BERITA
Isu HAM dalam Pilpres Hanya Komoditas untuk Merebut Dukungan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx15 Januari 2019
Oleh: Juan Y. Ratu
kelung.com – Pada setiap Pemilihan Presiden (Pilpres) isu HAM selalu dimanfaatkan sebagai komoditas untuk merebut dukungaon suara dari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Demikian pula dalam tahapan debat Capres-Cawapres, HAM hanya menjadi pelangkap saja. Demikian dikatakan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani ketika membacakan siaran pers di Jakarta (11/01/19) berkaitan dengan persiapan debat Capres-Cawapres yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia .
“Sehingga masuknya agenda HAM sebagai topik debat tidak menjadi ukuran bahwa HAM merupakan pokok prioritas bagi dua kandidat Capres Cawapres,” lanjut Andriyani.
Menurut KontraS, terdapat potensi risiko memburuknya kondisi HAM lima tahun ke depan. Siapapun yang akan memenangkan Pemilu 2019, KontraS tidak terlalu banyak berharap hadirnya komitmen-komitmen baru dari para calon untuk agenda-agenda HAM. Namun demikian, KontraS dan keluarga korban pelanggaran HAM jelas berkepentingan langsung dengan isu HAM dalam debat Pilpres. Karena debat itu akan menentukan sejauhmana para calon akan mewarnai dan membawa situasi HAM setidaknya lima tahun kedepan.
Menurut KontraS, agenda HAM dapat dikatakan menjadi prioritas apabila pemerintah yang berkuasa dapat memenuhi 3 alat ukur ini. Pertama, kemampuan negara untuk bertanggung jawab (responsibility). Kedua, kemampuan negara untuk memberikan rasionalisasi atas setiap kebijakan yang diputuskan (answerability). Ketiga, kemampuan negara untuk menggunakan mekanisme koreksi dalam rangka penegakan hukum (enforceability).
Untuk menguji ketiga hal tersebut, menurut Andriyani tidak cukup hanya dengan pembahasan dan jawaban normatif dan retoris, dalam debat misalnya, tetapi harus diuji dengan persoalan-persoalan yang terjadi.
Andriyani menegaskan, kovenan internasional hak sipil dan politik, serta kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia harus didelegasikan penerapannya hingga ke tingkat yang lebih rendah. Kebutuhan untuk mendelegasikan hak asasi manusia ke ranah debat bukan retorika semata. Sebab pelanggaran HAM terjadi karena adanya tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran dari Negara (act of ommission).
Menurut Andriyani, mengacu dari peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 4 tahun terakhir dalam kepemimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla, bagi KontraS itu telah cukup menunjukkan bahwa ide hak asasi manusia hanya dijadikan hiasan dalam visi – misi calon presiden. Pada tingkat pelaksanaannya, hak asasi manusia tidak menjadi standar, baik dalam perumusan kebijakan ataupun dalam membuat pernyataan tertentu yang memunculkan diskursus publik.
“Hal tersebut terulang kembali ketika kedua capres dan cawapres periode 2019 – 2024 tidak menempatkan satu kalimat yang menyebut hak asasi manusia atau pun penyelesaian pelanggaran HAM pada visi – misinya. Dengan demikian, isu HAM lagi – lagi hanya menjadi gimik politik saja tanpa ada komitmen yang konkret untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM [berat] masa lalu yang masih terkatung – katung sejak lama,” tegas Andriyani.
Menurut KontraS, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti. Hal tersebut masih menjadi hutang negara yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Andriyani menunjuk pada Kejaksaan Agung yang lagi – lagi mengembalikan berkas terkait 9 kasus dugaan pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM dengan alasan tidak ada kebaruan yang substansial, pada 27 November 2018 silam. Ini menjadi salah satu persoalan paling serius untuk dipecahkan agar tidak berlarut–larut, kata Andriyani.
Persoalan HAM lain yang juga harus diselesaikan, di antaranya adalah agenda-agenda HAM dalam ranah hak sipil politik. Yaitu, perlindungan terhadap kelompok rentan dan minoritas agama dan kepercayaan. Pelanggaran HAM di Papua, penerapan hukuman mati, praktik penyiksaan, implementasi pengadilan HAM, Reformasi Peradilan Militer, kriminalisasi pembela HAM, dukungan untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (KKR), perlindungan kebebasan berkumpul, berpendapat dan isu civic freedom lainnya. Persoalan lainnya juga juga penting mendapat perhatian isu – isu bisnis dan HAM; pembangunan, investasi yang merugikan masyarakat.
“Kami juga melihat subtansi dan esensi persoalan HAM di atas jauh dari radar pembahasan dua tim kampanye. Perdebatan di tataran elit nasional sama sekali tidak menunjukkan geliatnya untuk membawa momentum pemilihan umum sebagai momen perbaikan atas aspek kesejahteraan sosial, lingkungan hidup, penegakan hukum, demokratisasi, terlebih lagi perlindungan hak asasi manusia,” ungkap Andriyani.
Tatacara Debat yang Tidak Sesuai Ekspetasi Publik
Tentang tatacara debat capres-cawapres yang ditetapkan oleh KPU, bagi KontraS, jika ia hanya berisi sosialisasi dan menolak pembahasan persoalan kasuistik, dan kontekstual dalam isu HAM, hukum dan korupsi maka nantinya hanya menghasilkan jawaban yang normatif, retoris, dan cenderung hafalan.
“Seharusnya momen debat dapat menjadi ruang untuk menguji jejak rekam dan gagasan juga komitmen kedua calon dalam isu HAM, bukan sebaliknya untuk saling menutupi kelemahan, kekurangan atau masalah dari kedua kandidat sebagaimana pernyataan KPU yang menyatakan tidak ingin ada yang dipermalukan,” kata Andriyani.
Menurut KontraS, cara KPU mendesain tatacara debat seperti ini, tidak sesuai ekspektasi publik terkait substansi debat.
“Sikap KPU terkesan kaku terhadap respon publik tapi justru akomodatif dan kompromis terhadap dua tim pasangan Capres-Cawapres,” kata Andriyani.
Tata cara debat yang disoal KontraS berkaitan dengan tiga hal. Pertama, masing – masing pasangan capres-cawapres akan menerima pertanyaan debat sebelum debat diselenggarakan. Kedua, ditiadakannya penyampaian visi-misi pasangan capres-cawapres oleh KPU. Ketiga, adanya pemberitahuan bahwa dalam debat tersebut tidak bisa disampaikan kasus -kasus.
KPU sendiri telah menyampaikan kepada publik mengenai tata terbit debat Capres-Cawapres nanti. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menjelaskan, dalam aturan itu, KPU melarang antar sesama paslon memotong pembicaraan saat salah satu paslon tengah melakukan pemaparan. Kemudian, Paslon juga tidak diperkenankan memberikan pertanyaan bernada menyerang ke sesama paslon.
“Pertanyaan antar pasangan calon harus seputar tema visi – misi dan program, moderator memiliki hak untuk menghentikan pemaparan keluar dari tema visi – misi dan program, dan moderator akan menghentikan pemaparan paslon ketika waktu yang tersedia habis,” ucap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan saat memimpin rapat pematangan debat pertama Capres-Cawapres, Kamis (10/01/2019) seperti dikutip dari Indonews.id.
Debat Capres-Cawapres nanti akan dilaksanakan sebanyak lima kali. Debat pertama akan dilaksanakan pada Kamis, 17 Januari 2019. Tema debat seputara Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme. Debat kedua akan dilaksanakan pada Minggu, 17 Februari 2019. Tema debat putaran ini adalah soal Energi dan Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, dan Infrastruktur. Debat ketiga bakal dihelat Minggu, 17 Maret 2019 dengan tema Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan serta Sosial dan Kebudayaan.
Debat keempat dengan tema Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan serta Hubungan Internasional akan berlangsung pada Sabtu, 30 Maret 2019. Debat terakhir bertemakan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi serta Perdagangan dan Industri. (*)
Editor: Andre Barahamin