ECONEWS
Hutan, Hantu, dan Tuhan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx28 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Hutan rusak menjadi rumah hantu, rawat dan jagalah hutan sebagai anugerah Tuhan
JANUARI 1942. Jepang menyerbu dari laut dan udara, lalu menduduki Manado dan menguasai Tanah Minahasa. Kekuatan Jepang yang perkasa melumpuhkan pertahanan Belanda di Manado, Tomohon, Kema dan Tondano. Suasana segera menjadi genting.
Orang-orang Kakaskasen, Tomohon segera mencari tempat perlindungan. Menyingkir ke kebun dan hutan pilihan paling masuk akal.
“Orang-orang Kakaskasen harus menyingkir dari desa pemukiman ke perkebunannya,” tulis Pdt. Prof. Dr. Wilhelmus Absalom Roeroe dalam bukunya Waspadalah dan Kerjakanlan Selamat, terbit tahun 2003.
Roeroe kala itu masih seorang bocah kecil. Usianya baru 9 tahun. Ia lahir pada 16 September 1933 di Kakaskasen. Menjalani masa kanak-kanak dan tumbuh menjadi pemuda, tinggal menetap di situ.
Kata Roeroe, tempat pengungsian ada dua. Di sebelah timur kampung, yaitu di kaki lereng gunung Mahawu, dan di sebelah di sebelah barat di kaki lereng gunung Lokon. Pengungsian berlangsung dari Januari sejak tentara Jepang masuk hingga Februari.
Mengungsi kembali dilakukan oleh orang-orang Kakaskasen ketika tentara Sekutu menghantam tentara-tentara Jepang pada penghujung 1944 hingga awal 1945.
“Keluarga kami menyingkir ke sebelah Timur ke kaki gunung Mahawu di perkebunan bernama ‘Kaliliuran’,” tutur Roeroe.
Waktu menyingkir pertama, Januari – Februari 1942, Roeroe bersama kakek, nenek dan ibunya. Ayahnya waktu itu ditawan oleh tentara Jepang karena dituduh mata-mata Belanda. Ayah Roeroe bekerja di kios buku kantor Sinode GMIM di Tomohon yang dipimpin oleh seorang Belanda.
Roeroe memulai kisah ini untuk menggambarkan kondisi hutan di lereng Mahawu dan Lokon di masa itu.
Di tempat penyingkiran keluarganya di ‘Kaliliuran’ terdapat mata air besar di bawah pohon yang sangat rindang. Dari pondok mereka, jaraknya kira-kira seratus meter ke arah utara. Di mata air itu dibuatkan pancuran besar.
Di situ mereka menimba air untuk keperluan sehar-hari. Setiap sore, sesudah bekerja bertani, mereka juga mandi di situ.
Tempat itu, kata Roeroe dianggap angker oleh warga. Sehingga setiap ke situ selalu tergesa-gesa sampai ada saja barang bawaan yang dilupa. Nama mata air ini rupanya diambil dari kejadian-kejadian lupa barang itu. ‘Kaliliuran’ dari kata Tombulu ‘liniuz-liuz’ yang berarti ‘lupa’.
“Konon kadang-kadang katanya anak (anak) pun atau kawan sesama bisa ketinggalan,” tutur Roeroe.
Tempat itu dianggap angker karena kerindangan pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.
Selain mata air di ‘Kaliliuran’ ada juga mata air lain yang sama besarnya. Ia diberi nama ‘Kasewesahan’ yang artinya ‘tempat yang sering banjir, meluap-luap terus airnya.
Menurut Roeroe, mata air ini melimpah airnya, sama dengan ‘Kaliliuran’ karena pohon-pohon yang rindang membentuk hutan lebat.
Mata air lain di kawasan itu bernama ‘Kolombi’. Ia sekira seratus lima puluh meter sebelah selatan dari pondok mereka. Nama mata air ini diambil dari nama sejenis siput besar yang biasa hidup di persawahan. Mata air ini, seperti dua mata air sebelumnya tak pernah habis-habis airnya, musim kemarau panjang sekalipun.
“Mata air itu pun demikian karena sekali lagi hutan pepohonan di sebelah atas atau timur mata air itu,” kata Roeroe.
Kira-kira empat ratus meter ke selatan dari mata air ‘Kolombi’ terdapat pula mata air yang dari dulu namanya ‘Zano Zemdem’. Arti nama mata air ini sesuai dengan yang ditampakkannya. Suatu mata air yang, “besar dan dalam sehingga membetuk satu kolam (talaga) yang selalu penuh air dan kelihatan agak kehitam-hitaman warnanya.”
Masih ada lagi mata air lain. Kira-kira lima ratus meter di sebelah timur pondok, ada mata air yang mengeluarkan air hangat.
“Perwira-perwira tentara Jepang menjadikannya tempat ‘bersauna’ ‘berkubang’ mereka, tapi kami penduduk sekitarnya dapat mandi di situ sewaktu-waktu apabila kosong,” kisah Roeroe.
Mata-mata air di lereng gunung Mahawu itulah yang menurut Roeroe mengalirkan air ke sawah-sawah di sebelah timur dan barat Kakaskasen. Air bersih bagi penduduk Kakaskasen juga berasal dari situ.
Di masa itu kata Roeroe, hutan Mahawu masih sangat lebat. Berbagai jenis hewan hutan hidup di situ. Pohon-pohon tumbuh subur.
***
Januari 1961, Roeroe yang sudah tamat dari Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan baru diteguhkan sebagai pendeta GMIM pulang ke Tomohon. Ini kali pertama dia pulang ke Tomohon setelah sekian lama di tanah rantau, Jakarta.
Suasana Kakaskasen waktu itu begitu menyedihkan. Perang saudara Permesta baru melewati masa-masa genting.
“Kami melintasi Kakaskasen yang telah punah dan sangat bersemak belukar bertumbuh di antara puing-puing bekas rumah rakyat. Hanya dua gedung yang masih berdiri, Gereja Katolik di sebelah utara dan Pniel GMIM di tengah desa, akan tetapi dindingnya penuh lobang-lobang bekas peluru perang,” kenang Roeroe.
Puncak Gunung Mahawu dan sebagian hutan di lerengnya yang tampak dari Kakaskasen tampak menipis. Menurut Roeroe, kata orang-orang waktu itu, penyebabnya adalah letusan gunung berapi itu yang terjadi di masa perang. Tapi juga, ketika perang Permesta mulai berakhir, penduduk yang akan membangun rumah mengambil kayu-kayu dari pohon-pohon di situ.
“Itulah yang menyebabkan juga hutan di situ mengundul,” katanya.
Di tahun 1970-an hingga 1980-an, ketika pergi mendaki ke Mahawu, kata Roeroe dia tidak lagi menemukan kerimbunan dan kelebatan pepohohan di hutan itu. Sudah sangat berbeda dengan hutan Mahawu yang dia kenal dulu.
Ketika terjadi letusan gunung Lokon yang hebat pada September 1991, kata Roeroe, membuat penduduk di kampung Kakaskasen, Kinilow, dan Tinoor menyingkir ke Pineleng, Manado dan kawasan di sekitar kampung.
Kampung-kampung menjadi kosong. Abu vulkanik dari gunung Lokon menutupi atap dan halaman rumah serta jalan-jalan.
“Menjadikan pemandangan tentang desa-desa itu seperti tempat pemukiman hantu-hantu,” kata Roeroe.
Suatu malam, pulang dari Manado Roeroe memberanikan diri pulang ke rumahnya di Kakaskasen. Waktu itu cahaya bulan bersinar terang. Maka, kata Roeroe, tampaklah, “Pemandangan atas rumput-rumputan, semak-belukar dan pepohonan serta hutan di kiri-kanan jalan raya sampai ke lereng gunung Mahawu dan Lokon yang tertutup abu dan pasir itu, sangat serem, menajubkan sekaligus mengerikan.”
“Sekali lagi sungguh merupakan kediaman PARA HANTU,” katanya.
Begitulah Roeroe menghubungkan antara ‘hutan’ dan ‘hantu’. Hutan hijau yang indah hanya akan menjadi kenangan jika dirusak. Bencana alam seperti letusan gunung sesuatu yang tidak bisa ditolak. Namun, eksploitasi manusia terhadap hutan mestinya dapat dihindari dan dihentikan.
Sebagai pendeta dan teolog, Roeroe lalu menganjurkan, bahwa hendaklah upaya menjaga dan merawat hutan adalah bagian dari cara untuk mewujudkan firman Tuhan.
“Sehingga HUTAN tidak usah karib dengan HANTU, melainkan demi sebentuk keselamatan kita HUTAN adalah anugerah dan berkat TUHAN jua adanya dan oleh sebab itu dipelihara dan dirawat,” tegas Roeroe.
Begitulah Pdt. Prof. Dr. Wilhelmus Absalom Roeroe, seorang pendeta, teolog dan budayawan Minahasa memahami lingkungan hidup secara teologis dan kultural. Maka, judul tulisannya yang saya kutip ini adalah “Tuhan, Hantu, dan Tuhan”. Saya pinjam judul ini untuk juga mengingat ‘Teologi Roeroe’ tentang hutan dan alam. (*)
Editor: Daniel Kaligis