Published
5 years agoon
By
philipsmarx9 November 2019
Oleh: Gratia Karundeng
kelung.com – Hari ini, Sabtu, 9 November 2019 menjadi hari bersejarah dalam hubungan antara Indonesia dan Selandia Baru. Hal ini ditandai oleh penyerahan rumah adat tradisional Maori yang disebut Marae dari masyarakat adat Maori di Hawkesbay kepada masyarakat Indonesia sebagai manifestasi persaudaraan yang sangat dalam. Sebagai catatan “penyerahan” seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya kepada masyarakat negara sahabat lainnya.
Atas nama Presiden dan rakyat Indonesia, Duta Besar RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya menyampaikan terima kasih dan penghargaan tinggi kepada masyarakat Maori di Hawkesbay atas kepercayaan ini. Penyerahan Rumah Adat adalah bentuk tertinggi dari rasa persaudaraan masyarakat Maori dengan bangsa lain.
Tantowi dan Tim KBRI Wellington selama ini memang giat menggalang persaudaraan dengan masyarakat Maori dan masyarakat Pasifik lainnya melalui kegiatan-kegiatan bernuansa budaya dan ekonomi. Sebut saja antara lain konser persaudaraan The Symphony of Friendship yang mengangkat persamaan musik Indonesia terutama yang berada di wilayah bagian timur dengan musik Maori, pameran dagang, investasi dan pariwisata Pacific Exposition bulan Juli lalu. Iven-iven seperti ini tergolong baru dan belum pernah dilaksanakan di Pasifik sebelumnya.
Marae sendiri secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai tempat pertemuan, yang merupakan titik fokus dari komunitas Māori di seluruh Selandia Baru. Marae adalah kompleks berpagar di dalam bangunan berukir dan tanah milik Iwi (suku) tertentu, Hapū (sub suku) atau Whānau (keluarga). Orang-orang Māori melihat Marae mereka sebagai Tūrangawaewae, yang dapat diartikan sebagai tempat mereka berdiri dan berada.
Marae umumnya menjadi tempat yang digunakan untuk pertemuan, perayaan, pemakaman, lokakarya pendidikan dan acara kesukuan penting lainnya. Sebuah Marae menggabungkan sebuah rumah pertemuan berukir yang disebut Wharenui dengan ruang terbuka di depan atau yang disebut Marae ātea, ruang makan dan area memasak, dan toilet dan kamar mandi.
Bangunan terpenting dalam Marae adalah Te Wharenui atau rumah pertemuan berukir. Wharenui menyerupai tubuh manusia dan dibagi-bagi ke dalam struktur anatomi yang direfleksikan dan biasanya mewakili leluhur suku tertentu.
Tekoteko atau figur berukir yang berada di bagian atas atap di depan rumah melambangkan kepala, dan Maihi (papan tongkang depan) adalah lengan yang diulurkan untuk menyambut pengunjung. Sementara bagian yang disebut dengan Amo adalah papan pendek di bagian depan Wharenui yang mewakili kaki, sedangkan Tahuhu atau tiang bubungan, sebuah balok besar yang membentang di sepanjang atap, mewakili tulang belakang. The Heke atau kasau, mencapai dari Tahuhu ke Poupou atau ukiran di sekitar dinding, yang merepresentasikan tulang rusuk.
Banyak Wharenui mengandung ukiran dan panel rumit yang merujuk pada Whakapapa atau silsilah suku, dan kisah-kisah dan legenda Māori. Juga umum untuk melihat foto orang-orang terkasih yang telah meninggal ditempatkan di dalam. Untuk masuk ke Wharenui, setiap pengunjung diwajibkan untuk melepas sepatu Anda sebelum masuk, tidak boleh mengonsumsi makanan atau minuman saat berada di dalam, dan selalu meminta izin sebelum mengambil foto.
Orang-orang yang termasuk dalam Marae tidak tinggal di sana secara penuh waktu, tetapi akan datang dan tinggal selama acara-acara penting. Kehidupan Marae sangat komunal di mana semua orang tidur di kamar yang sama. Tikar-tikar biasanya akan digelar di gedung pertemuan utama. Aktivitas makan selalu dilakukan bersama di ruang makan. Di dalam Marae, setiap orang dewasa akan mendapatkan tugas-tugas yang khusus.
Marae juga merupakan tempat di mana generasi yang lebih muda belajar bersama dengan sesama, juga ruang untuk mendiskusikan dan memperdebatkan masalah-masalah kesukuan.
Seorang pengunjung yang tidak pernah menginjakkan kaki di Marae disebuah dengan Waewae Tapu atau kaki suci. Sebelum melangkah masuk ke dalam Maraen, mereka harus mengambil bagian dalam upacara penyambutan formal, yang disebut Pōwhiri, untuk menghapus Tapu (kesucian) dan menjadi satu dengan orang-orang dari Marae. (*)
Editor: Andre Barahamin
Foto: The Culture Trip
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa