Connect with us

Nasional

Hoaks Menggila di Tengah Pandemi

Published

on

Oleh: Rikson Karundeng


Apakah orang yang mudah termakan pemberitaan palsu pada umumnya adalah orang yang tidak memiliki informasi yang cukup, tidak berpendidikan atau anak-anak yang tidak tahu apa-apa? Menurut penelitian Kemenkominfo pada tahun 2015, orang yang menjadi korban hoaks adalah mereka yang memiliki intelektualitas yang tinggi.


“Hallo ada ndak saudara atau kenalan orang Menado yg ada di Jkt dan punya KTP Menado. Ini ada imbauan dr perwakilan Sulut di Jkt bhw ada bantuan dr Pemda. Ayo boleh tlp saya. (Ibu Evie Kawet +62 812-9718-323).”

Begitu isi short message service (SMS) yang kini beredar ke sejumlah masyarakat Kawanua. Tak butuh waktu lama, pesan singkat itu telah beredar ke berbagai media sosial (medsos). Banyak orang yang langsung percaya dan ikut menyebar kabar itu.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) sendiri mengaku terkejut ketika mendengar informasi ini. Dipastikan jika kabar soal adanya bantuan pemerintah daerah untuk warga Kawanua di Jakarta dan dapat diambil di Kantor Badan Penghubung, sama sekali tidak benar.

“SMS itu hoaks, tidak benar,” kata Wakil Gubernur Sulut, Steven Kandouw, Jumat, 22 Mei 2020.

Kandouw pun meminta agar seluruh masyarakat Sulut, terlebih khusus yang sedang berdomisili di Jakarta, maupun di daerah lainnya, untuk tindak mempercayai informasi yang beredar itu. “Sekali lagi, informasi itu tidak benar. Tolong sampaikan ke masyarakat jika informasi itu tidak betul,” tegas Kandouw.

Di masa pandemi Covid-19 ini, hoaks memang semakin menggila. Kasus di Sulut itu cuma salah satu contoh dari ratusan, bahkan ribuan hoaks yang kini bergentayangan di dunia maya. Peningkatan kehadiran peselancar di dunia maya juga ikut jadi pemantik.

Dilansir dari Tech Crunch pada penghujung Maret 2020, lembaga riset Kantar mengungkapkan banyaknya aktivitas pengguna media sosial selama beraktivitas di rumah. Setidaknya ada peningkatan lebih dari 25.000 pengguna baru aplikasi pesan instan WhatsApp dalam beberapa pekan. Secara global, kenaikan trafik penggunaan WhatsApp melonjak ke angka 51 persen di sejumlah negara yang mulai memberlakukan kebijakan karantina wilayah.

Hal yang sama terjadi pada platform media sosial yang berada di bawah Facebook seperti Messenger dan Instagram. Hasil riset itu menguak, pertumbuhan penggunaan media sosial tersebut saat wabah Covid-19 ini belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh industri.

Indonesia tak luput dari fenomena ini. Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Henri Subiakto, dalam diskusi via Zoom yang digelar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Selasa, 5 Mei 2020, mengakui jika peningkatan tersebut juga terjadi di negara ini.

Henri mengatakan jika penggunaan media sosial meningkat 40 persen ketika masyarakat bekerja dari rumah selama pandemi virus corona (Covid-19). Hal yang sama terjadi dalam penggunaan aplikasi penunjang bekerja dari rumah, seperti Zoom. Data menyebutkan, meningkat hingga 443 persen. Namun, persoalan lain yang turut menyertai adalah, terjadi peningkatan berita bohong atau hoaks selama masa pandemi Covid-19. Terdapat 1.222 hoaks selama periode Februari 2020 hingga April 2020.

Informasi soal peningkatan berita hoaks di Indonesia, juga diungkap Korps Bhayangkara. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya saja, kasusnya tidak sedikit. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus saat menyampaikan rilis, Senin, 4 Mei 2020, menyebutkan terjadi peningkatan jumlah kasus penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian di masa pandemi Covid-19. Baik dalam bentuk tulisan maupun video. Yusri mencatat, sepanjang Maret 2020 hingga April 2020, menerima setidaknya 443 laporan berkenaan dengan ujaran kebencian atau berita bohong alias hoaks.

Tren kenaikan telihat jelas. Yusri merinci dari 443 laporan yang diterima, 14 di antaranya diungkap Polda Metro dan Polres Metro jajaran dengan menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Proses penyelidikan terhadap kasus lain pun terus digulir untuk dituntaskan.

Langkah lain yang dilakukan pihak kepolisian, berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk menutup akun-akun penyebar kebencian dan hoaks. Polda Metro Jaya telah mendeteksi jumlahnya ada 218 akun media sosial. 179 akun Instagram, 27 akun Facebook, 10 akun Twitter, dan dua akun WhatsApp. Akun-akun itu telah diminta untu diblokir segera agar tidak meresahkan masyarakat.

Kisah Tentang Hocus Pocus

Istilah hoax mulai dipakai di Inggris pada abad ke-18. Bermula dari lahirnya sebuah buku berjudul A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names and Allusions to Customs, Proverbs, Etc, karya filolog yang bernama Robert Nares.

K.D. Syuhada dalam tulisannya “Etika Media di Era Post-Truth” yang dimuat dalam Jurnal Komunikasi Indonesia Vol. 6 No. 1 Tahun 2018, menjelaskan jika istilah hoax berasal dari kata hocus, sebuah kata Latin yang merujuk pada hocus pocus. Istilah hocus pocus mengacu pada mantra para penyihir yang kemudian dipakai para pesulap ketika memulai trik. Hocus pocus diambil dari nama penyihir Italia yang terenal, yakni Ochus Bochus.

Menurut Syuhada, sumber yang lebih tua tentang asal frasa hocus pocus sebenarnya berasal dari Thomas Ady, fisikawan Inggris abad ke-17. Ditulis, pada tahun 1656 hocus pocus adalah mantra penyihir yang tidak berarti apa-apa. Jadi, dari dua pendapat itu, muncul sebuah kesimpulan bahwa hoax adalah kabar bohong yang dibuat untuk melucu atau sengaja membingungkan penerima informasi dengan maksud bercanda.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa kata hoax merupakan kata yang digunakan untuk memanipulasi penonton sulap dengan sengaja untuk kepentingan hiburan semata. Namun, kata hoax saat ini ditafsirkan sebagai informasi yang tidak benar tetapi diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Astrini dalam tulisannya tentang “Hoax dan Banalitas Kejahatan: Studi Pustaka tentang fenomena hoax dan keterkaitannya dengan Banalitas Kejahatan” yang dimuat di Jurnal Transformasi, Volume 2 Nomor 32, istilah hoaks dipahami sebagai sebuah upaya yang sengaja dibuat untuk memutarbalikan fakta dengan menggunakan informasi palsu sehingga tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Kedua, hoaks sebagai penyebaran informasi secara sengaja melalui media untuk mengaburkan fakta dengan cara menutupi pesan yang benar dengan pesan yang salah. Ketiga, hoaks merupakan informasi bohong, palsu, fitnah, memutarbalikkan dan mengaburkan fakta yang dengan sengaja diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak ramai supaya informasi tersebut diyakini sebagai kebenaran tanpa disadari bahwa informasi tersebut bohong serta menggiring opini publik ke arah yang dikehendaki oleh orang yang membuat informasi tersebut, yang didasarkan atas kepentingan yang melatarbelakanginya (politik, ekonomi, ideologis, sentimen pribadi bahkan iseng).

Esensi pengertian hoaks di sini bukan untuk menghibur lagi tetapi sudah menyebabkan permasalahan besar menyangkut permasalahan politik, ekonomi, etnis dan hal-hal sensitif lainnya.

Cara Menghadapi Hoaks

Zaman dulu, hoaks masih jarang, sekarang ia bertebaran di mana-mana. Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat penyebaran hoaks dengan mudah tersebar dalam hitungan menit bahkan mungkin hitungan detik.

Apakah orang yang mudah termakan pemberitaan palsu pada umumnya adalah orang yang tidak memiliki informasi yang cukup, tidak berpendidikan atau anak-anak yang tidak tahu apa-apa? Menurut penelitian Kemenkominfo pada tahun 2015, orang yang menjadi korban hoaks adalah mereka yang memiliki intelektualitas yang tinggi. Di Amerika sendiri, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, 23% orang dewasa Amerika terlibat dalam penyebaran berita palsu.

Di era pandemic Covid-19 kini, tak sedikit masyarakat yang sering menjadi korban hoaks. Jika tidak ada kehati-hatian, netizen akan dengan mudah termakan tipuan hoaks tersebut bahkan ikut menyebarkan informasi palsu itu. Dampaknya tentu akan sangat merugikan bagi pihak korban fitnah.

Dalam kolom Topik Utama bertajuk “Stop Menyebarkan Hoax!’ di UI Lib.bekala Vol. 3 No. 1 Tahun 2017 dijelaskan, dampak yang diakibatkan oleh haoks ada dua sisi. Dampak pada individu, atau orang yang menyebarkan hoaks, kredibilitasnya turun dan bisa membuat orang lain tidak memercayainya lagi. Si pelaku juga terancam pasal 28 ayat 1 UU ITE, karena telah dengan sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Hukumannya pidana maksimal 6 tahun atau denda maksimal 1 miliar rupiah.

Sedangkan dampaknya pada masyarakat bisa memicu perselisihan, keributan serta ketidaktenangan di masyarakat. Bahkan lebih parah lagi, jika menyangkut politik dan suku, agama ras dan antargolongan (SARA), bisa memecah belah persatuan bangsa. Lalu bagaimana cara agar terhindar dari hoax?

Kabar hoaks sebenarnya dapat dikenali dari beberapa hal yang melekat padanya. Pertama, sumber beritanya berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya. Tidak ada tautan ke sumber resmi. Berita tersebut dari situs yang tidak jelas, siapa penanggung jawabnya, apakah perorangan, lembaga, atau lainnya. Atau dari situs yang tidak dapat dipastikan apakah memiliki kredibilitas atau reputasi berita yang cukup baik.

Cara kedua mendeteksi hoaks, gambar, foto atau video yang dipakai merupakan rekayasa, atau bahkan tidak nyambung dengan beritanya. Misalnya, hasil editing dari sumber asli yang dibuat asal saja. Ketiga, biasanya menggunakan kalimat yang provokatif, sehingga mudah memengaruhi pembacanya. Keempat, mengandung unsur politis dan SARA.

Kemenkominfo di situs resminya https://kominfo.go.id/, mengutip halaman kompas.com, Minggu, 8 Januari 2016, yang menejelaskan “Cara Mengatasi Berita Hoaks di Dunia Maya” menurut Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Septiaji Eko Nugroho.

Septiaji mengurai lima langkah sederhana yang bisa membantu dalam mengidentifikasi mana berita hoaks dan mana berita asli. Pertama, ia mewarning untuk hati-hati dengan judul provokatif. Sebab berita hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoaks.

Karena itu, ia menyarankan apabila menjumpai berita denga judul provokatif, sebaiknya mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya sebagai pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.

Tips kedua, cermati alamat situs. Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi, maka informasinya bisa dibilang meragukan.

Langkah ketiga, periksa fakta. Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya. Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat.

Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.

Keempat, cek keaslian foto atau video. Di era teknologi digital saat ini, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.

Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian ‘Google Images’. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.

Langkah terakhir, ikut serta grup diskusi anti hoaks. Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.

Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoaks atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.

Selanjutnya, bagaimana cara melaporkan berita atau informasi hoaks ? Apabila menjumpai informasi hoaks, pengguna internet bisa melaporkannya melalui sarana yang tersedia di masing-masing media. Untuk media sosial Facebook, gunakan fitur ‘report status’ dan kategorikan informasi hoaks sebagai hatespeech/harrasment/rude/threatening, atau kategori lain yang sesuai. Jika ada banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook akan menghapus status tersebut.

Untuk Google, bisa menggunakan fitur ’feedback’ untuk melaporkan situs dari hasil pencarian apabila mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur ‘report tweet’ untuk melaporkan twit yang negatif, demikian juga dengan Instagram.

Sementara, bagi pengguna internet, dapat mengadukan konten negatif ke Kemenkominfo dengan melayangkan e-mail ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id.

Septiaji mengungkapkan, Masyarakat Indonesia Anti Hoax juga menyediakan laman data.turnbackhoax.id untuk menampung aduan hoaks dari netizen. ‘TurnBackHoax’ sekaligus berfungsi sebagai database berisi referensi berita hoaks. (*)

Penulis, Desainer Grafis & Sinematografer

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *