Connect with us

GURATAN

Investasi dan Gambar Horaforas

Published

on

PSEUDONYM, kerabat punya catatan masa depan tentang suatu destination. La Seine, di sana pernah memadu kasih, jejaknya melayang bersama hembus musim.


Oleh:
Daniel Kaligis


HISTORY: times that won’t be back again. Rakyat perlu provokasi agar kerja smart berjuang mengakali tiap jam menit detik menghalau pembiaran pembantaian.

Rimba membuncah tak ditanam ditebangi, tetumbuhan ditanam kemudian terbakar. System ngobrol lain di belakang hendak dilupa history luka. Siapa mereka, gigih menyebut peradaban di tanah bekas koloni dan masih terjajah itu sebagai horaforas, alfuros, alfures, alfuren, alifuru. Di sini, di bumi timur.

Ini Asia. Dedaun bertebar sepanjang alley.


South Celebes


Terlintas di benak manakala menapaki Siam Paragon paruh 2015: organisasi rakyat. Lembaganya orang kampung. Di sana kita mencangkul menanami menyiangi, walau kebun dan sawah tinggal seberapa. Di sana juga kita menandai area tangkapan air, menjaga alir sungai dan telaga, memungut memilah sisa, berdiskusi cari solusi.

Tapi, masa, seperti punya kaki deras berlari dari awal 2000, mencipta media, melakon dramaturgy di panggung jalanan. Lalu, angin sejuk di bayang akizora mendiamkan retention. Ternyata, perubahan adalah sesuatu rumus abadi di alam.


Mengangkut Panen


Ah, kenangan wanua sungguh melenakan. Kawan-kawan di sana ada yang memelihara ikan di kolam-kolam tepi hutan rumbia. Ada musim layangan dan warna-warni kertas-minyak berbagai motif terbang di angkasa biru yang acapkali berbaur mendung. Anak-anak di pematang menunggui, mereka menyoraki, “palinggir embang,” itu sebutan mereka untuk layang-layang putus ditiup arus angin dan akan jatuh ke tanah. Pekerja ada di petak-petak mengangkat lumpur membentuk pematang goyah karena pijak kaki-kaki sering melintas di sana. Tatap mereka terkadang membentur langit, harap masih jauh, bola siang terik miring ke barat. Masihlah hafal nama ikan endemic yang ada di kolam-kolam itu: karper, pior, kesa’, mas, wurukus, mujair, jorame.

Dipacu ketika, sajak, kata melayang-layang. Sawah ladang adalah memory menggenang di halaman ingatan sejarah. Dulu masih mendengar suara tambur se mahange mapalus ampersiang, para pekerja yang memacul tanah dan menunggu padi jagung di masa tuai, anak-anak perempuan meneriaki se ringkeng, “ciaaaa, ciaaaa, huraaaaa-huraaaa, huuuurrrr huuussss,” terbanglah burung-burung pemakan padi.

Zaman berganti, pengayuh perahu bolotu, pecangkul sawah ladang, pengehet saguer, sudah berkurang. Kemudian demam motor-motor merasuki wanua, jarak mesti dibayar, karena jalan kaki tidak lagi dibiasakan. Hari-hari berpacu mengejar setoran horaforas pada dealer yang membawa cash-flow ke negeri pengimpor tehnologi.


Nggapulu Sandar di Ndari Pihebihe


Kawan dari wanua, Arafuru kau lintasi, ujung 2014 bersua di dermaga — yang kelak pada medio September 2015 — tempat itu dikenal sebagai Ndari Pihebihe. Kicky Onchank dan saya, berbincang di geladak Nggapulu seraya mengunyah green revolution, buah-buah unggul ditetas di negeri sendiri.


Kawan dari Wanua


Dari sini menerawang laut lepas, sampan, Tugu Seram, Pulau Panjang, tiap sudut ramai oleh buruh dan penumpang hilir-mudik, kars dan gunung-gunung. Obrol masih sama: organisasi rakyat dan hutan dipangkas bagi sejumlah proposal bertajuk investasi, kemudian mengeruk perut bumi. Di sini, daratannya seperti badan bersambung tangan terentang. Teluk memeluk, kepala adalah puncak-puncak menjulang ribuan meter dari permukaan laut. Kondisinya tak jauh beda, di tanah kami, julang gunung bukit jurang dan pulau, hanya yang kami tahu di tanah kami ada gunung bukit diratakan ada penimbunan dengan issue sama, investasi.

Ini kisah lama:

Alirnya resah karena desah mati rasa. Ujung 2005 pernah menepi di Likupang bersama ‘Revkots’ as Didi Koleangan dan dua kawan, memotret kapal merapat di utara jazirah Minahasa lalu berbincang dengan orang-orang kampung. Catatanku tentang peristiwa itu lalu dimuat di Harian Swara Kita Manado. Pada ketika itu aktivis lingkungan dicap penghalang investasi. Barisan para pihak pernah menyemut di jl. 17 Agustus, halaman kantor Gubernur, ajaib, sang Gubernur hadir di tengah kerumunan massa dan mengumumkan keberpihakan untuk pembelaan lingkungan.

Senin 12 Februari 2007, Gubernur Sulawesi Utara, S.H. Sarundajang, mengatakan telah mengirim surat ke Kementerian Negara Lingkungan Hidup, isinya menolak Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diterbitkan pejabat di Jakarta. Link berita ini dapat dibaca di portal Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Media mencatat, di balik aksi itu, ada puluhan juta US$ sudah dikucur investor tambang untuk bangun infrastruktur jalan dan kantor pabrik pengolahan emas.

Terdiam? Tidak! Ada lagi. Medio 2014 dana investasi triliunan rupiah rupanya sudah diundang ke utara Sulawesi. “Sudah barang tentu perusahaan ini harus melengkapi semua persyaratan sesuai aturan perundang-undangan. Kita pemerintah di daerah tidak boleh menutup diri terhadap investor, apalagi investor itu benar-benar bonafit dan tujuan demi kepentingan umum.” Demikian kutipan pernyataan Gubernur Sarundajang yang dimuat di http://beritakawanua.com.

Cerita kesejahteraan menderas sekuat sosialisasi masyarakat sejahtera adil dan makmur seperti mimpi tinggal landas yang hampir dapat dipastikan ketinggalan di landasan.

Pada 11 Mei 2015, Eku Wand, menera link ini: https://www.facebook.com/groups/SaveBangkaIsland/578468002256846/ di halaman #SaveBangkaIsland, isinya release penolakan beroperasinya tambang bijih besi di pulau Bangka. Itulah mengapa kawan Lisa Tungka-Feinstein tegas menginterupsi, “Jangan wariskan bencana pada anak cucu kita.” Beberapa dari kalian juga menyebut petaka pada alam dengan nada sama, atas-nama keprihatinan manakala lingkungan diperkosa bunting perkara berkali-kali bernanah luka mengangah.

Investasi terus diumumkan untuk hari ini dan hari-hari mendatang. Tapi, horaforas juga  seperti lengket pada predikat tou wanua. Budayanya tertindas dan selalu disalah-salahkan pada masa silamnya yang dituduh tak beradab. Mengapa? Entahlah.

Dewasa ini, justru oleh banyak sebab, ethos mereka patah dan pasrah menerima sistem memenjara mereka pada berbagai istilah tak mereka pahami. Ingatkah kita bahwa bumi tercabik-cabik? Exodus di ujung perkara meminggirkan rakyat dianggap biasa. Mengapa tak bangkit dan mengibar juang memperbaiki diri? Suatu ketika bercengkrama huruf-huruf membentuk proposal membeli harga diri.

Sejarah untuk apa di ruang-ruang seminar? Sesungguhnya, tak banyak yang menulis kisah wanua, bahkan hanya omong besar di mulut pengap aroma captikus, saat tertelan dua tiga sloki boleh bercerita panjang lebar superhero yang oleh negara tak pernah mau mengenal mereka. “Tambiluk Matelew, Kooko-laka Menguku-ngukuk,  Selaweren, Maleongwurehenga.” Kita puja nama-nama itu seperti dewa.

Di Bayfront Ave pertengahan tahun silam idea meramu kata-kata ini saya mulai seraya menikmati lantunan The Bee Gees.

SING: In the event of something happening to me, there is something I would like you all to see, it’s just a photograph of someone that I knew…

#NewYorkMiningDisaster1941: In the second and third verses, the lyrical lines get slower and slower, as if to indicate that life is about to end for the miners. On the second chorus, the drums get louder. On the second verse, when Robin sings the line I keep straining my ears to hear a sound, a violin was featured in response on Robin’s line.


Anak-Anak Menyusur Tepian


Sosialisasi media mendesak ditindaklanjuti: ketahanan ekonomi Indonesia pada masa krisis keuangan global dan sesudahnya ‘katanya’ sudah terbukti. Dan pemerintah terus mereformasi iklim investasi demi mencipta tujuan investasi aman dan menarik.

Negeri kita kaya sumberdaya alam, produsen utama gas alam cair, industri pertambangan, minyak bumi dan mineral merupakan komoditas utama ekspor, disebut pendorong pertumbuhan ekonomi Asia dengan PDB US$ 870 milyar di tahun 2014, negeri potensial di Asia Tenggara.

Masih tersisa nyanyi ekspor tenaga kerja murah? Apa kabar stigma horaforas menyasar orang-orang kampung manakala para pejabat di sana masih mengumumkan pembangunan dalam bentuk kerja bakti dan tak mau membuka dana-dana pengembangan sebagai project padat karya yang boleh menyerap tenaga produktif di wilayah mereka? Hutan enau hutan hujan belantara rakyat di sana jadi percuma sebagai penghambat partikel halus di musim penghujan, sebab energi potensial yang terkandung di dalamnya tertuduh mabuk dan tak berguna.

Horaforas membentur kesempatan investasi dengan mitos palsu pembangunan: semua harus dari luar negeri. Itulah mengapa captikus disebut haram, namun wine dari negeri yang jauh boleh berjejer di supermarket dan di meja pesta para pejabat. Mengapa energi alternative tak dicipta dari sawah ladang horaforas dan terus menyikapi kebijakan ekonomi dunia supaya pro rakyat seraya terus bekerja smart mematangkan mission dan vision?

Green, hidup komunal berbagai risk berbagai keinginan berbaur jadi latar, dan kita salah satu pemeran di dalamnya! (*)


Foto-Foto: DAX


 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *