 2018. Sepuluh konten hoaks tersebut adalah: 1. Hoaks Ratna Sarumpaet; 2. Hoaks Gempa Susulan di Palu; 3. Hoaks Penculikan anak; 4. Hoaks Konspirasi Imunisasi dan Vaksin; 5. Hoaks Rekaman Black Box Lion Air JT610; 6. Hoaks Telur Palsu atau Telur Plastik; 7. Hoaks Penyerangan Tokoh Agama Sebagai Tanda Kebangkitan PKI; 8. Hoaks Kartu Nikah Dengan 4 Foto Istri; 9. Hoaks Makanan Mudah Terbakar Positif Mengandung Lilin/Plastik; dan 10. Hoaks Telepon Disadap dan Chat di WhatsApp Dipantau Pemerintah.

Sejak pengelolaan pengaduan konten negatif yang disebarkan melalui aplikasi pesan instan dilaksanakan Kementerian Kominfo tahun 2016, konten yang terbanyak adalah kategori separatisme dan organisasi yang berbahaya. Pada tahun 2017, jumlah aduan meningkat menjadi 281 aduan. Adapun konten terbanyak dilaporkan adalah konten penipuan sebanyak 79 laporan. Sementara di tahun 2018, sebanyak 1440 laporan yang berkaitan dengan konten negatif. Terbanyak kategori laporan adalah konten yang meresahkan atau hoaks yaitu sebanyak 733 laporan.

Menteri Komunikasi dan Informatika menegaskan perhatian pemerintah dalam menekan angka penyebaran hoaks. Meskipun tidak bisa menjamin 100% hoaks tidak akan tersebar.

“Tugas kita adalah mitigasi risiko. Bagaimana menekan penyebaran, membuat angkanya serendah mungkin,” ungkap Rudiantara usai bertemu dengan VP Public Policy & Communications WhatsApp, Victoria Grand di Kantor Kementerian Kominfo, Senin (21/01/2018) sore.

Menteri Rudiantara menjelaskan modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial dan aplikasi pesan instan. “Modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial, posting dulu di FB, kemudian diviralkan melalui WA. Kemudian akun FB yang posting tadi dihapus. Ini yang kita perhatikan number of virality,” papar Rudiantara.

 

Tentang Hoaks Kebangkitan PKI

Dari delapan konteks hoaks yang dirangkum Kemenkominfo per 18 sampai 21 Januari 2019, hoaks kebangkitan PKI juga muncul. Seorang pengguna Facebook mengunggah foto Azas Tigor Nainggolan yang disebutnyamerupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam foto juga dituliskan caption: “Sudah menyebar,,didiamkan pula,,bisa kritik lagi” Faktanya, foto yang dinarasikan sebagai kebangkitan kader-kader PKI itu sudah diklarifikasi langsung oleh Nainggolan yang juga dikenal sebagai pengamat transportasi. Foto tersebut adalah ketika Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) berkunjung ke Vietnam. Kabar disinformasi ini adalah daur ulang dari disinformasi di tahun 2017. Demikian dikutip dari Kompas.com.

Hoaks lainnya yang menyebut ‘PKI’, seperti diberitakan kompas.com adalah sebaran post di Facebook dan blog yang mengklaim bahwa Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri mendesak Presiden Joko Widodo untuk memecat anggota TNI yang melakukan razia buku-buku yang mengandung unsur Partai Komunis Indonesia. Faktanya, informasi yang dituliskan dalam Facebook itu bukanlah berita yang sebenarnya, melainkan berasal dari post salah satu media online.

Peneliti utama LIPI, dan pakar sejarah Indonesia Asvi Warman Adam mengatakan, isu kebangkitan PKI merupakan “mimpi di siang bolong”. Berbagai berita, informasi yang beredar terkait munculnya PKI belum dapat dibuktikan kebenarannya alias hoax. Demikian seperti dikutip dari Beritasatu.com, 15 Juni 2017.

Asvi mengatakan itu pada diskusi bertajuk “Kebangkitan PKI: Isu Atau Realitas?” di Balai Sarwono, Jakarta, Rabu, 14 Juni.

Terkait tuduhan terhadap Presiden Jokowi sebagai anak PKI, menurut Asvi tidak berdasar. “Joko Widodo lahir tahun 1961. Ayah Joko Widodo bernama Widjiatno yang kelak menjadi Notomihardjo, dan Ibu Joko Widodo adalah Sujiatmi. Silsilah Jokowi sangat jelas, jadi tidak mungkin anak seorang PKI, atau terlibat dalam PKI,” ujarnya.

Asvi mengatakan, kebangkitan PKI saat ini hanya isu yang sengaja dihembuskan kelompok tertentu untuk mengacaukan situasi politik. Mengutip pendapat Peneliti Utama LIPI Sjamsuddin Haris, Asvi mengatakan, keruhnya situasi politik saat ini dilakukan oleh operator profesional yang menggandeng tiga kekuatan yaitu pebisnis hitam -yang tidak bisa melakukan korupsi akibat kebijakan Jokowi – politisi busuk, dan radikalis agama.

Pendapat lain disampaikan AS Hikam. Menurut dia, pertanyaan tentang benar tidaknya kebangkitan PKI tidak relevan dijawab. Pasalnya, isu kebangkitan PKI itu bisa diciptakan untuk memunculkan persepsi tertentu. “Jangan tanya PKI itu ada atau tidak, karena itu soal persepsi dan bisa diciptakan. Oleh karena itu saya menganggap isu PKI ini adalah persoalan faktual saja,” ujarnya.

Kata Hikam, ada empat faktor munculnya isu kebangkitan PKI, yaitu faktor ideologi, faktor lingkungan strategis dan kemanan nasional, faktor legal dan HAM, dan faktor politik.
Faktor ideologis munculnya PKI, kata Hikam, karena ideologi pada hakikatnya tidak pernah mati, seperti halnya komunisme. Selain itu, karena adanya kekosongan wacana dan praksis ideologi Pancasila pasca Orde Baru. Hal ini karena hegemoni ideologi Pancasila seperti masa Orba sudah lemah bahkan nyaris tidak ada. Yang tak kalah penting, kata Hikam, munculnya isu PKI terjadi karena munculnya ideologi alternatif seperti Islamisme dan Neoliberalisme. (*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *