Published
6 years agoon
By
philipsmarx4 Maret 2019
Oleh: Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Manusia adalah pencipta makna, ia lahir sebagai mahluk yang berkehendak bebas, bermartabat, tidak dibatasi pada hukum-hukum di luar dirinya seperti benda alam lain
EMPAT RATUS kaum intelektual di seluruh dunia pernah berseru kepada Amerika agar tidak mencampuri masalah Kuba. Pernyataan yang dikeluarkan di Havana itu, ditandatangani oleh tujuh pemenang hadiah Nobel, termasuk Desmond Tutu dari Afrika Selatan.
Dalam kapasitas akademik apakah kaum intelektual dapat menyerukan keprihatinan dan menunjukkan keberpihakkan terhadap kemanusiaan, yang bahkan melampau batas ruang? Di manakah legitimasi akademik tersebut dalam paradigma keilmuan?
Hal ini dapat dijelaskan melalui bagaimana tradisi keilmuan mengalami proses perdebatan di antara berbagai macam paradigma dan keyakinan ilmu dalam memandang realitas.
Salah satu tujuan pendidikan adalah membebaskan seseorang untuk berpikir kritis, mengembangkan kemampuan analitis melalui berbagai penelitian dan penulisan, dan mampu menjelaskan berbagai persoalan teoritis dan fenomena kemasyarakatan.
Seorang ilmuwan haruslah mampu menjawab persoalan masyarakat sesuai dengan batas keahlian dan etika. Ia harus peduli dan berkeinginan kuat untuk turut serta menciptakan keadilan dan kehidupan yang lebih baik untuk dunia.
Keyakinan seperti ini melahirkan para ilmuwan besar yang tidak hanya diam di menara gading, tetapi juga memenuhi panggilan kemanusiaaanya, melalui hasil pemikirannya, seperti Nawal El Saadawi, Riffat Hassan, Vandana Shiva dan banyak lagi.
Sudah sangat lama pendidikan (Indonesia) terkooptasi oleh kekuasaan kolonialisme, yang diteruskan oleh post kolonialisme. Contohnya, bagaimanakah ilmu sejarah ditulis dan disajikan adalah sangat tergantung pada siapa yang menulis dan untuk kepentingan apa. Dengan demikian, dapat dipersolkan apakah ilmu itu sungguh netral dan obyektif?
Dalam ranah perdebatan paradigma ilmu, kita sangat merasakan betapa kuatnya positivisme dalam ilmu-ilmu sosial termasuk ilmu hukum. Ilmu sosial dikatakan ilmiah bila berpikir dan bekerja persis seperti ilmu alam. Setiap realitas harus dapat dibendakan (reifikasi), diamati, dan diukur. Obyektifitas dan netralitas menjadi prinsip yang sangat dijaga. Ilmuwan dan obyek kajian dianggap dapat berjarak.
Keberlakuan prinsip ini dalam ilmu alam yang obyeknya adalah benda-benda alam, yang hampir tidak berubah sifatnya dalam rentang waktu, dianggap sebuah keniscayaan. Meskipun dalam ilmu alam sendiri, kepastian yang absolute masih dapat dipertanyakan, misalnya karena pengukur suhu tidak hanya diandalkan pada Celcius saja, tetapi juga Farenheit dan Rheamur
Ketika cara berpikir ilmu alam digunakan untuk mengkaji manusia, maka banyak persoalan muncul. Dapatkah manusia disamakan dengan benda-benda alam lainnya? Manusia adalah pencipta makna, ia lahir sebagai mahluk yang berkehendak bebas, bermartabat, tidak dibatasi pada hukum-hukum di luar dirinya seperti benda alam lain.
Manusia hidup dalam ruang interpresi, sehingga konsep diri, realitas dan ilmu adalah juga hasil interpretasi. Dapatkah ilmuwan berjarak dengan subyek kajiannya, yang juga sama-sama manusia?
Namun pengaruh positivisme masih sangat kuat dalam tradisi keilmuan kita, meskipun sudah terbukti kegagalannya dalam menjelaskan hubungan manusia dalam realitas kesehariannya dalam bidang sosial, hukum, politik, bahkan ekonomi. Dalam ilmu hukum khususnya, pengaruh natural law science dan derivasinya, termasuk legal positivisme, khususnya di Indonesia begitu kuatnya.
Meskipun dalam handbook ilmu hukum modern saat ini, selalu dapat dijumpai aliran pemikiran “baru”, seperti socio legal studies, termasuk critical legal theory, bahkan feminist jurisprudence. Namun aliran lain di luar legal positivisme kurang dibaca dan dipelajari secara setara.
Gejala-gejala hukum diyakini dapat dibendakan secara pasti. Dalam draft Rancangan KUHP misalnya banyak ditemukan pasal-pasal hasil dari reifikasi seperti ini. Contohnya dalam bab tindak pidana terhadap agama, akan dikriminalisasi setiap orang yang menghina keagungan Tuhan (Pasal 343), mengejek, menodai atau merendahkan agama (Pasal 344).
Sungguh sangat sukar mengukur keagungan Tuhan yang tanpa batas. Sepadankah dengan ukuran tindak pidana hasil reifikasi sekelompok legal drafter dengan keyakinan keilmuannya, yang hidup dalam ruang, waktu, dan interpretasi yang terbatas?
Manusia memiliki kehendak bebas dalam mengekspresikan keyakinan, kecintaan dan penghormatan terhadap Tuhannya. Dengan demikian, penganut aliran kepercayaan dan agama minoritas yang bersemai dalam masyarakat majemuk justru akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk menganut agama dan kepercayannya masing-masing.
Melalui reifikasi sifat “keallahan” ini, menjadi sangat mungkin bila misalnya ritual warga penganut Islam waktu telu di Lombok atau kepercayaan Tengger, Sunda Wiwitan, Kaharingan dianggap memenuhi kriteria untuk dikriminalisasi, atas desakan kelompok kepentingan tertentu. Proses perumusan hukum dan implementasinya juga berada dalam ruang interpretasi. Hukum tidak bebas nilai, ia ditentukan dan diinterpretasi oleh kekuasaan para aktor perumusnya (wakil partai di parlemen dan konstituennya) dan aparat penegaknya (hakim, polisi, jaksa, pengacara).
Ilmuwan harus mampu membuat ilmu menjadi suatu ibadah. Ia harus memposisikan dirinya terlibat dan mampu menjawab persoalan kemanusiaan. Ia tidak bisa “terlalu diam” demi menjaga “obyektifitas” dan “netralitas” ilmu yang hanyalah fatamorgana. Ilmuwan harus selalu bertanya, berpikir kritis, dan berkehendak kuat untuk mengubah sistem, hukum yang tidak adil, menciptakan hukum baru dan dunia yang layak untuk didiami manusia yang bermartabat.
Tayang ulang tulisan Kompas Desember 2006, mengingat kontroversi kehadiran para akademisi dalam pernyataan sikap politik dalam keadaan genting. (*)
Editor: Daniel Kaligis