ESTORIE
Imlek di Kampung Cina Manado Tahun 1885
Published
6 years agoon
By
philipsmarx04 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Sidney John Hickson, ahli zoologi dari Inggris terpesona dengan perayaan Imlek di kampung Cina Manado pada Februari 1885
MANADO, suatu hari di bulan Februari tahun 1885.
Seorang ilmuwan asal Inggris singgah sebentar di Manado sebelum melanjutkan perjalanannya ke pegunungan Minahasa. Ia Sidney John Hickson, ahli zoologi Inggris.
Di bulan Februari ini, ia datang bertepatan ada sesuatu yang jarang dia saksikan secara dekat. Perayaan Tahun Baru atau Imlek di Kampung Cina Manado.
Hickson pergi melihat keramaian itu. Orang-orang Manado banyak yang berhenti sejenak dari pekerjaannya guna menyaksikan keramaian itu. Mereka berkumpul di kampung tua ini. Pemukiman orang-orang Tionghoa.
Di rumah-rumah, meja berisi sajian sampaye, biskuit, dan teh. Orang-orang sibuk mengucapkan selamat tahun baru. Banyak para lelakinya berambut kuncir.
Di salah satu ujung Kampung Cina berdiri sebuah klenteng. Bangunan kayu kecil yang indah dengan dekorasi yang mewah. Kain sutra halus meliuk-liuk diterpa angin. Ukiran kayu yang unik, lukisan dan hiasan emas menampilkan simbol-simbol Cina. Ini tempat suci para dewa. Dewa Toa Pe Kong menempati tempat yang utama. Dewi Kwan Im dan yang satu lagi dewa Li-Hong.
Di meja terdapat makanan dan minuman yang dipersembahkan kepada para dewa. Cawan kecil, mangkuk berisi nasi dan cabai, babi dan durian, dan tiga kecil gelas berisi teh.
Perayaan Imlek ala orang-orang Tionghoan di Manado sedang berlangsung.
Hickson berjalan semakin ke dalam di kampung itu. Sebuah pemukiman yang dibangun sejak sekitar tahun 1703 bersamaan dengan pembangunan kembali benteng Amsterdam. Orang-orang Tionghoa ini didatangkan oleh VOC untuk melakukan pembelian beras. Lainnya sebagai tukang untuk membangun benteng. Mulai sejak itu orang-orang Tionghoa sudah menetap hingga kemudian membentuk suatu komunitas pemukiman di dekat benteng.
Persiapan untuk perayaan di klenteng dibuat sebaik mungkin. Hickson mengatakan, mereka yang datang meminta berkat dan umur panjang serta kesejahteraan kepada para dewa.
Setelah matahari terbenam, semakin banyak orang yang berkerumun di situ. Jalan dan lorong-lorong kampung Cina ini dipenuhi dengan hiasan ular, lentera, dan lain-lain. Prosesi ritual akan dimulai.
Pemimpin ritual mendekati altar utama. Ia menggerakkan kedua tangannya yang terulur pertama ke kanan, lalu ke kiri, dan terakhir ke dahinya, lalu diakhiri dengan memberi hormat kepada patung dewa Tao Pi Kong
Ketika patung dewa Tao Pi Kong disimpan dan dibawa dengan aman oleh pembawanya, dua dewa lainnya juga sama-sama pindah, dan kemudian prosesi dimulai.
Inilah ritual orang-orang Tionghoa beragama Konghucu di tengah masyarakat yang semakin dominan dengan agama Kristen, di dekatnya ada Kampung Arab, dan sudah semakin banyak orang-orang Minahasa dari pegunungan yang turun gunung berinteraksi dengan orang-orang ini. Tapi, orang-orang Tionghoa, terutama sejumlah pengusahanya penting bagi pemerintah Belanda.
Bersama orang-orang Arab, beberapa pengusaha Tionghoa menjadi perantara pemerintah kolonial dalam hal perdagangan dengan orang-orang Minahasa. Pengusaha lain yang mendapat kepercayaan pemerintah adalah India dan Jepang.
“Kehadiran warga komunitas Tionghoa di wilayah keresidenan Manado terlacak semenjak pembangunan Benteng Amsterdam di Pelabuhan Manado. Beberapa di antara mereka kemudian menetap setelah dipercaya oleh pejabat pemerintah Hindia Belanda menjadi pedagang perantara dengan pribumi,” ungkap Hendri Gunawan.
Tahun 1809 terdapat kira-kira 30 kepala keluarga Cina yang kaya di Manado. Pieter Bleeker dalam Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel, terbit 1854 mencatat, di distrik Manado, terutama di pusat kota pada tahun 1854 terdapat 630 orang Tionghoa. Di pusat kota distrik Amurang terdapat 37 orang. Sekitar tahun 1870-an, jumlah mereka telah mencapai 1.600-an jiwa.
F.E.W. Parengkuan dalam Sejarah Kota Manado 1945–1979 menulis, permukiman kampung Cina terletak di sebelah Timur benteng, berseberangan dengan lokasi permukiman orang Eropa. Di sebelah utara kampung Cina adalah Walak Manado. Sebelahnya timurnya Kampung Arab. Bagian selatannya Permukiman Eropa. Dan di baratnya adalah Benteng Fort Amsterdam. Karena perannya yang penting dalam perdagangan, pemerintah kolonial memasukan mereka dalam golongan masyarakat Timur Asing atau Vreemde Oosterlingen.
Hickson lalu mendengar sesuatu yang sedang terjadi di luar klenteng. Ia kemudian keluar dan melihat tampak orang-orang membawa obor dan kemudian membunyikan petasan. Yang lainnya memukul drum yang membuat suasana menjadi makin ramai.
Setelah itu menyusul tandu dipikul beberapa orang yang dihiasi dedaunan hijau kikuk dan bunga-bunga. Di atasnya sekitar empat anak Cina berpakaian bagus, duduk di atas kursi yang hampir tertutup dedauanan itu.
“Kemudian datanglah seekor naga yang luar biasa, panjangnya sekira lima puluh atau enam puluh kaki, dengan mulut menganga, dipersenjatai dengan gigi yang menakutkan dan mata merah yang besar menembakkan api, cukup untuk memberi anak-anak mimpi buruk selama berminggu-minggu,” tulis Sidney dalam A Naturalis North Celebes. Buku laporan perjalanannya ini terbit tahun 1889.
Lalu datang seorang laki-laki di atas tandu yang menyerupai panggung berjalan, telanjang ke atas pinggang, dengan kuncir yang diikat di kepalanya. Laki-laki itu berkali-kali menebas punggungnya dengan pedang. Garis-garis panjang berwarna merah melambangkan luka yang dia buat sendiri di tubuhnya. Ini bagian dari ritual agama orang-orang Tionghoa.
Setelah itu menyusul Tao Pi Kong dan yang lainnya. Tampak hiasan berwarna-warni, bendera, payung, dan pernak-pernik lain yang menampilkan kemegahan, martabat, dan keriuhan prosesi.
Saat parade panjang perlahan berbaris melalui jalan-jalan, orang-orang Tionghoa, dan banyak lagi orang lain ikut menyaksikan secara antusias. Rumah-rumah milik orang-orang Tionghoa dihiasi dengan lampion berwarna merah. Ada yang menyalakan kembang api. Bau mesiu menambah kekhasan acara pesta itu. Asap terbang ke udara memberi nuansa unik. Hiruk-pikuk orang dan kembang api, senjata, drum, dan bunyi lonceng yang kuat. Meski begitu tidak ada kekacauan. Inilah sebuah pertunjukkan yang membawa kesenangan bagi penonton.
Orang-orang Tionghoa menempati posisi khusus di masa kolonial, terutama dalam perdagangan. Tidak heran jika perayaan imlek meriah dengan dukungan penuh pemerintah kolonial.
Manado dengan bentengnya yang strategis, dalam hal perdagangan memiliki jangkaun sangatlah luas. F.R. Mawikere dan Meity Wowor dalam Kajian Historis Pemukiman di Sekitar Pantai Manado (2014), dari pusat-pusat perdagangan yang menyebar di lintasan laut Utara Sulawesi dan Teluk Tomini, arus barang dan modal untuk wilayah lebih luas dikendalikan dari Manado yang berpusat di benteng Nieuw Amsterdam.
“Perputaran ekonomis yang demikian besar telah meningkatkan arus masuk penduduk secara parelel. Buruh dan tukang yang tidak sedikit didatangkan kolonialis Belanda memilih tidak kembali. Malah Belanda sendiri telah menciptakan iklim berusaha yang telah mengundang lebih banyak pedagang Cina,” ungkap Mawikere dan Wowor.
Tentang letak pemukiman orang-orang Cina yang strategis menurut Mawikere dan Wowor tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial dalam mengendalikan perekenomian yang berpusat di benteng. “Secara bertahap ditentukan bahwa pemukiman untuk setiap golongan atau kelompok penduduk yang sama disatukan dalam satu kompleks, kampung atau negorij.”
Masing-masing negeri dipimpin oleh seorang kepala yang disebut hukum tua atau wijkmeester. Para kepala ini ditunjuk langsung oleh pemerintah. Menurut Mawikere dan Wowor, hingga perempat terakhir abad ke-19 telah berdiri Kampung Belanda, Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Ternate, Kampung Islam atau biasa disebut Letter A, lalu Kampung Sindulang.
Menyusul terbentuk Kampung Ketang, Kampung Borgo, Kampung Tondano, Kampung Remboken, Kampung Kakas, Kampung Tomohon, Kampung Langowan, Kampung Tombariri, dan Kampung Sonder. Di samping itu, ada pula dua wilayah pengembangan lain, Tikala di Timur dan Titiwungen di Selatan.
“Secara perlahan lokasi sekitar benteng telah terus tumbuh mengiringi kemajuan yang mengarahkannya menjadi sentra perdagangan bagi daerah-daerah sekitarnya,” jelas keduanya.
Kampung Cina yang bersebelahan dengan kampung Arab adalah pusat perdagangan di masa itu. Sebuah pasar besar juga berdiri di antaranya.
Sehari setelah Tahun Baru Imlek ada perayaan lain di Manado. Perayaan menghormati hari ulang tahun Raja William. Nah, perayaan ini agak identik dengan orang Minahasa Kristen yang juga mendapat tempat khusus bagi pemerintah kolonial, terutama dalam hal keagamaan.
Lihatlah, yang berparade dan yang melakukan tembakan itu adalah para schuttery. Mereka semacam pasukan sipil yang terdiri dari kalangan khusus orang-orang Minahasa. Biasanya mereka diambil dari keluarga-keluarga yang leluhur mereka adalah tentara yang bertugas di Jawa atau daerah lain.
Pada waktu terjadi Perang Jawa 1825 sampai 1830, Belanda merekrut pemuda-pemuda Minahasa terbaik menjadi tentaranya. Mereka telah berperang dengan gagah berani mengalahkan kelompok-kelompok yang oleh pemerintah Belanda sebut ‘pemberontak’. Keturunan mereka rupanya telah mendapat tempat khusus dalam hal itu, tapi juga hal yang lain karena penerimaan leluhur mereka terhadap para zendeling Belanda yang memperkenalkan agama Kristen. Namun begitu, orang-orang Minahasa kebanyakan di pegunungan tersiksa oleh tanam paksa yang dimulai sejak tahun 1822.
Malam itu sebuah pesta dansa akbar yang dihadiri sekitar seratus orang digelar. Tempatnya di kompleks keresidenan. Para petugas schuttery yang tidak sedang bertugas hadir bersama istri-istri dan anak mereka. Mereka yang berdansa sebagian besar adalah orang-orang Eropa.
Tapi juga, kata Hickson, tampak perempuan-perempuan Minahasa atau burgers lincah berdansa. Para wanita berpakaian kabaya. Rambut mereka hitam lurus, indah dan anggun. Sendal yang dihiasi manik-manik berwarna dan sulaman, menampilkan sebuah keindahan yang eksotis.
“Saya kira, itu akan mengejutkan wanita-wanita Inggris kami. Bisakah mereka berkunjung ke salah satu pesta di Manado ini, dan melihat anggunnya di mana gadis-gadis Melayu menari,” gumam Hickson.
Di salah satu ujung tenda ada sebuah mimbar dengan kursi untuk para tamu utama, dan di dinding ujung ruangan dansa tampaklah keagungan Raja Belanda.
Pieter Bleeker, ilmuwan dari Belanda yang datang ke Manado tahun 1850-an, lebih dulu dari Hickson, juga menyaksikan keramaian yang serupa di Manado. Keramaian itu untuk menyambut kedatangan gubernur jenderal dari Maluku. Pemerintah Belanda mengumpulkan banyak orang untuk memeriahkan acara penyambutan. Masyarakat berkumpul dekat pelabuhan yang letaknya tidak jauh dari benteng dan kantor keresidenan. Dari pelabuhan sampai di rumah kediamana residen jalan penuh hiasan dan bendera.
“Garnisun, milisi, orang-orang Cina, dan kabesaran berjejer di pinggiran jalan,” tulis Bleeker.
Setelah gubernur jenderal berpidato, berlangsulah sebuah pertunjukkan. Pesta. Para penari kawasaran menampilkan atraksinya.
Hickson sangat terkesima dengan perayaan imlek yang dia saksikan di bulan Februari tahun 1885 itu. Sebuah keramaian, pesta dan ritual keagamaan yang melibatkan banyak orang tapi dapat berjalan tanpa gangguan atau keributan. Orang-orang banyak itu adalah muslim, Kristen, dan orang Minahasa yang belum memeluk agama Kristen atau Islam.
Hickson mengatakan, perayaan Imlek tersebut adalah contoh yang menakjubkan keberhasilam sistem pemerintahan Belanda mengatur ketertiban sebuah keramaian. Keramaian yang sesungguhnya ia adalah ekspresi keagamaan, yaitu Konghucu.
“Di mana di dunia yang beradab, bisa ditanyakan, bisakah sebuah komunitas kecil berpawai di jalan-jalan pada perayaan khusus mereka tanpa penolakan dari kelompok-kelompok lain yang memiliki keyakinan yang berbeda?” Tanya Hickson serius.
Pada beberapa hari setelah pesta-pesta itu, Residen mengundang Hickson untuk menghadiri suatu ritual agama Minahasa di Lotta. Ritual ini diadakan untuk menyelesaikan suatu perselisihan, juga untuk mengikrarkan sumpah perjanjian antara pihak yang bertikai. Ritual dipimpin oleh seorang Walian atau iman agama Minahasa. Ritual ini dihadiri oleh pihak pemerintah Belanda, terutama Residen dan yang lainnya.
Di sini Hickson menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Di Manado, di Minahasa. (*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan