ESTORIE
Jejak Liberika Tomohon: Sejarah dan Kelahiran Baru di Elmonts
Published
1 year agoon
3 Juni 2023
“Kopi telah lama mendunia. Ia hadir dan berkembang bersama kebudayaan dari satu peradaban ke peradaban yang lain. Ia menjadi teman banyak kisah. Dari asmara, kenikmatan hidup, hingga revolusi di berbagai belahan bumi.”
Penulis: Rikson Karundeng
KAMIS, 25 Mei 2023. Sejumlah penikmat kopi tersentak. Ada sensasi baru yang bisa dinikmati di Elmonts Coffee & Roastery. Kedai tempat bersua para aktivis dan pegiat budaya di Kolongan, Tomohon.
Sang pemilik kedai menyajikan Liberika. Rata-rata mengaku baru pertama kali merasakan kopi jenis ini. Cirikhas nangka yang khas darinya sangat terasa.
Almontana Maesa Paat, mengisahkan kopi Liberika di kedainya pertama kali didapat dari seorang costumer yang biasa mampir ke kedainya. Pelanggan yang gemar minum kopi di Elmonts Coffee & Roastery. Sahabat musisinya yang bernama Irgi.
“Awalnya Irgi menginformasikan jika masih ada satu pohon kopi yang bertumbuh di depan rumahnya, di Kelurahan Wailan, Tomohon Utara. Hanya saja dia tidak mengetahui jenis kopi yang tumbuh di samping rumahnya itu,” kata Paat, sosok aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara yang biasa disapa Emon.
Informasi itu kemudian memantik energi positif dari jiwa kopinya. Emon dan Irgi lalu bersepakat untuk sama-sama mempelajari jenis kopi yang tinggi pohonnya sudah mencapai sekira 9 meter lebih itu.
Dari cerita yang didapat dari keluarga Irgi, pohon kopi di kaki Gunung Lokon itu sudah ada sejak zaman kakek dari kakeknya. Diperkirakan, kopi itu ditenam pada masa kolonial Belanda.
“Kami bisa pastikan itu, sebab kondisi pohonnya sudah seperti ‘tiang raja’ rumah. Kalau orang membangun rumah dan menggunakan tiang raja, pohonnya sudah sebesar itu. Buahnya tumbuh di cabang seperti buah mangga yang tumbuh di cabangnya. Buah kopi ini ada di cabang seperti itu,” ungkap Emon.
Pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan di memorinya mengisyaratkan jika itu kopi jenis Liberika. Sebab kalau jenis kopi Arabika dan Robusta, per ruas biasa muncul dua daun, baru muncul buahnya. Tapi kalau Liberika, dia punya identitas sendiri. Dia bisa tumbuh di batang primer dan batang sekunder.
“Batang primer itu yang tegak lurus dari bawah ke atas, dan sekunder itu yang seperti tangan. Dia bisa tumbuh di situ dan tidak di ruas, malah di batang. Itu ciri-ciri secara bentuk dari Liberika,” sebut Emon.
Analisa lain yang meyakinkan jika itu jenis Liberika adalah bentuk bijinya. Biasa kalau Robusta ada garis satu yang lurus di dalam. Kopi ini juga sama. Ada satu garis, tapi ukurannya lebih kecil dari Robusta. Bentuknya lonjong, kemudian sedikit lancip di atas.
“Dilihat dari buah memang Liberika kelihatan lebih besar dari Robusata dan Arabika. Tapi jika sudah dijemur, biji Liberika lebih kecil. Ini yang membedakan sehingga kita kemudian memastikan ini jenis Liberika,” ujarnya.
Pengujian selanjutnya semakin meyakinkan pendapatnya. Ketika melalui proses pasca panen seperti yang dipelajarinya dari para ahli di Kementerian Pertanian, rasanya betul-betul memiliki karakter seperti buah nangka.
Ia paham, karakter nangka ada pada Liberika dari sumber manapun. Sebab itu sudah jadi cirikhasnya. Mau di manapun, orang pasti bilang Liberika itu rasanya seperti nangka.
“Di Minahasa ada kopi salak, karena terbuat dari biji salak. Tapi ini memang karakter rasa betul-betul kopi nangka. Mau keliling di Indonesia, kalau ada kopi Liberika, karakternya pasti nangka,” tegasnya.
Sejarah Kopi di Minahasa
Kopi telah lama mendunia. Ia hadir dan berkembang bersama kebudayaan dari satu peradaban ke peradaban yang lain. Ia menjadi teman banyak kisah. Dari asmara, kenikmatan hidup, hingga revolusi di berbagai belahan bumi.
Hari ini, ada sejumlah jenis kopi yang akrab di dunia pengetahuan maupun ingatan rasa di ujung lidah setiap penikmatnya. Paling dikenal, ada jenis Arabika, Robusta dan Liberika.
Sejarah mencatat, kopi Arabika ditemukan di Ethiopia oleh orang-orang Arab. Karena itu, ia kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan nama Arabika. Sementara kopi Liberika, pertama kali ditemukan di Liberia.
“Liberika itu juga jenis tumbuhan liar di Afrika. Kopi jenis ini sangat langka. Sangat sedikit dan sulit dijumpai di seluruh dunia,” kata Almontana Maesa Paat.
Petani kopi dan pemilik kedai kopi di kota Tomohon ini menjelaskan, data yang ia kantongi, di Indonesia pasar kopi masih didominasi jenis Robusta.
“Dari hasil belajar tentang kopi, pasar di Indonesia paling banyak beredar Robusta. Ada sekitar tujuh puluh persen. Sementara Arabika itu sekitar dua puluh depalan sampai dua puluh sembilan persen. Sisanya itu Liberika. Liberika termasuk jenisnya yang lain, Excelsa,” jelasnya.
Sejarawan Sulawesi Utara, Ivan R.B. Kaunang, menjelaskan sejumlah data mencatat sejarah kopi di wilayah Nusantara bermula sejak 1696. Kopi masuk bersama dengan orang-orang Belanda yang datang ke wilayah Indonesia kini.
“Sejumlah data sejarah mencatat, di tahun 1706 biji kopi di Pulau Jawa sudah menjadi sangat populer. Itulah yang mebuat orang-orang Belanda terdorong untuk menanam kopi di berbagai daerah di Nusantara. Dari situlah bermula muncul beragam jenis kopi lokal,” kata Ivan.
Walau demikian, Ivan mengungkapkan ada data lain yang mencatat jika kopi telah menjadi produk unggul di Jazirah Utara Selebes sejak abad ke-16. Bahkan di masa itu telah menjadi komoditas ekspor ke daratan Cina.
“Di Minahasa, disebutkan jika kopi sudah ada sejak era Spanyol di abad ke-16. Data itu dicatat kartografer dunia bernama Nocolas Desliens. Waktu itu, Spanyol menjadikan Manado sebagai sentra niaga kopi bagi pedagang-pedagang Tiongkok. Jadi, kopi sudah diekspor ke daratan Cina ketika itu,” ungkapnya.
Menurut akademisi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi Manado ini, Belanda sendiri baru masuk bersama kopi ke daratan Sulawesi Utara kini setelah mengalahkan Kesultanan Ternate dan menutup akses Spanyol pada abad ke-17.
Dalam tulisannya tentang “Kopi dan Loji Remboken”, Ivan mencatat pada era Belanda, kopi ditanam di Minahasa tahun 1796. Bermula saat Ukung (Kepala negeri) Enoch Rambing kembali dari tugas di tanah Jawa. Ia membawa serta kopi dari Pasuruan, Jawa Timur. Kopi itu kemudian ditanam di Remboken. Inilah awal cerita kopi di wilayah Keresidenan Manado pada masa itu.
“Tahun 1817, jumlah rumpun kopi yang ditanam di sekitar Danau Tondano tercatat sudah sekira 80.000 pohon,” jelas Ivan.
Pada awalnya kopi di Minahasa dijual bebas. Kebanyakan dibeli pedagang Cina. Namun kondisi berbeda terjadi ketika pemerintah kolonial mulai memberlakukan cultuurestelsel (penanaman kopi wajib – paksa).
“22 Februari 1822, pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan. Sejak itu pemerintah mulai memonopoli perdagangan kopi di wilayah Keresidenan Manado. Harga mereka yang tentukan, semua kopi harus dijual ke mereka. Jika melakukan transaksi dengan pihak lain, penjual dan pembeli kopi akan dihukum,” ungkapnya.
Pemaksaan itu berujung perlawanan. Para petani di Minahasa tidak mau bekerja sama dan menentang pemerintah. Para petani tidak terima keharusan menanam kopi di lahan garapan milik mereka.
Para opziener cultuur atau petugas pertanian pun mengalam ketakutan. Mereka tak bisa menjalankan tugas karena dikejar-kejar petani. Gerakan itu berbuntut dicabutnya peraturan monopoli perdagangan kopi.
“Petani akhirnya boleh menjual kopi ke pedagang Cina, tapi harus menjalankan kewajiban membayar pajak penjualan kepada pemerintah,” kata Ivan.
Dijelaskan juga, tahun 1817 kopi awalnya masih berada di wilayah Distrik Remboken. Saat pemberlakukan tanam paksa oleh pemerintah kolonial, kopi sudah mulai meluas ke Distrik Touliang-Toulimambot dan Kakas.
“Tahun 1854, menyebar ke Distrik Tonsea, Langowan, Sarongsong, Tomohon dan Kakaskasen. Selanjutnya menyebar ke Distrik Sonder, Kawangkoan, Tompaso, Tombasian, Rumoong, Tombariri, Tonsawang Passan dan Distrik Ratahan,” paparnya.
Jejak Liberika: Dari Liberia ke Tomohon
Sejak kapan sebenarnya Coffea Liberica var datang ke tanah Minahasa, termasuk Tomohon? Tak banyak data yang boleh menjawab pertanyaan ini. Memang jenis kopi Liberika sejak dulu tidak banyak beredar di pasar internasional. Komoditasnya langka. Itu kenapa sedikit orang yang mengenal jenis kopi ini.
Pieter Bleeker dalam bukunya “Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel” yang diterbitkan di Batavia oleh Lange & Co tahun 1856, menjelaskan pada tahun 1820-an kopi mulai berkembang di Minahasa. Seiring dengan itu, muncul pemaksaan penanaman kopi kepada para petani.
Kopi akhirnya mengalami kemunduran di Minahasa sejak tahun 1879. Penyakit karat daun menghantam hingga menghancurkan perkebunan kopi di Minahasa. Kondisi memprihatinkan itu terus terjadi sampai tahun 1881.
Setelah itu, kopi jenis Liberika didatangkan ke Minahasa. Sayang nasibnya sama dengan kopi Arabika yang dihantam karat daun sebelumnya. Tahun 1907, bibit kopi Robusta didatangkan pemerintah Belanda ke wilayah Nusantara. Sejak masa itu pula jenis Robusta ditanam dan berkembang di Minahasa.
Menurut catatan banyak peneliti, kopi Liberika berasal dari Liberia, Afrika Barat. Dalam bukunya “Bercocok Tanam Kopi” (2010), Wahju Muljana mencatat kopi Liberika datang ke Indonesia sejak tahun 1875.
Kopi ini didatangkan untuk mengganti kopi Arabika yang rusak akibat penyakit karat daun. Namun, nasib yang sama dialami Liberika pada tahun 1907.
Sejarawan Ivan Kaunang mengatakan, eksistensi kopi di wilayah Nusantara hampir 200 tahun harus berujung tragis akibat Hemileia Vastatrix. Penyakit yang dikenal dengan karat daun itu menyerang, hingga mengakibatkan rusaknya seluruh perkebunan kopi di Nusantara. Perkebunan-perkebunan kopi di tanah Minahasa juga tak luput dari serangan itu.
Untuk menyiasati kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan, pemerintah Belanda mencoba mengganti jenis kopi yang ditanam. “Kalau sebelumnya para petani menanam jenis Arabika dari Malabar, India, kini diganti dengan Liberika. Sayang, kopi jenis ini juga tak mampu bertahan menghadapi karat daun yang terus mendera,” terang Ivan.
Tahun 1900-an, kopi jenis Robusta mulai diperkenalkan di daerah Jawa Timur. Robusta akhirnya bertahan. Kopi jenis ini terus meluas ke berbagai daerah di Nusantara, hingga ke tanah Minahasa.
“Kopi jenis Liberika itu sampai ke Minahasa, termasuk Tomohon, antara tahun 1875 sampai 1878. Sayang, kopi ini juga tak bertahan oleh penyakit karat daun. 1900-an, jenis Robusta sudah ada menggantikan Arabika dan Liberika di Minahasa,” terangnya.
Catatan Emon
Almontana Maesa Paat punya analisa dan catatan khusus mengapa kopi jenis Liberika tak bisa bertahan menghadapi penyakit dan pasar dunia. Menurut Emon, ada beberapa hal yang memungkinkan hal itu terjadi.
Kopi Liberika datang ke tanah Minahasa hampir di ujung abad ke-19. Awalnya karena jenis Arabika yang ditanam sebelumnya diserang penyakit. Menurut Emon, barangkali karena saat itu para petani dan pemerintah belum mengetahui bagaimana cara merawatnya agar tidak terkena hama atau penyakit.
“Tapi karena mereka juga tidak mau panjang lebar, tidak mau repot, makanya mereka cari varietas lain untuk ditanam dan diproduksi di Nusantara. Dibawalah Liberika sebagai pengganti kopi Arabika,” ujarnya.
Di Tomohon, Emon yakin memang jenis Arabika yang lebih dahulu ditanam. Karena wilayah ini merupakan daerah pegunungan. “Karakter Arabika hanya ada di konteks pegunungan. Karena itu kita jangan heran mendengar ada kopi Blue Mountain di Australia, Panama Gesha di Amerika Tengah. Kopi Arabika itu rata-rata ditanam di pegunungan,” terangnya.
Emon berpendapat, kopi Liberika hilang karena banyak faktor. Salah satunya ia terganti ketika Robusta ada.
“Jadi karena pasar. Kedua, waktu tumbuh. Bisa jadi dia lebih lama,” kata Emon.
Diakui, dirinya belum meneliti lebih jauh bagaimana pertumbuhan Liberika. Namun, ia menduga kopi jenis ini memang memerlukan waktu tumbuh yang lebih lama dari jenis lainnya.
“Robusta itu empat sampai lima tahun sudah jadi. Arabika, dua tahun sudah jadi. Liberika kenapa dia bisa tumbuh sampai sembilan meter seperti di Wailan, Tomohon, saya menganalisa sementara karena faktor waktu tumbuh dan berbuah lebih lama dari Robusta,” paparnya.
Emon memberi analogi, avokad jika dia tidak pakai setek, beberapa tahun baru berbuah. Pohon manggis juga kalau tidak setek, butuh beberapa tahun baru jadi. Demikian kopi jenis Liberika.
“Kecuali kalau kita mampu setek tanaman ini. Ini akan kembali ke spesiesnya, apakah bisa dikawinkan atau tidak,” ujarnya.
Ia mencontohkan, di Jawa ada pohon Robusta yang disambung dengan pucuk Arabika. Di atas ia kemudian berbuah Arabika, namun di bagian bawah tetap Robusta.
“Kalau Liberika saya belum tahu apakah bisa dikawinkan. Arabika itu tidak bisa dikawinkan dengan Robusta. Jadi akan kembali lagi ke spesies. Makanya di dunia ilmiah ada banyak istilah spesies. Karena kembali lagi ke faktor tadi, apakah dia jantan atau betina. Kalau ikan kan demikian. Jenisnya apa, apakah bisa dikawinkan atau tidak. Rata-rata makhluk hidup seperti itu,” urainya.
Emon diketahui kini sedang coba mengembangkan kopi Liberika Tomohon yang ditemukan di kaki Gunung Lokon beberapa waktu yang lalu. Ia sudah mulai menyemainya sejak sebulan yang lalu.
“Berpikir jika ini justru menjadi pohon satu-satunya yang masih ada di Tomohon, khususnya di Wailan, dan produksinya masih baru sekali, sekarang kita mulai membuat bibit baru. Mudah-mudahan bibit ini jadi dan bertumbuh baik,” ucapnya penuh harap. (*)
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan