GURATAN
Jalan Ketiga à la Yesus
Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 April 2019
Oleh: Nindyo Sasongko
Seorang pendeta GKMI, sedang studi pascasarjana dan kini tinggal di kota New York
TENTANG hal memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) kali ini. Kami warga negara Indonesia yang sedang bermukim di New York hari mencoblosnya lebih dulu dari yang di tanah air. Hari pencoblosan kami Sabtu, 13 April.
Sebelum ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) untuk mencoblos di sana, saya coba membuat beberapa pertanyaan renungan ini: adakah status Facebook atau ujaran dari pendeta atau pendeti nan bijak bestari di jelang Pemilu ini, yang:
1. Ketimbang nakut-nakutin tentang gawatnya situasi bangsa dan negara kalau salah satu kubu menang (maka pilihlah yang satunya), tapi ngajak bertanya secara kritis: Ini sebenarnya ada apa sih di bangsa kita kok situasinya dibikin tegangnya luar biasa? Ini kan jadi kayak lakon wayang: jajar kanan kubu yang baik, jajar kiri kubu yang buruk.
Lalu mencoba ngajak warga jemaat merenung dan menerawang: apa nggak ada dalangnya semua kegelisahan dan kegaduhan ini? Apa tidak ada mastermind-nya sehingga memang diciptakan suasana perang Bharatayudha antara Kuwara dan Pandawa?
2. Ketimbang nakut-nakutin jemaat kalau Pancasila sedang dalam ancaman dan marabahaya, justru ngajak warga gereja untuk berani bersikap kritis: yang kelihatan garis keras dan yang garis lunak, benar nih jadi punggawa Pancasila sejati? Bukannya semestinya kritis ya: lho bukannya kalau seandainya garis keras menang, dan Indonesia jadi carut-marut, kan justru lebih mudah pilihannya kan, untuk berkata “Tidak!” dan menunjukkan kepatuhan yang setia hanya di jalan Kristus. (Eh, bukan mendoakan, lihat bawahnya, dan lanjutkan membaca)
Lha yang sulit itu kan kalau garis lunak itu menang. Bisa begitu, gereja mengambil sikap kritis? Kan malah tambah sulit. Apalagi belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia gereja berani melawan pemerintah, wong ayat masnya selalu Roma 13:1.
Pernah begitu pada zaman pemerintahan otoriter yang lalu, pemimpin gereja berani bicara jangan pilih partainya?
Benar sih, ada memang pribadi-pribadi yang diam-diam nggak mau milih. Lha tapi kan nggak ada yang kemudian terang-terangan berani kasi alternatif.
Oh ya, belum jaman demokratis ya? Maka mainnya diam-diam. Tapi apa iya pernah berkata “Tidak” terhadap pemerintah dan militer baik sebelum 1966 maupun setelah 1998?
3. Ketimbang nakut-nakutin jemaat dan desak agar jemaat tidak menyia-nyiakan hak suaranya apalagi Pemilu pas Kamis Putih dan libur panjang: mbok sejenak merenungkan sebenarnya politik Yesus itu politik yang kayak gimana sih?
***
Kalau coba merenung-renung, nih. Zaman Yesus itu kan ditandai oleh dua kekuatan politik: Roma dan orang-orang Yahudi? Jangan dibayangkan Roma itu lalim dan kejam.
Lho pemerintahan Roma itu demokratis, memajukan perdagangan, menghaluskan jalan-jalan protokol supaya arus perdagangan lebih baik. Dan, kekuatan militer dan tentara Roma lebih mudah mengontrol keamanan negerinya.
Satunya lagi Yahudi. Nah di sini beragam sekali pilihan politiknya. Kata N.T. Wright ada dua arus besar (benernya sudah didahului oleh Walter Wink sih), yaitu antara “fight and flight” (lawan atau lari). Ada yang soft core juga, jadi aman.
Pilihan Yesus? Di Pekan Suci (ya, hari Minggu ini kita peringati), Yesus memilih. Ya, Yesus memilih! Ia memilih masuk ke Yerusalem. Tapi Yesus memilih mengendarai Colt.
(Eh bukan Mercedez, kuda, atau jeep—dalam bahasa Ethiopia ጅብ itu bunyinya “jeep” artinya hyena.)
Yesus memilih masuk ke Yerusalem. Naik keledai. Ia memilih Roma? Atau Ia memilih cara politik orang-orang sebangsanya? Bukan keduanya.
Jadi, Yesus memang memilih. Ia sadar memilih. Tapi dari dua pilihan, Yesus memilih yang mana? Sarjana Alkitab menyebutnya: “The Third Way”
Jalan itu juga yang dihidupi-Nya. Tapi konsekuensinya, “The Third Way” itulah yang mengantar-Nya ke salib.
Tapi jalan itu juga yang membuat-Nya dibangkitkan pada hari yang ketiga. Ia dibangkitkan bukan oleh Roma, bukan pula oleh kaum sebangsa-Nya.
Ia dibangkitkan oleh Bapa-Nya, Allah yang selalu memperkenalkan diri sebagai Allah yang hati-Nya tertuju kepada para janda dan yatim piatu, yang nasib mereka tidak pernah dipikirkan oleh yang berkendaraan Mercedez atau Jeep.
Ya begitu saja.
Yang jelas, dua tahun ini saya tinggal memang di jantung kota New York, di Manhattan. Dan saya tinggal di Menno House. Tapi saya sadari, rumah ini dulu dibeli oleh orang-orang Mennonite di tahun 1950-an dengan sengaja, sengaja untuk menampung para “conscientious objectors,” orang-orang yang dengan hati nurani menolak militerisme negeri ini, khususnya agresi global militer Amerika Serikat.
Mereka protes dan berunjuk rasa tanpa senjata dan tanpa kekerasan. Tak sedikit dari mereka yang dijebloskan ke dalam penjara. Tapi itulah harga yang mereka harus tanggung, sekalipun sebagai warga negara Amerika Serikat, agresi itu menguntungkan mereka. Kalau negara sejahtera, bukankah mereka pun sejahtera, karena Allah konon menghendaki rakyat mengupayakan kesejahteraan bangsa?
Namun kalau mereka sejahtera, dengan mengorbankan kesejahteraan dan hak asasi orang lain, yaitu bangsa-bangsa lain yang juga memiliki hak asasi yang sama, apakah untuk itu mereka dipanggil sebagai murid Kristus?
Karakter mereka tampak dari kekritisan sikap politik mereka. Dan di situ pula tercermin spiritualitas Kristiani mereka.
Jadi, harus memilih? Harus, karena Yesus pun memilih! Tapi memilih yang mana? Nah, tanyakan hati nurani. Kalau kita mengambil bagian dalam kehidupan Yesus, pilihan yang mana sesuai hati nurani Yesus?
Bagi saya, kalau pun ada yang memilih untuk tidak memilih, namun sadar dan jernih alasannya mengapa tidak memilih, bukan sekadar harus memilih demi alasan guna menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.
Tetapi memilih untuk mengikuti Jalan Kristus, dan mempertanggungjawabkan pilihan itu dengan hati nurani dengan segala konsekuensinya. Pilihan itu pun sahih.(*)
Editor: Denni Pinontoan
Catatan Editor: naskah asli artikel ini telah dipublikasikan di akun Facebook penulis. Atas seizin penulis, kami telah melakukan beberapa perbaikan untuk penyesuain publikasi di kelung.com.
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
-
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
-
Kisah Kematian Yesus dari Montreal
-
Setelah Tanggal 17, Apa?
-
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955
-
Demokrasi di Minahasa: Tu’ur In Tana’, Pinawetengan, Paesaan In Deken Hingga Pemilihan Ukung