CULTURAL
Jejak Identitas pada Semangkuk Tinutuan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx11 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Pada masakan ini, kita dapat menjejaki sebuah identitas
SELAIN TINORANSAK, RW, ragey, pangi, salah satu jenis masakan khas Minahasa yang juga populer adalah tinutuan. Berbeda dengan masakan Minahasa lainnya yang berbahan daging babi, anjing dan binatang hutan lainnya, tinutuan sebenarnya sederhana tapi dapat mengundang selera banyak orang. Siapapun yang gemar kuliner etnik, tidak akan menghadapi masalah serius untuk dapat mencicipinya.
Gabriele Weichart, antropolog dari University of Vienna menyebut tiga ciri makanan Minahasa. Pertama, penggunaan cabai (rica) dalam jumlah yang sangat banyak. Kegemaran pada daging anjing atau daging binatang hasil buruan. Lalu ketiga, rebusan sayuran yang disebut tinutuan.
Dibandingkan dengan dua ciri makanan Minahasa lainnya, kata Weichart, tinutuan sebetulnya tidak memenuhi syarat sebagai makanan ’luar biasa’. Sepintas, tinutuan merupakan hidangan yang umum dan dapat ditemukan di banyak wilayah lain Indonesia.
“Seperti semua jenis rebusan dan sup, tinutuan dimasak dengan cara yang sangat ringan dan si penyantap kemudian dapat menambahkan bumbu-bumbu sendiri sesuai seleranya, seperti sambal atau cabai, saus tomat, cuka, atau garam,” tulis Weichart dalam artikelnya berjudul Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner (2002).
Sejak mulanya, tinutuan memang jenis masakan bagi orang Minahasa kebanyakan. Jenis masakan berbahan daging, biasanya disajikan pada hari-hari khusus, seperti pada banyak pesta di Minahasa.
“Yang paling terkenal adalah tinutuan, campuran berbagai jenis sayuran yang diberi bumbu,” tulis Lucien Adam pada Zeden en Gewoonten en het Daarmede Samenhangend Adatrecht van het Minahassische Volk, terbit tahun 1925.
Tinutuan dibuat dari sejumlah jenis sayur, rempah dan ubi yang tidak perlu dibeli karena tersedia di kebun atau bahkan pekarangan rumah. Daun gedi (abelmoschus manihot) dapat tumbuh subur di pekarangan rumah apalagi kebun. Kangkung banyak ditemukan di sawah. Lalu buah labu terutama jenis labu kuning (cucurbita moschata), ubi talas (bete), atau juga singkong dapat ditanam di kebun dengan tidak memerlukan perawatan khusus.
Itulah yang membuat tinutuan berbeda dengan ciri masakan Minahasa lainnya. “Tinutuan, rebusan yang terdiri atas jagung, beras, dan ubi manis ditambah dengan sayurmayur lainnya merupakan jenis makanan yang sama sekali berbeda. Bahan-bahan yang digunakan relatif murah, mudah ditemukan dan mudah dimasak sehingga tinutuan pun sering dikonsumsi,” tulis Weichart.
Cara umum orang-orang Minahasa memasak tinutuan, pertama adalah dengan merebus beras secukupnya bersama ubi talas/singkong, serei, dan daun kunyit pada wadah belanga atau dandang. Setelah mendidih dan berasnya dirasa sudah matang, baru kemudian dimasukan sayur dan kemangi. Lalu semua diaduk, dicampur hingga matang. Tentu jangan lupa menambahkan garam secukupnya.
Aroma khas tinutuan tentu sangat menggoda orang untuk segera mencicipinya. Namun baiknya ditahan dulu. Ada satu lagi yang mesti selalu ada untuk dimakan bersama tinutuan, yaitu dabu-dabu atau sambal. Kalau memasak tinutuan dilakukan beramai-ramai untuk dimakan sambil bacirita, biasanya orang-orang dengan sendirinya akan membagi tugas memasak.
Seseorang di dapur yang ramai itu tampak sedang sibuk menyiapkan cabai, bawang, garam, tomat dan ikan roa (julung-julung) yang diasap. Sebelum ditumbuk bersama lainnya menjadi sambal, ikan roa terlebih dahulu digoreng.
Sambal selesai diracik. Acara makan-makan tinutuan segera dimulai.
Tinutuan dan dabu-dabu disajikan untuk disantap bersama. Biasanya, usai sebuah pesta atau hari-hari raya, misalnya Natal dan Tahun Baru orang-orang akan membuat tinutuan untuk dimakan bersama. Semacam ada kepercayaan, bahwa setelah mengkonsumsi daging-daging berlemak di hari raya, maka sayur baik untuk tubuh.
Tinutuan, Miedal dan Bubur Manado
Kata tinutuan sangat mungkin berasal dari kata Minahasa tu’tu yang artinya nasi. Tinutuan artinya beras yang dimasak bersama sayur-mayur dan rempah. Beras sudah lama dikenal di Minahasa. Nasi adalah makanan pokok, selain jagung atau milu dan ubi talas. Sagu tidak dikenal umum. Berbagai jenis sayur dikenal oleh masyarakat Minahasa sejak dahulu.
Di masyakat Minahasa tempo doeloe, tinutuan adalah makanan rakyat. Meskipun ia bukan makanan utama seperti nasi yang disantap bersama lauk dari berbagai jenis daging hewan. Di zaman Belanda, pada pesta-pesta tertentu atau untuk menjamu tamu, keluarga-keluarga tertentu memasak dan menghidangkan makanan istimewa yang biasanya mengadopsi resep masakan Eropa.
“Pada pesta-pesta atau ketika menerima tamu orang Eropa, menu yang disajikan meniru hidangan Eropa,” tulis Adam.
Dari tanaman sayur-mayur yang tersedia, dibuatlah macam-macam menu. Salah satunya mirip dengan tinutuan, yaitu peda’al.
“Selain itu, makanan yang sangat populer adalah peda’al atau makanan ringan, sup sayuran yang dicampur dengan beras tumbuk atau jagung, yang katanya memancing selera,” tulis Adam.
Entah mengapa Adam membedakannya dengan tinutuan. Sebab di kemudian hari, orang-orang Minahasa juga mengenal nama sejenis masakan ‘hibrid’ bernama miedal, singkatan dari mie dan peda’al. Dalam tampilannya sekarang, tinutuan dan miedal hanya dibedakan oleh mie.
Di warung-warung makan miedal tersedia bersama tinutuan. Kalau ingin makan peda’al tanpa mie, pemesan akan menyebut tinutuan. Maka, yang kemudian tersaji di meja adalah peda’al karena tanpa mie. Dan itu adalah juga tinutuan.
Di luar Tanah Minahasa, tinutuan dikenal dengan nama populer bubur Manado. Restoran-restoran Manado di Jakarta misalnya, ada yang tetap menggunakan nama tinutuan tapi yang lainnya lebih suka dengan nama bubur Manado. Tidak jelas sejak kapan nama bubur Manado populer di luar Minahasa.
Sebuah buku berjudul Bahasa dan Budaja yang diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Budaja, Universitas Indonesia tahun 1958 sudah menulis nama ini.
“Tinu’tu’an, nama bubur jang dimasak bersama-sama dengan sajur-majur, jang diluar daerah Minahasa terkenal dengan nama bubur-Manado,” demikian tertulis di buku itu.
Manado di masa kolonial adalah pusat keresidenan. Di kota itu berdiri sebuah benteng yang dibangun sejak beberapa abad lampau. Di Manado sejak ia menjadi kota ramai, telah hidup bermacam-macam orang beragam agama dan etnis. Pelabuhan Manado menjadi pintu masuk beragam budaya. Manado kemudian dikenal sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan.
Untuk menyebut orang-orang dari wilayah Utara Celebes yang bermacam-macam identitas itu, satu nama untuk mengidentifikasi mereka di Jakarta atau di tempat lain adalah ‘orang Manado’. Jadinya, siapa saja orang dari Noord-Celebes yang ke Jakarta atau daerah dan negara lain yang keluar melalui bandara Samratulangi atau pelabuhan Bitung, di tanah rantau ia akan di sebut ‘orang Manado’.
Sepertinya nama ‘bubur Manado’ yang adalah tinutuan itu mengikuti identitas Manado sebagai kota yang dihuni oleh bermacam-macam orang. Nama bubur Manado, pada satu pihak menunjuk pada identitas yang khas, yaitu Minahasa-Manado, namun pada saat yang sama ia adalah menu untuk semua orang.
Jejak Minahasa pada Semangkuk Bubur Manado
Kini miedal dan tinutuan lebih dikenal di warung-warung makan di pegunungan Minahasa, semacam Tomohon. Sementara bubur Manado justru telah menjadi kuliner populer se-Indonesia. Miedal tetap pada nasibnya sebagai makanan umum bagi orang kebanyakan di Minahasa. Sementara Tinutuan, oleh Jimmy Rimba Rogi bersama Abdi Buchari semasa menjabat sebagai Walikota dan Wakil Walikota Manado (periode tahun 2005 – 2008 telah menaikan kelasnya menjadi icon: Kota Manado, Kota Tinutuan.
Istilah Bubur Manado sebelumnya telah dipakai secara luas untuk menyebut Manado dengan ‘3B’, bubur, Boulevard dan Bunaken. Satunya adalah jenis masakan yang khas, dua lainnya adalah tempat yang populer. Kadang-kadang dalam nada satire atau menyindir, orang-orang juga menyebut ‘4B’: bubur, Boulevard, Bunaken dan bibir. Yang terakhir itu, entah menunjuk pada hal apa, ‘mulut orang Manado yang cerewet’ atau ‘perempuan/cewek Manado yang banyak dikagumi oleh banyak orang? Tampaknya itu sebuah sindiran.
Tapi, ada alternatif lain yang netral dan membanggakan. Dalam sebuah kesempatan di tahun 1996, E.E. Mangidaan, waktu itu sebagai gubernur Sulawesi Utara ketika menyampaikan pidato pada suatu kegiatan memberi arti lain bibir itu.
“Manado yang bersemboyan bersehati, terkenal dengan 4 B, yakni Bunaken, Boulevard, Bubur dan Bibir. Untuk tidak terkesan porno, kata bibir diimbuhi Pasifik, jadi bibir Pasifik,” demikian kata Mangindaan berkelakar.
Tinutuan, Miedal atau bubur Manado akhirnya menemukan ‘kelasnya’ sendiri dalam dunia kuliner, baik di tempat asalnya maupun di tanah rantau. Jika jenis masakan lainnya yang khas Minahasa digemari oleh kalangan terbatas, seperti tinoransak, RW, ragey, kawok, atau yang lainnya karena diberi lebel ‘haram’ dan ‘ekstrim’, maka Tinutuan, Miedal atau bubur Manado sepertinya menjadi jembatan pertukaran kebudayaan. Pada semangkuk tinutuan dan miedal kita dapat menemukan jejak perjumpaan budaya, yaitu melalui tambahan tahu dan mie. Keduanya nanti didatangkan kemudian ke Minahasa namun membawa sejarah dan kebudayaan yang khas.
Bubur Manado justru adalah jejak Minahasa itu sendiri dalam kehadirannya bersama kebudayaan lain. Pada kata bubur, ada jejak beras yang diincar sejak zaman Spanyol di Minahasa. Pada kata Manado ada jejak sebuah tempat yang kosmopolit.
Bubur Manado dapatlah dikatakan mewakili kehadiran sebuah identitas yang khas dan unik dalam saling-silang kebudayaan. Ia adalah tinutuan, pedaal, miedal. Ia adalah Minahasa. (*)
Editor: Andre Barahamin