Connect with us

ESTORIE

Hue dan Dua Gelas Kopi

Published

on

8 Februari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Menghirup udara di pinggir sungai sembari meneguk segelas kopi, persis seperti sensasi ilegal ketika menemukan bekas bau tubuh istri orang di kemeja kerjamu.

 

Vietnam dengan kafe-kafe kopinya ibarat kerumunan lebah. Yang terbang melayang di atas kelopak bunga. Ramai dan kadang bahkan bisa terasa sesak.

Hue, kota di mana saya pernah tinggal, akan sangat mudah menemukan tempat bersantai dan menikmati secangkir kopi. Meski tergolong kota kecil dari segi ukuran geografis, Hue memiliki cukup ruang bagi para pelancong untuk melepas penat, mencari kesegaran yang hilang saat berwisata atau hanya sekedar merehatkan pikiran.

Bertulangpunggungkan pariwisata, kota ini menata dirinya dengan keramahan penduduk, keindahan masa lalu yang terawat, kuliner yang menggoda lidah, biaya penginapan yang tergolong murah serta tentu saja warung-warung kopi.

Sepanjang kedua sisi sungai Huong Giang saja terdapat sekitar enam puluh warung kopi yang memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk singgah. Ingin duduk di bawah pohon yang teduh dan menikmati pemandangan sungai, atau mencari tempat duduk yang agak sepi, di bawah payung-payung plastik.

Sungai ini adalah bau tubuh Hue. Menghirup udara di pinggir sungai sembari meneguk segelas kopi, persis seperti sensasi ilegal ketika menemukan bekas bau tubuh istri orang di kemeja kerjamu.

Terutama jalan setapak di tepi Huong Giang. Suasana dan desain kota ini menggoda mereka yang terluka dan sedang berlari untuk berhenti dan mengobati diri. Ada banyak pohon yang tumbuh menjulang hingga bayang daun-daunnya jatuh dan meneduhkan gelisah. Kita dapat berjalan kaki menyusuri sungai sembari melihat-lihat tubuh kota ini. Tubuh yang dibalut waktu, dengan jeda agar setiap orang yang singgah dan menjelajah harus secara perlahan menikmati tiap kecupan sembari membayangkan diri sedang berada di masa-masa terakhir sebuah dinasti. Membawa ingatan ke tikungan waktu saat kebosanan dengan musim dingin dan rasa penasaran akan dunia baru di seberang berbenturan dengan retaknya kuasa absolut yang menyelimuti diri dengan mitos. Periode di mana kapal-kapal kelelahan membuka jalan untuk kedatangan pertama bangsa-bangsa Eropa.

Saya suka taman-taman di Hue. Jatuh cinta lebih tepatnya.

Terutama karena mereka menyediakan bangku-bangku semen dengan jarak yang cukup berjauhan. Yang menarik dari bangku-bangku ini, mereka didesain hanya untuk dua orang saja. Dua orang dan tidak lebih.

Saya dan perempuan itu memiliki satu kafe favorit di sana. Namanya Cam En. Letaknya tepat di tepi sungai, sebelah barat kota, berjarak sekitar dua puluh lima meter dari Festival Hotel. Di Cam En ini kami biasanya memilih tempat di sudut sebelah kiri, di lokasi yang agak terpisah dari pengunjung lain. Sebuah meja dengan tiga kursi kecil kami duduk. Lokasi yang tepat untuk bercerita dengan bebas. Saling tersenyum, berpegangan tangan, dan sesekali berhenti untuk menyeruput kopi. Saya dengan segelas Ca Phe Da (kopi hitam), sedangan dia dengan segelas Ca Phe Sua da (kopi susu).

Vietnam memang terkenal dengan kopi. Jenis yang paling umum disajikan di negeri ini adalah kopi Robusta.

Iya, Robusta dan bukan Arabika. Seperti kota-kota lain di Vietnam, Robusta adalah jenis kopi paling populer dan umum disajikan di Hue. Bertaut erat dengan fakta bahwa negeri berhaluan komunis ini adalah penghasil biji kopi Robusta kedua terbesar di dunia setelah Brazil. Menjadi produk andalan ekonomi dalam negeri semenjak kopi diperkenalkan oleh penjajah Prancis di akhir abad 19.

Walaupun sebenarnya, seperti yang dicatat oleh Tim Larimer dalam Chasing Starbucks Dreams: Trung Nguyen and its Global Expansion, perkebunan kopi pertama di negeri ini yang dibuka tahun 1857 di sekitar Ha Nam adalah kebun yang menanam jenis Arabika.

Daerah ini dahulu merupakan provinsi paling selatan di wilayah kekuasaan Dinasti Tang. Di masa tersebut, daerah ini selalu diliputi dengan pemberontakan oleh mereka yang menolak tunduk kepada kekuasaan Cina. Dalam buku yang berjudul Daily life in traditional China: Tang dynasty, Charles D. Benn menggarisbawahi kemenangan gemilang pemberontakan di tahun 939 Masehi, setelah pasukan pemberontak di bawah pimpinan Ngo Nguyen berhasil mengalahkan pasukan Dinasti Tang yang dikomandoi Liu Hongcao.

Setelah sukses mengembangkan Arabika, Prancis kembali memperkenalkan Robusta dan Liberika di tahun 1908.

Area pertama di seantero Vietnam yang ditanami kopi adalah Bien Hoa, yang terletak sekitar 30 kilometer ke arah timur dari Sai Gon. Daerah perkebunan ini dahulu dimiliki oleh sebuah perusahaan bernama Coronel Coffee. Kepunyaan seorang insinyur berkebangsaan Prancis bernama Marcel Coronel. Setelah kemenangan pasukan merah dan unifikasi Vietnam, lahan kopi lalu dinasionalisasi oleh negara pada 1975 melalui pembentukan Vietnam National Coffee Corporation yang lebih populer dengan sebutan Vinacafe.

Menyebarnya robusta ke seantero Vietnam tidak lepas dari cerita kesuksesan Vinacafe melakukan ekspor perdana pada 1978.

Melihat potensi pasar kopi di dunia internasional, pemerintah Vietnam melalui Kementerian Pertanian dan Industri Makanan, kemudian melalukan ekstensifikasi yang melibatkan tenaga ahli dan kelompok petani. De Fontenay dan Leung dalam Managing commodity price fluctuations in Vietnam’s Coffee Industry (2002) mencatat bagaimana lahan-lahan pertanian di daerah pegunungan kemudian dijadikan lahan bisnis monokultur kopi. Sebagai penopang, Vinacafe membangun unit-unit usaha pembelian yang berhubungan langsung dengan petani sekaligus menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan untuk menjaga kualitas produk.

Pemerintah komunis ini juga melakukan proteksi terhadap mata rantai perdagangan kopi di dalam negeri. Kopi robusta impor yang masuk ke Vietnam dikenakan pajak progresif yang berimplikasi pada harga jual yang mahal dengan kualitas yang belum tentu sebanding. Hal ini membuat kedai-kedai kopi kecil di negeri lebih cenderung memilih membeli dan memperdagangkan kopi lokal sehingga mempengaruhi tren konsumsi kopi di dalam negeri. Penetapan pajak progresif tersebut dibarengi dengan proyek-proyek peningkatan kualitas di dalam negeri.

Proyek ambisius ini dimulai setelah perang berakhir pada pertengahan dekade 1990-an. Pemerintah Vietnam mencanangkan intensifikasi penanaman kopi. Para petani mendapat subsidi, kemudian di lahan-lahan pertanian itu mereka bekerja. Sementara, untuk mendukung petani, Vietnam memaksimalkan sarjana-sarjana pertanian yang baru lulus dari perguruan tinggi. Mereka mendapatkan kontrak dan diberikan upah di atas rata-rata serta dilengkapi dukungan pendanaan yang dikoordinir langsung oleh Kementerian Pertanian.

Riset-riset terkait upaya peningkatan kualitas diberdayakan dan kebun-kebun percobaan dibuka. Selain itu, sarjana-sarjana pertanian tersebut diinstruksikan turun ke lapangan untuk tinggal dan mengalami langsung pasang surut pengolahan kopi di garda terdepan. Semuanya demi memastikan rencana jangka panjang tersebut berjalan sukses. Hari-hari ini, negeri yang berkali-kali dikalahkan oleh Sylvester Stallone dalam film “Rambo”-nya, merupakan negara eksportir kopi terbesar kedua di dunia.

Di Vietnam, petani adalah sokoguru ekonomi.

Itu sebabnya sektor agrikultur mendapatkan proteksi dan subsisi dari negara. Meneruskan janji Nguyen Sinh Cung, atau yang lebih dikenal dunia dengan nama samarannya: Ho Chi Minh.

Produk pertanian seperti kopi, beras, teh, tebu, kacang kedelai, kapas dan karet sepenuhnya dikelola oleh negara melalui pembentukan badan usaha nasional. Para petani mendapatkan kepastian harga jual bibit dan hasil panen dengan dibentuknya unit-unit penanganan produksi dan pasca-produksi hingga ke tingkat kecamatan. Bersama sektor kehutanan, pertanian menyumbang 33% dari pendapatan kotor (GDP) Vietnam di tahun 2014. Sekitar 42% dari total ekspor negeri komunis ini datang dari sektor pertanian. Jumlah ini memang menurun jika dibandingkan dengan tahun 1990 di mana setengah dari pendapatan dari perdagangan luar negeri Vietnam disumbang oleh pertanian dan kehutanan.

Tapi jangan pikir semua deret kesuksesan ini adalah hasil sulap satu malam.

Vietnam melakukan kerja keras penuh lumpur dan langsung tancap gas untuk membenahi negaranya yang porak poranda karena perang. Larimer mencatat bahwa pada tahun 1976, ketika Partai Komunis Vietnam meluncurkan Rencana Lima Tahun Kedua, yang ditargetkan selesai tahun 1980. Program ini melanjutkan Rencana Lima Tahun tahap pertama yang awalnya hanya diterapkan di Vietnam bagian utara tahun 1960-1965, karena bagian selatan masih dikuasai Amerika Serikat dan sekutunya. Pembenahan dan reforma agraria dilakukan dengan membenahi jalur distribusi bibit dan pupuk, perbaikan infrastruktur pendukung seperti jalan dan irigasi, menginstruksikan turun basis kepada kader-kader partai yang memiliki pengetahuan di soal pertanian dan manajemen hasil produksi, serta penerapan monopoli di tangan negara demi memastikan program berjalan lancar.

Lalu dari mana uang untuk pembiayaan program tersebut didapatkan?

Vietnam memanfaatkan hubungan dekat mereka dengan negara-negara komunis lain, seperti Uni Soviet, Cina dan beberapa negara di Eropa Timur. Mereka mengajukan pinjaman dengan total nilai mencapai 4 milyar dolar Amerika. Sementara untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur seperti jalan dan bangunan sekolah, negeri ini memanfaatkan donasi untuk revitalisasi perang dari negara-negara Barat yang diperkirakan berjumlah 1 milyar dolar. Dan ini yang paling penting. Di masa-masa percepatan pembangunan ini, korupsi ditangani dengan tangan besi.

Tapi masa-masa bulan madu dengan kebijakan sosialis macam di atas hanya sebentar.

Vo Van Kiet, wakil ketua Dewan Kementerian yang juga merupakan anggota Biro Politik Partai Komunis Vietnam (PKV), dalam pidatonya di hadapan peserta Pertemuan Nasional ke-7, Desember 1986, menggarisbawahi problem-problem mendasar yang tengah dihadapi sektor pertanian negeri tersebut. Kiet menyoroti tentang kegagalan sektor pertanian dan kelautan mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Lima Tahun Ketiga.

Dia menyalahkan ketidakmampuan institusi-institusi negara -terutama Komisi Perencanaan Nasional yang dinilai tidak mampu menyediakan basis analisis terhadap kondisi material sebagai batu pijakan untuk memaksimalkan pertumbuhan produksi sektor agrikultur. Kiet juga menuduh Kementerian Perdagangan tidak becus dalam penerapan sistem harga beli di level petani dan harga jual produk-produk kunci industri pertanian yang diekspor seperti kopi, teh, karet dan gula. Menurunnya kemampuan produktif sektor pertanian bagi Kiet merupakan cermin kegagalan internal partai dalam merumuskan langkah antisipasi dan radikal.

Bergantinya generasi di lingkaran partai, adalah salah satu sebab.

Para pemimpin PKV hari ini adalah mereka yang tumbuh dari pengalaman yang berbeda. Bukan orang-orang yang terlibat langsung dalam perjuangan pembebasan nasional atau mengalami masa-masa sulit ketika perang melawan okupasi Amerika Serikat di wilayah selatan. Suksesnya kelompok yang lebih berkarakter reformis menggapai tampuk kepemimpinan partai pada awalnya diharapkan merupakan sinyal perbaikan ke arah yang lebih baik. Tapi angin bertiup ke arah berbeda.

Di awal dekade 90-an, tidak ada perubahan fundamental yang dilakukan sementara keran investasi semakin longgar. Awal tahun 2000-an, semakin marak generasi muda Vietnam yang memandang bahwa bekerja di sektor pertanian bukanlah pilihan yang tepat. Di tahun 2004, Kementerian Pertanian Vietnam mencatat bahwa jumlah petani menurun drastis hingga 76% sementara penyusutan lahan pertanian yang beralih fungsi mencapai 41%. Regres yang mengkhawatirkan dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya.

Akibatnya, angkatan kerja ramai-ramai bermigrasi dari desa untuk menguji peruntungan sebagai buruh di kota-kota industri yang sedang tumbuh, seperti Ho Chi Minh City. Yang lain kemudian mengalihkan perhatian ke sektor pariwisata meskipun tidak memiliki kemampuan yang cukup. Sisanya kemudian beralih ke industri skala rumah tangga sebagai siasat.

Migrasi besar generasi pekerja tanpa keahlian ke kota-kota karena hilangnya harapan di desa, dituduh menjadi salah satu sumber membesarnya industri pelacuran, meningkatnya jumlah pengangguran di usia produktif dan naiknya angka kriminalitas.

Di dalam negeri, semakin banyak perempuan Vietnam yang menjadi pelacur. Menurut Kementerian Tenaga Kerja Vietnam, di tahun 2008 diperkirakan sekitar 25.000 ribu perempuan terjebak dalam lingkaran prostitusi. Ratusan lain diseludupkan hingga ke Malaysia, Singapura bahkan Indonesia. Di saat yang bersamaan, banyak pemuda yang menggadaikan hidup mereka kepada tukang rente dengan menjadi nelayan di perahu-perahu penangkapan ikan yang beroperasi secara ilegal. Sebagian kecil yang lain memilih menjadi imigran gelap untuk bekerja di Thailand atau Laos. Mereka yang cukup sukses kemudian memilih menetap meski urung mengganti kewarganegaraan.

Melihat wajah Vietnam saat ini, mengingatkan saya akan kondisi Indonesia sebelum dihantam krisis ekonomi 1998. Hampir mirip. Meski memang, kondisi di Indonesia tak jua mengirimkan sinyal tanda membaik.

Namun, meski krisis sektor pertanian cukup berpengaruh, industri kopi di Vietnam tetap bergeliat meski tak lagi selincah dahulu. Untuk ini, jumlah konsumsi dalam negeri yang tergolong tinggi dapat disebut sebagai juru selamat. Kebiasaan minum kopi pula yang membuat negeri ini terkenal hingga ke negeri seperti Indonesia. Ada banyak kedai yang menyediakan teknik penyajian kopi ala Vietnam.

Namun banyak yang tidak tahu bahwa kebiasaan orang Vietnam menyuguhkan kopi dengan penyaring tunggal untuk setiap gelas, merupakan taktik untuk menyiasati langkanya mesin pembuat kopi. Mereka menyebutnya phin. Penyaring ini terdiri dari ruang penyaring (filter chamber), penekan saringan (filter press), cangkir pas (cup spanner), dan tentu saja tutup saringan.

Di Vietnam banyak orang lebih suka menggunakan gelas kaca sebagai wadah tampung resapan kopi. Alasannya sederhana, dengan gelas kaca, kita dapat menyaksikan kopi yang jatuh perlahan. Kontemplatif. Pelan dan memberikan lebih dari cukup waktu untuk kita mengambil nafas. Seperti jeda di antara kecupan yang penuh gairah dan letupan.

Nguyen Anh Danh, dosen sejarah di Hue University yang jadi tandem saya berulang kali menenggak bir mengatakan bahwa model penyajian ini juga memiliki makna historis bagi orang-orang Vietnam.

Menggunakan phin saat minum kopi merupakan salah satu cara mereka melupakan perang. Negeri ini memang lekat dengan perang. Dan Hue, kota di mana saya menetap termasuk yang paling terluka.

Kota ini adalah ibukota provinsi Thua Thien-Hue. Sejak abad ke 17 hingga kejatuhannya, Hue adalah pusat pemerintahan daerah Dang Trong yang membentang dari selatan hingga ke sebagian besar wilayah tengah Vietnam modern. Posisinya yang strategis membuatnya selalu rentan dengan ancaman invasi.

Ancaman terbesar datang dari bagian utara yang merupakan wilayah dari kerajaan yang dipimpin oleh Dinasti Trinh. Musuhnya adalah marga Nguyen, adalah satu dari dua keluarga terkemuka yang memimpin aliansi keluarga-keluarga bangsawan di masa berlangsungnya peperangan untuk memisahkan diri dari Dinasti Ming di Cina daratan yang berlangsung di awal abad ke 15. Dalam Encyclopedia of Asian History Volume 4, disebut bahwa keluarga bangsawan Nguyen merupakan penguasa Hue sebelum ditaklukkan oleh Dinasti Trinh.

Awalnya, luas wilayah dinasti ini hanya membentang hingga Saigon di bagian selatan. Hingga akhirnya di awal tahun 1700-an, keluarga Nguyen melancarkan perang terhadap kerajaan Champa di Kamboja dan sukses merebut beberapa daerah strategis di sekitaran Teluk Siam sekaligus menjadi salah satu penguasa Delta Mekong yang terkenal sebagai daerah subur.

Berjarak 700 km selatan Ha Noi dan 1.100 km utara Sai Gon, Hue menjadi batas pertempuran antara tentara komunis Viet Kong dan pasukan Amerika Serikat (AS) selama perang untuk penyatuan Vietnam yang berlangsung selama dua puluh tahun. James H. Willbanks dalam The Tet Offensive: A Concise History menulis bahwa kota ini mengalami tragedinya yang paling buruk di tahun 1968. Tepatnya, ketika Serangan Tet (Tet Offensive) dilancarkan oleh Tentara Rakyat Vietnam (TRV) di bawah komando Jendral Hoang Van Tai.

Serangan umum ini merupakan keputusan Politbiro Partai Komunis Vietnam (PKV) untuk melakukan serbuan serentak dan menyeluruh terhadap tentara AS. Rencana penyerangan awalnya dirumuskan bersama oleh sebuah komite bentukan partai yang dipimpin oleh Pham Hung. Selanjutnya, rancangan kasar tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Pertahanan kala itu, Vo Nguyen Giap. Keputusan mengenai hari penyerbuan diputuskan melalui Rapat Komite Pusat PKV di awal Januari 1968. Disepakati bahwa seluruh kekuatan militer TRV akan memulai serangan tepat ketika tahun baru Vietnam (Tet) yang jatuh pada 30 Januari.

Serangan Tet adalah asal muasal dari tragedi berdarah Perang Hue (Hue Battle) yang berlangsung di bulan Februari 1968. Pengepungan Hue -sebutan lain untuk peristiwa ini merupakan salah satu rangkai pertempuran terpanjang dan paling berdarah dalam riwayat Perang Vietnam. Peperangan ini berlangsung mulai 30 Januari hingga akhirnya dipungkasi dengan pengambilalihan istana Citadel pada 24 Februari.

Pertempuran ini melibatkan 26 batalion -10 batalion TRV melawan 5 batalion militer AS dan 11 batalion tentara Vietnam selatan. Diperkirakan lebih dari 20.000 tentara terlibat dengan korban tewas mencapai 10.000 orang. Hue porak poranda karena menjadi arena perang. Selama pertempuran di Hue, tentara Vietkong memilih bertahan di kuil-kuil atau bangunan publik sebagai benteng untuk menghindari gempuran angkatan udara AS. Walau sebenarnya percuma. Lusinan bom dan ratusan mortir tetap dijatuhkan tanpa peduli. Akibatnya, puluhan kuil, rumah sakit dan sekolah, hingga bangunan peninggalan Dinasti Nguyen hancur lebur karena pengeboman.

Namun peristiwa yang paling membekas di ingatan orang-orang Hue, adalah tewasnya 5.000 warga sipil dalam pertempuran ini. Masing-masing pihak, utara dan selatan, saling melempar tanggung jawab, demikian dicatat The Encyclopedia of the Vietnam War. Sementara orang-orang Hue memilih untuk mendiamkan hal tersebut meski kenangan soal peristiwa berdarah ini diawetkan dengan cara misterius.

Ingatan tentang Pengepungan Hue, terkadang muncul secara tak terduga. Di tengah-tengah pembicaraan informal, dibungkus dengan sinisme dan nada sarkas. Meski hari ini, bekas-bekas kehancuran perang di kota ini tak lagi dapat dikenali. Upaya memperbaiki wajah Hue yang berantakan oleh perang ditandai dengan upaya perbaikan yang dijalankan di pertengahan 1990-an. Renovasi kota di periode ini juga menjadi penanda merebaknya kedai-kedai kopi di pinggiran sungai Huong Giang.

Di kedai-kedai tersebut, seperti juga di kota-kota lain di Vietnam, kopi selalu disuguhkan bersama mangkok kecil yang berisi beberapa potongan es. Sementara gelas kopi ditudungi penyaring berisi bubuk kopi yang sudah direndam air panas. Pelan-pelan air resapan kopi akan menetes di gelas. Setelah air dalam alat penyaring kering, kita dapat menambahkan potongan kecil es, sesuai selera. Saya biasanya menaruh dua potong.

Cara membuat kopi ala Vietnam cukup mudah jika tersedia phin. Langkah pertama adalah dengan meletakkan phin tepat di atas gelas kopi. Kemudian, serbuk kopi yang agak kasar dengan takaran secukupnya, dimasukkan ke dalam ruang penyaring (filter chamber) yang sebelumnya telah ditimpa dengan penekan saringan (filter press). Air panas kemudian dituang hingga hampir penuh, dan menutup saringan. Langkah terakhir, adalah menunggu sekitar lima hingga enam menit hingga air dalam saringan telah meresap dan menetes pindah ke dalam gelas.

Setiap pagi, perempuan itu selalu tidak pernah lupa menyeduh dua gelas robusta Vietnam.

Biasanya, setiap jam enam pagi, berdua duduk bersama di ruang tengah rumah kontrakan dan mencicip kopi. Empat puluh lima menit kemudian, kami telah berpisah di simpang jalan menuju tempat kerja masing-masing. Maklum, aktifitas perkantoran di Vietnam selalu dimulai pukul tujuh tepat. Minum kopi baru akan berlanjutkan ketika malam tiba. Duduk berdekatan, sembari memandangi kelip lampu warna-warni di jembatan Truong Tien.

Saat-saat seperti itu sering membuat saya sering rindu kampung halaman. Bercerita tentang bagaimana kami meneguk robusta murahan di pagi hari sembari membersihkan jaring yang dipakai melaut semalam. Lalu terus-menerus berjanji kepada perempuan ini, bahwa suatu saat nanti kami akan minum kopi berdua lagi di Indonesia. Janji yang seperti biasa, tidak akan pernah bisa saya tepati.(*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *