CULTURAL
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
Published
6 years agoon
By
philipsmarx25 April 2019
Oleh: Denni Pinontoan
‘Ibuisme negara’ adalah perempuan sebagai embel-embel dan pendamping suami, sebagai prokreator bangsa, sebagai ibu dan pendidik anak, sebagai pengurus rumah tangga dan sebagai anggota masyarakat Indonesia
WAKTU KAMPANYE Pemilu lalu, Calon Wakil Presiden (Cawapres) Sandiaga Uno paling suka menyapa perempuan-perempuan Indonesia yang katanya banyak dia temui dengan sebutan ‘emak-emak’. Sandiaga tampaknya berusaha mencitrakan diri sebagai yang paling mengerti apa yang dipikirkan dan diharapkan ibu-ibu se-Indonesia
“Dari semua partai, yang belum ada partai emak-emak, kami ingin berjuang untuk partai emak-emak, kami ingin harga-harga terjangkau, harga pangan stabil, dan kami ingin percepatan pembangunan dengan yang bersih,” kata Sandi usai menyerahkan berkas pencalonannya sebagai cawapres bersama capres Prabowo Subianto ke KPU, Jumat, 10 Agustus 2018 seperti dikutip dari Kompas.com.
Seturut dengan cawapresnya, capres Prabowo juga senang menyapa perempuan-perempuan Indonesia dengan ‘emak-emak’ itu. Pada saat berbicara dalam acara deklarasi dukungan Komunitas Rabu Biru Indonesia di kediaman Prabowo, Desa Bojong Koneng, Bukit Hambalang, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/2/2019) lalu, Prabowo mengatakan, jika emak-emak sudah turun ke gelanggang politik, maka itu akan jadi gerakan revolusioner.
“Karena emak-emak ini memang memiliki kesadaran dan kehawatiran terhadap apa yang terjadi pada bangsa kita yang menyangkut kepada anak cucu kita. Emak-emak merasakan ketidakadilan, merasakan ekonomi sulit,” ujar Prabowo.
Jokowi, rival mereka dalam Pilpres 2019 agaknya tak mau ketinggalan. Ia lalu membuat sapaan lain terhadap perempuan-perempuan Indonesia itu. Jokowi menyebut mereka sebagai “Ibu bangsa”.
Saat menghadiri acara Temu Nasional Kongres Wanita Indonesia ke-90 dan Sidang Umum International Council of Woman (ICW) ke-35 di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta 14 September 2018, Jokowi mengatakan, sebagai ibu bangsa, perempuan mempunyai peran penting dalam mendidik para penerus masa depan bangsa.
Dia lalu menyebut prestasi perempuan-perempuan Indonesia. Di dunia animator film, Indonesia punya Ibu Rini Sugianto, lalu di ajang Asian Games 2018, dari 31 medali emas yang Indonesia peroleh, 12 medali disumbangkan oleh atlet-atlet wanita. Pada waktu acara pembukaan, kata Jokowi, yang menyalakan api di puncak adalah atlet wanita, Susi Susanti.
Katanya lagi, Indonesia memiliki perempuan-perempuan tangguh yang turut berjuang untuk kemerdekaan, mulai dari RA Kartini, Dewi Sartika, hingga Martha Christina Tiahahu.
“Inilah yang saya maksudkan sebagai ibu bangsa. Yang mendidik anak-anak kita, sebagai penerus masa depan bangsa, yang memperbaiki mentalitas bangsa, yang menjaga moral keluarga dan masyarakat, yang menjaga alam untuk anak cucunya, yang menggerakkan ekonomi keluarga dan masyarakat,” kata Jokowi seperti dirilis Kompas.com, 14 September 2018.
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga menyatakan kesepakatannya dengan Ketua Kongres Wanita Indonesia Giwo Rubianto Wiyogo yang menolak perempuan Indonesia disebut sebagai “emak-emak”. Sebab, Perempuan Indonesia sudah mempunyai konsep ibu bangsa sejak tahun 1935.
“Jadi saya setuju tadi Ibu Giwo menyampaikan istilah emak-emak. Ibu bangsa,” tegasnya.
“Saya menyampaikan, jadilah ibu bangsa wahai perempuan Indonesia. Saya ulangi, jadilah Ibu bangsa wahai perempuan Indonesia,” tandasnya.
Perempuan memang menjadi salah satu isu kampanye dua pasangan capres-cawapres yang bertarung dalam Pilpres tahun 2019 ini. Baik visi-misi pasangan Prabowo-Sandiaga, maupun visi-misi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, keduanya memberi perhatian terhadap masalah kesehatan dan kekerasan terhadap perempuan. Menariknya, keempat tokoh politik ini semuanya adalah laki-laki.
Tapi wacana ‘emak-emak’ atau isu perempuan pada umumnya dalam Pemilu kali mendapat tanggapan kritis dari Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati. Menurut Mike, hal itu sama dengan mendegradasi peran perempuan.
Mike mengatakan, seharusnya isu yang diangkat para kandidat bisa lebih luas. Sebab menurutnya, isu perempuan tidak hanya berkutat pada urusan rumah tangga, kenaikan harga bahan pokok dan seputar urusan dapur saja.
“Istilah atau jargon emak-emak yang diangkat dalam kampanye dalam pandangan kami justru malah mengecilkan makna dari perempuan itu sendiri,” ujar Mike saat diskusi di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat seperti dirilis cnnindoensia.com, Rabu, 12 Desember 2018.
Menurut Mike, salah satu isu yang mestinya menjadi perhatian adalah perlindungan terhadap perempuan dalam konteks pekerja migran. Hingga saat ini banyak tenaga kerja wanita di luar negeri yang mengalami nasib buruk dengan perlindungan yang terbilang minim, katanya.
Selain itu, terkait partisipasi perempuan dalam politik. Jumlah perempuan yang terlibat dan menepati posisi strategis di lembaga atau instansi, termasuk di partai politik, sangat jauh dibandingkan dengan pria.
Perempuan, Negara dan Kekuasaan
Perempuan selalu menjadi isu penting dalam politik Indonesia. Tahun 1974, Pemerintahan Soeharto membentuk Dharma Wanita. Julia Suryakusuma dalam artikelnya berjudul “Is state ibuism still relevant?” termuat pada Inside Indonesia.org edisi 1 Juli 2012 mengatakan, ideologi gender yang dominan di masa orde baru mendefinisikan perempuan sebagai istri dan ibu. Konstruksi gender tersebut dapat dilihat pada Dharma Wanita.
Dharma Wanita berdiri pada 5 Agustus 1974. Organisasi ini dibuat oleh pemerintah orde baru bagi para istri Pegawai Republik Indonesia. Pendiri organisasi ini adalah Ketua Dewan Pembina KORPRI saat itu, Amir Machmud, atas prakarsa Ibu Tien Soeharto sebagai Ibu Negara. Dharma Wanita beranggotakan para istri Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI yang dikaryakan, dan pegawai BUMN.
Tentang apa yang menjadi maksud pemerintah Orde Baru terhadap organisasi Dharma Wanita di masa awalnya, itu terungkap pada pidato Presiden Soeharto pada peringatan hari ulang tahun organisasi ini ke-V pada 6 Agustus 1979.
“Saya minta bantuan ibu-ibu semua, terutama isteri pejabat-pejabat tinggi pusat maupun di daerah yang menjadi anggota Dharma Wanita ini, untuk secara sadar melaksanakan kesederhanaan hidup sehari-hari sesuai dengan kemampuan yang wajar. Sebagai istri-istri pegawai Republik Indonesia yang dapat mendorong suami untuk melakukan hal-hal di luar kemampuannya, apalagi dengan jalan yang tidak halal,” kata Soeharto.
Bagaimana kedudukan dan fungsi perempuan atau istri-istri menurut Soeharto? “Dalam hubungan ini salah satu tugas utama dari para Ibu adalah mengenai pendidikan anak-anak kita, tunas-tunas bangsa kita di masa datang, yang tidak hanya akan bermanfaat bagi kesejahteraan keluarga yang bersangkutan, tetapi juga kesejahteraan bangsa secara keseluruhan,” tegas Soeharto.
Bagi Soeharto, peran perempuan atau khususnya istri-istri adalah mendidik anak di rumah. Mereka adalah pendamping suami. Cara hidupnya harus sederhana.
Wacana perempuan ideal adanya di Dharma Wanita itu. Negara mengkonsruksi perempuan ideal untuk maksud berkuasa dan pembangunan. Politik kontrol dijalankan demi stabilitas politik yang penting untuk mencapai maksud rezim itu.
“Setengah dari populasi, perempuan – termasuk perempuan miskin – didepolitisasi dan dimobilisasi untuk mendukung tujuan developmentalis Orde Baru melalui serangkaian lembaga negara yang sangat intervensionis,” tulis Julia Suryakusuma.
Istilah yang disebut dengan ideologi ibuisme konstruksi negara orde baru yang antara lain dipresentasi oleh kehadiran Dharma Wanita menunjuk pada rekonstruksi citra istri-istri pejabat sebagai perempuan ideal Indonesia.
Meminjam istilah “Ibuisme” yang diperkenalkan oleh Madelon Djayadiningrat, dalam bukunya Ibuisme Negara & State Ibuism (diterbitkan Komunitas Bambu, 2011) Julia Suryakusuma mengatakan, ibuisme negara adalah “Perempuan sebagai embel-embel dan pendamping suami, sebagai prokreator bangsa, sebagai ibu dan pendidik anak, sebagai pengurus rumah tangga dan sebagai anggota masyarakat Indonesia.”
Indonesia di masa orde baru Soeharto, kata Julia Suryakusuma adalah negara yang korup dan opresif karenanya mendominasi semua aspek kehidupan – termasuk konstruksi sosial kewanitaan.
Itu di masa orde baru, masa di mana Indonesia dipimpin oleh rezim yang ototiter patriarkhi. Bagaimana dengan Indonesia pasca orde baru? Julia Suryakusuma mengatakan, memang wacana dan lembaga publik di Indonesia telah berubah secara signifikan sejak menyelesaikan penelitiannya itu tahun 1996.
“Tapi jangan tertipu. Mekanisme dan hasil dari kontrol pemerintah masih sangat mirip. ‘Gender’ pada dasarnya masih merupakan kekuatan penggerak untuk intervensi terprogram dan kontrol sosial (atau pengabaian, seperti dalam kasus pekerja rumah tangga migran). Terlepas dari semua yang telah terjadi, perempuan masih merupakan objek yang dikonstruksi secara sosial agar sesuai dengan tatanan hierarkis dan patriarki tertentu,” kata Julia Suryakusuma menjelaskan.
Yang berubah, kata Julia Suryakusuma adalah peran negara. Di era reformasi dan demokratisasi, negara tidak lagi memonopoli kehidupan publik. Itu berdampak pada konstruksi sosial kewanitaan tidak lagi sepenuhnya dikuasai negara.
“Sekarang terbuka untuk berbagai interpretasi,” katanya.
Julia Suryakusuma lalu memberi beberapa contoh perempuan dalam wacana dan penerapan syariah Islam. Di dalamnya mencakup wacana pornografi yang seolah hanya menyasar perempuan.
“Konstruksi Islam yang baru tentang perempuan dengan demikian masih merupakan bentuk ‘ibuisme negara’,” tandas Julia Suryakusuma.
Pada dinamika politik beberapa tahun terakhir ini, kita memang melihat isu agama dimainkan bersama dengan isu gender dan orientasi seksual. Isu-isu itu dibicarakan dalam upaya negara memantapkan posisinya yang mengambil alasan ‘radikalisme’.
Isu LGBT dieksploitasi habis-habisan, tapi intinya ditolak oleh pemerintah, yang semakin menunjukkan bahwa tidak banyak hal yang berubah dalam memahami relasi perempuan dan laki-laki di era pasca orde baru ini. Laki-laki diperlawankan dengan perempuan untuk antara lain mengatakan tidak ada bentuk lain, selain dua jenis kelamin yang binari itu. Jadilah, homoseksual diserang habis-habisan atas nama agama, meski jelas ia adalah juga kepentingan negara.
Lalu, pada Pilpres tahun 2019 ini, perempuan Indonesia dikonstruksi untuk tujuan politik menjadi ‘emak-emak’ ataupun ‘ibu bangsa’. Secara faktual perempuan penting dalam hal meraup suara untuk Pemilu karena jumlahnya yang signifikan, tapi ia tetap dianggap sebagai pihak yang paling berurusan dengan ‘dapur’. Seolah, perempuan urusannya dapur saja, lalu bagaimana dapur menjadi penting itu urusan laki-laki, merekalah para politisi, para capres-cawapres.
Padahal, yang disebut ‘emak-emak’ ataupun ‘ibu bangsa’ untuk kampanye politik, mereka itu adalah perempuan-perempuan Indonesia yang tangguh. Mereka berjuang hidup di pasar-pasar, berjualan di warung, bekerja di ladang, sebagai buruh di pabrik-pabrik atau di tempat kerja mana saja. Para perempuan inilah yang juga telah melahirkan anak-anak, menyusui, lalu membesarkannya. Peran-peran ganda yang harus dipikul sebagai akibat dari ketidakadilan ekonomi, sosial, politik secara struktural.
Di saat para elit politik sedang menyusun strategi bagaimana mempertahankan atau merebut kekuasaan, perempuan-perempuan itulah yang mesti bangun pagi-pagi, bekerja sepanjang hari dan baru tidur tengah malam demi kehidupan keluarga. Merekalah yang setiap kampanye Pemilu disapa dengan macam-macam sebutan yang agak lebay. (*)
Editor: Daniel Kaligis