Published
11 months agoon
Penulis: Suci Elvira Aburrahman (Pemerhati Cagar Budaya dan Arsitektur Tradisional Tidore)
KOTA TIDORE Kepulauan, 31 Desember 2023.
Mareku, Kota Tidore Kepulauan, yang menjadi cikal bakal titik nol jalur rempah dunia, terancam oleh proyek pemerintah. Situs bersejarah yang telah berdiri ratusan tahun kini tergusur. Dalam upaya “pembaruan” yang ditujukan untuk nelayan, sebuah proyek di tepi Pantai Soempodo, Kelurahan Mareku, Kota Tidore Kepulauan, dicanangkan menjadi daerah tambatan perahu. Proyek itu harus menghancurkan situs sejarah yang juga memiliki fungsi yang sama, karena dinilai menghalangi proses pekerjaan.
Situs yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah perdagangan rempah dunia, kini harus merelakan nasibnya dihapus tanpa ampun. Ironisnya, Mareku yang seharusnya menjadi kebanggaan dan daya tarik wisata sejarah, kini harus menangis karena kehilangan akar budayanya dan terancam punah di bawah bayang-bayang proyek kontroversial ini. Sebuah kerugian besar bagi kekayaan sejarah Indonesia yang semestinya dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang. Pemerintah tampaknya mengabaikan pentingnya pelestarian warisan budaya dan sejarah ini.
Sejarah tak bisa dipungkiri. Pada tahun 2021, pemerintah Spanyol melakukan “Napak Tilas” 500 tahun (1521 – 2021) perjalanan Ferdinand Magellan, Juan Sebastian de Elcano dan Enrique Maluku untuk mencari negeri cengkeh. Moment itu membuktikan bahwa di Pantai Mareku, “Port Sumpodo”, kapal Victoria berlabuh. Di sinilah terjadi transaksi 26 ton cengkeh. Di tempat ini pula kapten kapal Victoria Sebastian Elcano disambut oleh Raja Tidore, Sultan Al Mansur. Hal tersebut bukanlah sebuah pengakuan akan penjajahan, tapi sebuah batu loncatan dalam melihat eksistensi peradaban yang melekat erat dengan masyarakat Mareku sejak beberapa ratus tahun yang lalu.
Langkah kontroversial ini terasa semakin pahit, karena baru-baru ini pemerintah pusat menetapkan Tidore sebagai tuan rumah pada seminar jalur rempah, tepatnya pada tanggal 13 Desember 2023 lalu. Agenda itu sesungguhnya mempertegas peran penting wilayah ini dalam merawat warisan jalur rempah Nusantara, namun hal tersebut tidak sejalan dengan munculnya proyek yang meluluhlantakan situs penting ini.
“Kami menangis, tidak sepakat dengan tindakan ini. Mareku adalah jejak perjalanan sejarah nenek moyang kami, dan sekarang semua itu hancur,” ungkap salah seorang tokoh adat setempat.
Sementara bulldozer terus meratakan situs bersejarah, para sejarawan dan pecinta budaya meratap atas kehilangan yang tidak bisa digantikan. Mareku, yang dulu menjadi jantung peradaban rempah, kini hanyalah saksi bisu dari ketidakpedulian terhadap warisan berharga.
Situs bersejarah yang menjadi warisan budaya dihapus dari peta kota ini, memicu perdebatan sengit di antara masyarakat. Kelompok yang mendukung proyek pembangunan, seringkali memiliki agenda politik tertentu, menganggap langkah ini sebagai kemajuan dan modernisasi. Di sisi lain, masyarakat adat yang lebih menekankan pelestarian warisan dan nilai-nilai budaya, melihatnya sebagai penghancuran tak termaafkan.
Konflik ini semakin rumit karena perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang mendasar. Agenda politik yang berbeda dalam struktur masyarakat menciptakan jurang yang sulit diatasi. Sementara satu kelompok melihat proyek ini sebagai simbol kemajuan, yang lain melihatnya sebagai penghancuran identitas kultural.
Dalam suasana ketidaksetujuan dan kebingungan, situs bersejarah Mareku bukan hanya menjadi saksi kebijakan yang kontroversial, tetapi juga alat politik yang meruncingkan perbedaan di tengah masyarakat yang seharusnya bersatu. Ironi mencapai puncaknya ketika proyek tersebut mengancam, memadamkan sejarah jalur rempah Nusantara, yang dulu dimulai dari tanah suci Mareku.
Hal yang terlupakan dalam dinamika konflik ini adalah makna pelestarian dan manfaatnya dalam era pembaruan. Pelestarian situs bersejarah tidak hanya tentang melestarikan batas waktu, tetapi juga menjaga akar budaya dan memperkaya identitas masyarakat. Terlalu sering, manfaat jangka panjang dari pelestarian ini dilupakan demi agenda politik yang lebih cepat dan tampak.
Pentingnya perencanaan partisipatif juga terabaikan. Sebuah pendekatan yang melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bisa menjadi jalan keluar yang lebih berkelanjutan. Sesuai dengan nilai-nilai yang telah dijaga selama ini oleh masyarakat, perencanaan yang melibatkan partisipasi aktif mereka dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan bersama dan meminimalkan dampak negatif terhadap warisan budaya yang berharga ini.
Apakah kekayaan sejarah ini harus menjadi korban demi proyek pembangunan yang kontroversial? Rakyat menantikan jawaban dari pemerintah terkait tindakan kontroversial yang telah mengguncangkan akar budaya mereka.
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan