Published
6 years agoon
By
philipsmarx26 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
kelung.com – Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan pada Kamis, 24 Januari 2019, International Crisis Group (ICG) mendesak Cina agar menekan Tatmadaw (Tentara Myanmar) untuk memperpanjang gencatan senjata sepihak di Negara Bagian Rakhine untuk mengatasi bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung antara pasukan pemerintah dan Tentara Arakan (Arakan Army).
Laporan berjudul “A New Dimesion of Violence in Myanmar’s Rakhine State”, terdiri dari lima bagian yang merinci pemberontakan yang dilakukan oleh Tentara Arakan, penangkapan sewenang-wenang politisi Rakhine terkemuka, pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap pengunjuk rasa di Mrauk-U tahun lalu dan konflik politik antara partai politik Arakan dan Liga Nasional untuk Demokrasi (National League of Democracy) yang berkuasa, serta mendorong kedua belah pihak untuk menahan diri dari serangan lebih lanjut di wilayah tersebut.
Terkait hal tersebut, analis urusan etnis yang berbasis di Yangon, U Maung Maung Soe mengatakan kepada The Irrawady bahwa Cina telah memainkan peran utama dalam memfasilitasi dialog perdamaian untuk kelompok Aliansi Utara (Northern Alliance) selama beberapa tahun terakhir. Maung menambahkan bahwa baru-baru ini seorang utusan Cina berhasil memfasilitasi perdamaian di Rakhine dan di Laiza, Kachin. Laiza adalah markas besar Tentara Kemerdekaan Kachin (Kachin Independent Army) dan Tentara Arakan.
Menurut Maung, upaya mendorong perpanjangan gencatan senjata di Rakhine harus terlebih dahulu melibatkan negosiasi antara para aktor yang terlibat konflik.
“Tanpa melakukan negosiasi di antara mereka, sungguh sulit untuk membahas kemungkinan,” kata Maung.
Sebagai bagian dari solusi, ICG menyarankan pemerintah Myanmar untuk memulai dialog dengan perwakilan etnis Rakhine mengenai masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial. Sekaligus merekomendasikan pihak berwenang agar mempertimbangkan pembebasan Aye Maung dan tahanan politik etnis Rakhine lainnya.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa dialog politik antara pemerintah pusat dan pemangku kepentingan Arakan harus mencakup proses pemulangan pengungsi Rohingya yang telah mengungsi selama lebih dari satu tahun di kamp-kamp Bangladesh, mendiskusikan pembangunan kembali komunitas Rohingya, pembangunan ekonomi dan pembagian kekuasaan antara pusat dan negara bagian.
ICG juga mengatakan bahwa sikap NLD yang menyebut Tentara Arakan sebagai “teroris” hanya “memperburuk ketegangan” antara aktor politik Arakan dan Myanmar di tingkat negara bagian dan nasional.
Pemimpin Tentara Arakan, Myat Naing, sebelumnya mengatakan kepada The Irrawaddy bahwa serbuan terhadap empat pos penjagaan Polisi Penjaga Perbatasan di Rakhine utara adalah keharusan, karena polisi membantu militer menerapkan strategi “empat blokade”, yang memotong pasokan makanan, informasi dan melakukan perjalanan di zona konflik, serta melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap pendukung Tentara Arakan dan aktivis pemuda Arakan.
Laporan ICG mengatakan, “Serangan 4 Januari dan respons pemerintah telah mengubah dinamika konflik bersenjata di Negara Bagian Rakhine dengan mengaktifkan dukungan laten untuk Tentara Arakan dan mendorong dukungan tersebut menjadi sikap terbuka.”
Dalam upaya nyata untuk mendiskreditkan Tentara Arakan di antara etnis Rakhine, U Zaw Htay membuat pernyataan menghasut dengan menuduh kelompok itu memiliki hubungan dengan Pasukan Pembebasan Arakan Rohingya (Arakan Rohingya Salvation Army), dan mengoperasikan dua pangkalan di Bangladesh.
ICG meramalkan bahwa Tatmadaw akan memusatkan perhatiannya pada warga sipil, dengan melakukan penangkapan besar-besaran sebagai upaya untuk melemahkan dukungan terhadap Tentara Arakan.
Terlepas dari berbagai saran ICG tentang cara menemukan solusi damai di Rakhine, konflik bersenjata tampaknya akan muncul di daerah-daerah yang sedang diperebutkan antara Tatmadaw dan Tentara Arakan.(*)
Editor: Gratia Karundeng