OPINI
Intoleransi Kepada Penghayat Kepercayaan Malesung di Provinsi yang Dikenal Toleran
Published
2 years agoon
By
Admin30 Januari 2023
Oleh: Iswan Sual
Penghayat Kepercayaan Malesung
“WAN, Kengki sedang merusaki rumah, Wale Paliusan!”
Seorang perempuan muda mengadu lewat telepon genggam. Tiba-tiba, menjelang siang di bulan Juni tahun 2022 lalu. Tak percaya rasanya dengan informasi yang baru saja tertangkap kuping itu. Keadaan tambah parah setelah dapat kiriman foto dan video. Selera makan minum menjaga jarak. Rumah kopi, di mana aku duduk santai, sontak lenyap kemolekannya.
Berita perusakan Wale Paliusan (balai pertemuan) itu terdengar saat sedang berada di sebuah warung kopi “Rumah Tua” di Kelurahan Watulambot, Kota Tondano. Kafe itu kini sudah lapang, namun tetap diberi kesan jadul. Penyajian menu pun khas lokal. Antara lain: sagu, ongol-ongol, tinutuan, kopi minya, kokole, onde-onde. Rumah kopi ini nyaris selalu penuh sesak. Banyak didatangi pejabat penting. Dari dalam dan luar daerah. Daya tarik lainnya, barangkali, dindingnya. Ada poster dan mural besar pahlawan dan tokoh seperti Sam Ratulangi, Sukarno dan John F. Kennedy. Di sekelilingnya ada banyak potret tua lain. Dan perkakas usang seperti baskom, radio, mesin jahit, sepeda ontel, lesung, TV hitam putih. Ada pula patung kayu ukuran besar burung Manguni yang ditempatkan di depan gerbang.
Tondano cuma berjarak satu jam tiga puluh menit dari kota Manado. Ibu kota provinsi Sulawesi Utara. Tondano pernah menjadi medan perang orang-orang Minahasa melawan Belanda pada 1661 dan 1808-1809. Peristiwa yang kurang mendapat tempat dalam buku sejarah negara kita. Namun penulis berdarah Minahasa, antara lain Girot Wuntu, H.M. Taulu, Bert Supit dan Johan Frederik Mambu sudah menulisnya. Perang Tondano tersebut dipicu oleh pelecehan dan pengingkaran perjanjian oleh orang-orang Belanda sendiri.
Namun, alasan paling besar adalah ulah orang-orang Belanda yang memaksa para leluhur Minahasa untuk menyiapkan ratusan teruna mereka, untuk dikirim berperang di Jawa dan daerah lain. Sisa-sisa bukti perang itu bisa dilihat di area Benteng Moraya. Dulunya disebut Minawanua. Bekas pemukiman yang menyisahkan batang-batang kayu besar, yang kini jadi pajangan di samping makam-makam tua, waruga. Konon, kayu-kayu besar itu digunakan sebagai tiang-tiang wale wangko’ (rumah besar) dan pagar benteng zaman perang.
Mayoritas penduduk Tondano adalah Kristen. Namun, di sini ada sejumlah komunitas muslim yang terkonsentrasi di Kampung Jawa. Mereka adalah keturunan rombongan Kyai Mojo yang diasingkan Belanda pada pertengahan abad XIX. Selain itu ada pula komunitas Baha’i, Konghucu, Yahudi, Saksi-saksi Yehova dan Hindu. Tiga yang disebut terakhir sudah diizinkan pemerintah setempat punya gedung tempat ibadah di sini.
Sebetulnya, di rumah kopi tersebut, aku duduk bersama tiga orang petugas dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan. Mereka yang datang jauh dari Kota Dodol, membawa dua surat undangan. Dibawa langsung supaya pasti diterima pengurus Lalang Rondor Malesung (LAROMA) dan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Tujuan mereka juga untuk menggali informasi yang bisa dilaporkan kepada atasan. Mereka rupanya tak tahu apa-apa tentang LAROMA dan MLKI.
Menurut surat undangan itu, beberapa hari lagi akan ada kunjungan tim dari Kejaksaan Agung. Untuk sosialisasi peraturan terkait ‘aliran kepercayaan’ di Kabupaten Minahasa Selatan. Di samping itu juga untuk tujuan pemetaan wadah sejenis. Istilah ‘aliran kepercayaan’ sebetulnya tidak enak didengar di telinga para penghayat. Istilah ‘aliran’ sering dikonotasikan sebagai sempalan atau pecahan. Yang dipakai kini adalah ‘Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’.
Obrolan dengan para jaksa sempat buyar lebih dari sekali. Berulang mereka menawari minuman dan penganan. Suguhan di warung kopi ini sebetulnya amat pas di lidah. Tapi kini terasa hambar. Beberapa berkas penting kuserahkan kepada para pria berseragam coklat tua tersebut. Tanda Inventarisasi dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Surat Keterangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Daerah Sulawesi Utara dan Akta Notaris LAROMA. Mereka meminta ‘Kitab Suci’ LAROMA. Tapi LAROMA tidak punya. Kepercayaan lokal memang tak hidup dalam tradisi seperti itu.
Setelah berpose bersama di depan rumah tua itu, kami pun berpisah. Para pelayan di warung kopi itu selalu terlihat senang membantu pelanggan. Termasuk untuk mengabadikan kehadiran tamu-tamu di sana. Aku berjanji dan pastikan kedatanganku ke acara Kejaksaan Negeri di Amurang.
Cuma cukup beberapa tarikan gas sepeda motor, aku sudah tiba di rumah. Di area mana kita bisa pula menemukan makam pahlawan nasional Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi. Rumah tinggal lamanya pun masih berdiri kokoh sampai hari ini di samping kantor bupati Minahasa.
Berita soal perusakan Wale Paliusan kuberitahu kepada istriku. Ia menyarankan supaya aku langsung pulang ke kampung. Dan membantu warga korban untuk membuat laporan polisi. Apalagi aku katanya adalah ketua umum dari LAROMA. Aku dan seorang saudara laki-lakiku pun memutuskan pergi bersama. Dengan mobil Agya hitam dari Tondano ke desa Tondei Satu, Kabupaten Minahasa Selatan. Desa yang dikelilingi perkebunan dan hutan pegunungan Lolombulan dan Sinonsayang. Dua pegunungan itu erat kaitannya dengan kepercayaan Malesung, agama asli orang Minahasa sedari tempo dulu.
Aku termasuk jarang pulang kampung halaman, negeri tempat lahir. Jauh soalnya. Apalagi kendaraan menghabiskan bahan bakar yang tak sedikit. Biasanya sebulan sekali pulang. Untuk ikut serta dalam pelaksanaan upacara Bulan Purnama. Upacara ini dinamai Maso’ Sico’o wo Towaku’.
Sebenarnya, Wale Paliusan LAROMA yang diporak-porandakan itu baru berdiri sekitar empat tahun lalu. Dipinjam dari salah satu keluarga warga penghayat. LAROMA adalah wadah yang didirikan sebagai upaya memayungi mereka yang masih memegang teguh ajaran agama Malesung, agama tua Minahasa. Sudah turun-temurun sejak zaman leluhur Dotu Lumimuut dan Dotu Toar. Bahkan jauh sebelum itu. Sedari zaman Naiwaka dan Rengan.
Agama lokal Minahasa ini sebetulnya tak memiliki nama. Praktik keagamaannya, yakni upacara dinamai peposanan atau peli’i. Penulis-penulis Barat yang juga misionaris menyebutnya kaper atau kafir dan alifuru. Dalam beberapa referensi, agama tradisional ini sering disebut agama tua, agama purba, agama asli, religi suku, syamanisme, animisme dan dinamisme. Namun bagi para penganutnya, itu adalah kepercayaan atau agama leluhur. Para penghayat di LAROMA senang menyebutnya agama atau kepercayaan Malesung.
Semua agama lokal di Indonesia memang telah ada mendahului kelahiran negara Indonesia yang memiliki ratusan suku. Jumlah sistem kepercayaan juga sebanyak itu. Tapi mereka tidak terorganisir secara modern. Hidup dalam tradisi dan cara tiap suku. Itulah sebabnya, begitu tatanan masyarakatnya diubah oleh penjajahan, kepercayaan lokal itu pun menjadi seperti tak teratur. Dulu, sistem kepercayaan ini sempat disebut Kebatinan, Kerohanian dan Kejiwaan. Kelak, di Simposium Nasional pada 1970 berubah menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sayangnya, diskriminasi dan perlakuan tak adil terhadap penjaga budaya spiritual asli Indonesia ini tak kunjung pupus. Dari Buku Saku yang dikeluarkan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Dit KMA Kemendikbudristek) pada 2021, diketahui jumlahnya makin berkurang. Kini tinggal 176 organisasi. Wadah-wadah inilah yang menaungi sekitar 10 hingga 12 juta penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Nama-nama wadah tersebut di antaranya Subud, Kapribaden, Budidaya, Sapta Dharma, Parmalim, Kaharingan, Masade, Marapu, Mapurrondo, Musi, Ramai dan lain sebagainya. Dulunya ada 300-an wadah.
Kenyataan yang memilukan adalah si pelaku perusakan Wale Paliusang merupakan seorang rohaniwan (penatua) Kristen Protestan dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Gereja terbesar di tanah Minahasa yang berdiri sejak 1953. Gereja yang terkenal pelopor toleransi di daerah ini. Kekristenan berkembang pesat di tanah Malesung tatkalah dua misionaris Jerman didatangkan Netherland Zendeling Genootschap (NZG). Mereka adalah dua pemuda bernama J.F. Riedel dan J.G. Schwarz. Tugas utama mereka adalah memberitakan injil, kabar baik.
Riedel dikuburkan dan diabadikan menjadi salah satu nama gereja di Tondano. Sedangkan Schwarz dimakamkan dan dikekalkan dengan dua patung. Patung kedua terbuat dari tembaga. Sumbangan Prabowo Subianto itu tegak di pusat kecamatan Langowan, Kabupaten Minahasa. Prabowo kini adalah menteri pertahanan Indonesia. Ibunya memang berasal dari Langowan. Keturunan salah satu pemimpin di Minahasa yang bermarga Sigar.
***
LAROMA hadir seiring dengan mulai bagusnya pengakuan negara terhadap para penganut agama leluhur. Ia adalah lembaga bernaungnya para penghayat kepercayaan ajaran leluhur Minahasa yang umumnya tinggal di desa Tondei. Didirikan pada 2016, setahun setelah aku ikutserta dalam suatu ritual bulan purnama di perkebunan Neang. Maso’ Sico’o wo Towaku’ bahasa Minahasa Tontemboannya. Lokasi perkebunan itu sekitar empat kilometer dari pemukiman warga. Tiga perempat perjalanan dapat ditempuh dengan sepeda motor. Selebihnya mesti jalan kaki naik turun lereng bukit. Menyusuri sungai yang cukup deras kala musim hujan. Bila ditempuh malam hari maka itu menyulitkan. Resiko hanyut oleh derasnya air sungai sering mengancam. Apalagi bagi mereka yang sudah usia lanjut dan kurang sehat.
Pusat kegiatan organisasi ini ada di desa Tondei Dua, Jaga 2, di Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Sembilan kilometer dari desa Ongkau, jalan trans Sulawesi. Ada sebuah rumah yang berdiri tak jauh dari situs Watu Lesung Lutau. Lumpang batu itu tingginya kurang lebih 2 meter. Ada ukiran gambar dua pasang manusia yang berdoa kepada Pemilik Kehidupan. Hasil penelitian Balai Arkeologi Manado 1998 menyimpulkan bahwa situs ini sejak lampau sudah difungsikan sebagai area upacara keagamaan. Tak jauh dari situs itu ada mata air. Pa’lemboiang in Dano Lutau namanya. Konon, mata air ini diminta para leluhur dulu sewaktu terjadi kemarau panjang. Jadi, bukan suatu kebetulan bila Wale Paliusang berada sangat dekat dengan mata air dan lumpang batu tersebut.
Banyak di antara peserta yang hadir dalam ritual Maso’ Sico’o wo Towaku’ datang untuk mencari kesembuhan. Lainnya, karena tradisi dan kebutuhan spiritual untuk memperbaharui hubungan serta mendekatkan diri dengan sesama, para leluhur dan pada Tuhan, Apo Nimema’ in Tana’ wo Lawa. Tuhan Pencipta Semesta. Ada juga yang datang untuk tugas penelitian mahasiswa. Bagi orang muda, jarak dan waktu mungkin dianggap sebagai tantangan. Tapi bagi yang sudah sepuh, itu adalah hambatan. Maka perlu dicari cara untuk mengatasinya agar yang tua dan muda bisa nyaman dalam menjalankan keyakinan mereka.
Pada masa itu muncullah ide untuk mendirikan suatu organisasi untuk para penghayat ajaran leluhur. Supaya nanti para penghayat memiliki wadah bernaung. Di dalamnya ada program pengembangan kapasitas, sosialisasi aturan hukum dan gedung pusat kegiatan seni budaya. Diharapkan para penghayat ini akan semakin percaya diri. Tak segan menampilkan identitas dan ekspresi keyakinannya kepada orang lain yang berbeda. Apalagi memang keberadaan penghayat kepercayaan dilindungi dengan banyak aturan hukum. Seperti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Tindakan perusakan Wale Paliusan tak berhenti pada 21 Juni. Terjadi lagi pada esoknya. Satu pohon kelapa ditebang dengan chainsaw dan ditimpakan kepada bangunan yang tadinya masih berdiri, meski dinding-dindingnya telah jebol. Itu terjadi pada subuh, hari kedua. Ada dua orang pelaku. Saat itu kami sedang berada di kantor Kepolisian Sektor Motoling. Kami langsung menyampaikan kabar itu kepada polisi. Tergeraklah hati mereka untuk ke lokasi saat itu. Untuk menyaksikan langsung. Kejadian itu membuat badanku lemas. Aku merenungkan rumah yang dibangun dengan susah payah dan ber-mapalus atau gotong royong oleh warga penghayat LAROMA. Kini sudah roboh dan rusak parah.
Perusakan ini sedikit banyak dipicu oleh ketidakpahaman dan sikap intoleran yang dikobarkan oleh beberapa tokoh agama. Oknum-oknum pemerintah pun luluh dan terpengaruh. Mereka lupa fungsi dan peran pemerintah, yakni memfasilitasi. Bukan membatasi. Dua tahun lalu, pengurus LAROMA bertemu pemerintah desa Tondei Dua untuk meminta surat keterangan domisili sekretariat organisasi. Diberi syarat: harus ada persetujuan tetangga. Tiga keluarga tetangga terdekat dengan Wale Paliusan menandatangani ‘surat peryataan tidak keberatan’. Tapi pemerintah Tondei Dua tetap takut memberikan surat keterangan domisili itu. Pengakuan mereka, ada tekanan beberapa oknum rohaniwan. Alasan itulah yang digunakan oknum-oknum intoleran untuk mendesak perusakan Wale Paliusan. Tapi pemerintah desa, terlebih oknum Hukum Tua (Kepala Desa) Tondei Satu sangat toleran. Kami tidak dipersulit. Setelah berkas-berkasnya dipelajari, kami langsung diberikan surat keterangan domisili sekretariat organisasi olehnya. Tapi sayang, oknum kepala desa itu sudah diganti.
***
Bulan Juli. Hari masih terlalu pagi. Kususuri jalanan dengan pemandangan elok. Lahan-lahan luas ditanami cengkeh dan kelapa. Dalam perjalanan dari Tondano ke Amurang, ibu kota kabupaten Minahasa Selatan itu, saya bertukar pesan via telpon genggam dengan Bodewyn Talumewo dan Dolfi Buluran. Mereka sebagai presidium MLKI wilayah Sulawesi Utara. Untuk memastikan agar mereka juga hadir dalam pertemuan dengan beberapa pihak di kantor Kejaksanaan Negeri Amurang. MLKI sebagai wadah nasional di mana LAROMA tergabung, diundang pula hadir dalam pertemuan itu.
Ketika menginjakkan kaki di lobi, saya langsung dijemput pegawai kejaksaan dengan sopan. Salah satunya yang menemui saya di rumah kopi Rumah Tua Tondano, tiga hari sebelumnya. Dari situ diantar ke ruangan salah satu petinggi di sana. Lalu dicecari pertanyaan oleh dua orang secara bergantian. Pertanyaan dan desakan seperti sebelumnya kembali terjadi. Terutama soal kitab ajaran LAROMA. Berulang kali kujawab bahwa kami tidak punya hal demikian karena ajaran kami hidup dalam tradisi lisan.
Aku teringat, pada Februari 2012, terjadi peristiwa yang kurang lebih sama. Situs Batu Opo Sarayar dibongkar, dibakar dan buang! Kejadian itu digambarkan oleh seorang blogger bernama Charly Samola, sebagai ‘Suatu tindak pemberangusan keminahasaan dan pencemaran nama baik adat dan budaya daerah’. Tindakan brutal itu terjadi di Kelurahan Pondang, Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan. Lokasi insidennya tepat di belakang kantor Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan. Batu itu dicari dan ditemukan di bawah jembatan perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow. Kurang lebih 57 kilometer dari lokasi sebelumnya. Vandalisme pada peninggalan leluhur itu memang sudah berulang terjadi.
Begitu petinggi dari Jakarta tiba, saya langsung dibawa ke ruangan dengan meja panjang. Nampak sudah duduk beberapa orang petinggi daerah. Seingat saya ada Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Minahasa Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Minahasa Selatan dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Minahasa Selatan. Kami berbincang singkat dan saling bertukar nomor ponsel. Tapi suasana sedikit tegang. Padahal disuguhi dengan kue-kue enak.
Tak lama kemudian, Ricardo Sitinjak selaku Direktur B masuk. Guyonan bapak yang memimpin Direktorat Sosial, Budaya dan Kemasyarakatan itu bikin suasana mencair. Tapi dengan sungguh dia senantiasa ingatkan soal keniscayaan menerima keberadaan para penghayat yang sudah diakui, bahkan difasilitasi negara. Ia bahkan mengingatkan agar warga LAROMA menerima hak-haknya. Termasuk hak mendapatkan pendidikan kepercayaan bagi siswa SD sampai SMA. Juga terkait pengurusan kartu keluarga (KK), kartu tanda penduduk (KTP), Akte Lahir dan Akte Nikah. Bahkan soal akses alokasi dana untuk LAROMA.
***
Berita-berita perlakuan negatif yang diterima warga LAROMA menyebar ke media-media online. Namun, hanya beberapa media lokal yang berpihak pada korban. Justru media nasional yang memuatnya. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Interfidei, MLKI dan kelompok Gusdurian lokal memberi pernyataan sikap. Media gereja katolik berbahasa Inggris turut menyuarakan kejadian na’as itu.
Awal bulan Juli 2022, dalam suatu kegiatan di kota Makasar, aku ditemui Direktur Dit KMA. Di sela-sela kegiatan pelatihan dan sertifikasi penyuluh kepercayaan. Maka dibeberkanlah kronologi dan kondisi terakhir LAROMA. Direktur bersama tim terbang ke Sulut. Diboyong juga Direktorat Dukcapil dari Kementerian Dalam Negeri. Pada 11 Juli, tim kementerian turun langsung ke lokasi perusakan Wale Paliusan di desa Tondei Dua. Mereka sempat ketemu dengan warga di Balai Pertemuan Umum (BPU). Ditemani oleh aparat kepolisian dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Minahasa Selatan. Besoknya kegiatan sosialisasi di kota Amurang. Perwakilan pemerintah desa dan kecamatan hadir. Perwakilan agama-agama juga hadir.
Pada pembukaan acara, bupati dan wakil bupati hadir. Nampak juga perwakilan dari Polres dan Kodim. Pidato bupati sarat dengan kalimat-kalimat yang menekankan pentingnya toleransi. Ia juga tak menolak hak-hak penghayat kepercayaan yang ada di kabupaten Minahasa Selatan. Acara pembukaan pun usai. Melalui bawahannya, kemudian ketua LAROMA diundang bupati menuju lantai bawah. Ke ruang kerjanya. Ternyata ada Kapolres, Danramil, Camat Motoling Barat, Asisten 1 dan Asisten II Setdakab Minahasa Selatan.
Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan ke ketua LAROMA. Terkait ajaran, sejarah, ritual dan jumlah anggotanya. Dia pun menjawab sesuai fakta. Ada saran agar upacara bulan purnama LAROMA ditunda pelaksanaannya. Menunggu sampai suasana kembali sejuk. Sambil mengurus administrasi di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Warga LAROMA dianjurkan agar segera ber-KTP kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Supaya hak-haknya bisa segera diberikan. Termasuk bila memungkinkan, akan dibantu pengadaan Sasana Sarasehan-nya. Sasana Sarasehan adalah nama nasional tempat ibadah atau pertemuan penghayat.
Kami harus menerima kenyataan bahwa pada waktu itu kami tak bisa beribadah atau upacara di tempat biasa. Situs Watu Pinawetengan jadi pilihan tepat, karena daerahnya ada di kabupaten lain, kabupaten Minahasa.
Pembicaraan pun selesai. Ritual foto-foto usai. Kembali ke ruangan sosialisasi di lantai empat. Suasana tampak panas. Ada satu peserta yang sangat emosional. Ia seorang rohaniwan aliran pentakostal-karismatik dari Tondei yang getol menghasut masyarakat agar menolak LAROMA. Ia bahkan kerap melabeli LAROMA sebagai penyembah berhala dan sesat. Berkali-kali para pembicara yang memberikan presentasi disanggahnya. Agama mereka pun satu-satu ditanya. Intinya, ia tak terima bila kepercayaan atau agama-agama lokal sudah sah difasilitasi dan diakui negara. Mirisnya, dia mengajak peserta lain untuk melakukan aksi judicial review terhadap peraturan baru itu.
Kegiatan dijedah oleh makan siang. Percakapan santai sesama peserta terjadi. Satu jam berlalu. Panitia kemudian meminta peserta kembali duduk. Ketua LAROMA diundang ke depan untuk presentasi apa itu LAROMA. Tujuannya agar peserta tahu dan ikut serta menyosialisasikannya kepada masyarakat. Agar informasi berimbang, LAROMA juga harus didengar.
“Saudara tidak boleh duduk di depan. Saudara hanya salah satu peserta seperti kami. Bukan pembicara,” kata seorang pendeta muda. Dia berasal dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) Amurang.
Panitia dari kementerian berusaha memberikan penjelasan. Bahwa ketua LAROMA juga diundang sebagai pembicara. Gilirannya diatur paling terakhir.
“Kami tidak ingin mendengarkan sosialisasi LAROMA. Kami tidak ingin terpengaruh!” bentak salah seorang peserta dari unsur pemerintah desa Tondei.
Suara peserta dari unsur Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Minahasa Selatan pun nampaknya serupa. Mereka tak setuju LAROMA diberi ruang untuk bicara. Tim dari kementerian berusaha mengendalikan situasi. Tapi tak berhasil. Ketua LAROMA pun turun. Acara kemudian ditutup dengan doa. Selanjutnya, seperti biasa, ritual foto-foto. Di lobi saya ketemu lagi dengan para pendeta dan ustad, serta coba membangun komunikasi. Suasana sejuk. Namun, muncullah si pemuda tadi. Saya coba bersikap ramah sambil menunjukkan KTP saya.
“Oh ini tak boleh! Orang Minahasa di Minsel sudah Kristen. Tak boleh lagi ada yang seperti ini!” semprotnya dengan nada berang.
Aku teringat lagi situasi di dalam ruangan sebelumnya. Pendeta ini sempat mengaku bahwa dia juga salah satu anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) Minahasa. Tujuannya bergabung, diakuinya untuk ‘menetralisir’ anggotanya dari budaya Minahasa.
***
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah Undang-Undang 24 Tahun 2013, adalah aturan hukum yang tak mengharuskan warga negara Indonesia memilih salah satu dari enam agama besar di Indonesia. Agama-agama ini yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Selain agama-agama itu, ada juga Yahudi, Baha’i, Tao dan Sikh. Semua agama tersebut lahir atau berdiri di luar negeri kita. Dan kemudian tumbuh subur di Indonesia.
Jadi, kolom agama pada KTP bisa tertulis seperti ‘Agama: -‘. Tapi ternyata ini menimbulkan masalah baru. Banyak penghayat mendapatkan diskriminasi karena dianggap tidak beragama alias tidak bertuhan lantaran wujud KTP yang seperti itu. Tak bisa buka rekening bank, masuk TNI/Polri, ASN dan sebagainya. Lima tahun kemudian masalah tersebut ada jalan keluar. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 keluar. Produk hukum ini yang kemudian memungkinkan para penghayat ber-KTP dengan kolom ‘Kepercayaan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’.
Akhir Agustus tahun lalu, beberapa warga LAROMA mulai mengurus KTP mereka. Tiba di kantor Dukcapil Amurang sekitar jam 10.00 pagi. Langsung ambil nomor antrian. Isi data di buku tamu. Kedatangan kami diberitahukan pula kepada kepala dinas Dukcapil lewat ponsel. Hari itu, kantor nampak begitu sibuk. Ketua umum LAROMA turut menemani. Sebab pada kedatangan pertama, warga LAROMA tak dilayani dengan pantas.
Kami sempat berkonsultasi dengan sekretaris dinasnya. Juga mempertanyakan kenapa pada kedatangan sebelumnya tidak dilayani. Katanya akan diproses asalkan semua berkas persyaratan telah dipenuhi. Kami pun menyerahkan berkas kepadanya.
Jam makan siang tiba. Rombongan yang terdiri enam orang itu keluar. Cari tempat untuk makan. Kami menuju rumah makan di Pantai Alar, menghadap laut. Pemandangan teluk Amurang itu sangat menyejukkan mata.
Kota Amurang, ibu kota Kabupaten Minahasa Selatan. Kabupaten ini dihuni beragam agama dan kepercayaan, serta suku. Ada komunitas suku Sangihe, Talaud, Gorontalo, Tionghoa, Bugis, Tolour, Tombulu, Mongondow. Komunitas Minahasa dari suku Tontemboan yang terbesar. Meski nampak toleran, namun ada kasus-kasus intoleran terhadap keyakinan terjadi di beberapa desa. Ada satu-dua desa yang tak ingin ada agama atau golongan lain mendirikan rumah ibadah di situ. Tak bisa dipungkiri, pernah terjadi perusakan oleh warga yang menolak. Terakhir terjadi di desa Tumaluntung. Gedung gereja Advent jadi korban.
Sesudah makan siang, kami kembali ke kantor Dukcapil. Kami temui pengawainya.
“Maaf, bapak tidak bisa kami layani. Selesaikan dulu urusannya di Kesbangpol,” ujar seorang pegawai.
Nampak dia adalah seorang Tenaga Harian Lepas (THL). Ini adalah kali yang kesekian warga LAROMA datang ke kantor Dukcapil Amurang untuk mengurus KK dan KTP. Terkesan sangat dipersulit. Sempat terjadi debat dengan beberapa pegawai. Karena terkesan sekali ada pengabaian dan syarat yang dibuat-buat.
Ketua LAROMA melaporkan kronologi peristiwa itu kepada MLKI Pusat dan Direktorat Dukcapil di Jakarta. Beberapa hari kemudian kami diminta datang ke Dukcapil. Urusan pun jadi lancar. Kelihatannya salah paham usai. Untuk pertama kalinya di Minahasa Selatan, tiga orang penghayat kepercayaan mendapatkan KTP Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sosialisasi keberadaan penghayat kepercayaan oleh pemerintah terbilang sangat lambat. Nampak dari kekagetan warga ataupun Aparatur Sipil Negara (ASN) tatkalah memberi pelayanan. Pengurus LAROMA pun mengambil inisiatif untuk turut membantu pemerintah dalam menyosialisasikan apa itu Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. LAROMA berupaya hadir dalam setiap ruang yang akomodatif terhadap keberagaman, pluralitas dan moderasi berkeyakinan. Termasuk melibatkan diri dalam kegiatan Forum Lintas Iman Indonesia (FLII), Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), pelatihan jurnalistik Yayasan Pantau dan Aku Cinta Damai Sulawesi Utara serta Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Dalam forum ini para penghayat kerap dipertemukan dengan perwakilan umat Islam (Syia, Muhammadiyah, Sunni, Ahmadiyah), Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Bahai, Sikh, Konghucu dan Yahudi.
Kini, sudah tujuh bulan proses hukum perusakan Wale Paliusan berjalan. Pelakunya sudah berstatus terdakwa. Seharusnya sudah ada dalam tahanan. Tapi entah kenapa itu tak berlaku padanya. Dia masih bebas mondar mandir mencari dukungan dan menghasut warga di desa Tondei raya. Dari laporan beberapa warga, sudah ada ratusan orang yang bertanda tangan mendukung aksi perusakan yang dilakukannya. Bahkan mereka yang bertanda tangan itu menghendaki agar pelaku dibebaskan dari proses hukum yang sedang berlangsung. Jika keinginan mereka tidak didengar, mereka mengancam akan demo besar-besaran di kantor polisi.
Kami jadi was-was. Padahal kasus ini sudah jadi isu nasional. Sudah dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan