ESTORIE
Jejak Naga di Kendeng Utara
Published
6 years agoon
By
philipsmarx15 Februari 2019
Oleh: Mokh. Sobirin
Direktur Yayasan DESANTARA
Ibu bumi wis maringi
Ibu bumi dilarani
Ibu bumi kang ngadili
TEMBANG “IBU BUMI” mengalun di tengah alun-alun Kota Pati, Jawa Tengah. Sembilan Perempuan berdiri sambil membawa kendi berisi air dan hasil bumi seperti jagung, padi dan ketela. Mereka tak sendiri. Seekor naga merah sepanjang tiga meter meliuk-liuk lincah mengelilingi mereka. Sementara ratusan orang lainnya berdiri mengelilingi. Siang itu alun-alun kota yang berslogan Pati Bumi Mina Tani itu menjadi riuh oleh doa warga Kendeng Utara.
Ritual ini lanjutan dari aksi malam sebelumnya ketika ribuan warga berjalan kaki sejauh lebih dari tigapuluh kilometer dari Kecamatan Kayen. “Panjang sekali rombongan pejalan itu mas,” kata Kris yang turut menyambut iring-iringan pejalan kaki saat melintas di desanya. Puluhan orang bersolidaritas memberi air dan makanan ke para peserta aksi. Ratusan orang yang berjalan sambil membawa obor juga memberi kesan lain ketika digambarkan dari sudut yang berbeda.
“Saat kupotret memakai drone, iring-iringan malam itu seperti naga,” tambah Ali yang terbiasa memotret dari udara menggunakan drone.
Bukan Sekedar Batu Gamping
Pegunungan Kendeng Utara adalah salah satu dari tiga jajaran pegunungan kapur besar yang ada di pulau Jawa. Perbukitan ini memanjang di bagian utara Jawa dengan luas mencapai ribuan kilometer persegi. Secara geologis, rangkaian pegunungan ini membentang dari Jawa Tengah hingga di ujung pulau Madura di Jawa Timur. Sifat batuannya yang mudah larut -biasa disebut sebagai proses karstifikasi, membuat kawasan ini menjadi penyimpan air alami yang cukup baik. Proses ini pula yang membuat terbentuknya banyak goa dan sungai bawah tanah. Berlimpahnya air yang didapatkan dari Pegunungan Kendeng Utara menjadikan area ini sebagai area pertanian terluas di Kabupaten Pati. Namun pemerintah daerah melihat pertanian bukan sebagai bentuk ekonomi masa depan karena mereka menjadikan industri pertambangan sebagai pilihan.
Rencana pembangunan pabrik semen telah mengubah wilayah Pati Selatan menjadi wilayah panas yang penuh ketegangan. Pemerintah daerah dengan dukungan beberapa korporasi besar, baik nasional maupun multinasional, berencana membuka penambangan besar di wilayah yang dikenal sebagai area pertanian tersubur di Kabupaten Pati ini. Kengototan pemerintah terlihat dari perubahan regulasi peruntukan kawasan dari yang semula untuk kawasan pertanian dan pariwisata diubah menjadi kawasan industri dan pertambangan. Kebijakan yang semakin jauh dari ide pelestarian.
Sementara di sisi lain puluhan ribu petani menggantungkan kehidupan dan penghidupannya dari kawasan perbukitan kapur ini.
“Uang hasil menjual tanah kepada perusahaan tambang akan cepat habis. Beda dengan lahan pertanian yang bisa kita olah untuk kita hari ini sampai Anak cucu kita,” kata Narti, salah satu perempuan petani yang terlibat dalam gerakan ini. Pengalaman keseharian mereka menjadi dasar bahwa tanah moyang mereka lebih layak untuk pertanian daripada tambang. Meminjam istilah Arjun Appaduari, batuan di Kendeng Utara tak hanya sekedar berupa perbukitan kapur. Namun, rangkai bebatuan tersebut juga memiliki nilai lain yang dihidupi oleh mereka yang berkepentingan terhadap Kendeng sebagai komoditas.
Pertarungan ide mengenai bagaimana Kendeng Utara dinarasikan searah dengan posisi politis masing-masing kelompok. Pemerintah daerah dan investor pembangunan pabrik semen melihat Kendeng layaknya batuan kapur di daerah lain yang bisa ditambang kapan saja. Sementara bagi Narti dan kawan-kawannya, Kendeng Utara merupakan tempat penting yang harus mereka lindungi. Bukan hanya karena menjadi sumber air yang penting bagi kehidupan dan penghidupan mereka, namun juga karena menjadi bagian penting dalam narasi tentang hubungan antara bumi, manusia dan mahluk lain yang menghuninya.
Mencari Jejak Naga
Selain teks geologi, nama Kendeng juga disebut dalam teks kuno seperti babad Pati atau babad Badrasanti. Tak begitu jelas bagaimana nama ini hadir jika ingin merunut sejarah penamaannya.
“Dalam sejarah pewayangan disebutkan bahwa Kendeng ini adalah tumpukan batu yang dipakai Sri Rama untuk membendung samudera agar bisa menyerang Alengka,” jelas Yanto, seorang paranormal yang juga aktif dalam gerakan Kendeng.
Selain itu, masih menurut Yanto, ada juga versi lain mengenai nama Kendeng.
Kisah ini bermula ketika Sunan Kalijaga memerintahkan Raden Mas Cakrawijaya untuk menunggui tongkatnya selama tujuh tahun sebagai bentuk baktinya kepada sang guru. Dari peristiwa teKEN (tongkat) yang dipanDENG (dilihat) inilah nama Kendeng mulai digunakan.
Kendeng merekam banyak lapisan mitos mulai dari zaman pewayangan, zaman kerajaan majapahit sampai cerita mengenai penyebaran agama Islam. Terlihat dari masih banyaknya tempat keramat yang terus dikunjungi oleh banyak peziarah. Beberapa tempat yang sering dikunjungi peziarah diantaranya pertapaan Dewi Kunti, makam Syekh Jangkung, makam Nyi Ageng Ngerang dan makam Ki Ageng Sela yang menjadi leluhur kerajaan Mataram Islam.
Ki Ageng Sela dikenal dengan kesaktiannya karena dapat menangkap petir. Petir yang digambarkan seperti naga itu sempat diikat di pekarangan dan menjadi tontonan warga desa.
Cerita lain yang menyebut tentang naga ada di Desa Mlawat, Kecamatan Sukolilo. Di desa yang berada di kaki Bukit Kendeng Utara ini terdapat sebuah situs yang dipercaya sebagai makam Angling Dharma, raja kerajaan Malwapati. Angling Dharma adalah sosok yang dikenal memiliki kesaktian dan karenanya mampu berkomunikasi dengan segala macam binatang. Ia memiliki naga pengawal bernama Nagaraja yang juga dikenal tak kalah sakti dari Angling Dharma.
Menurut kepercayaan penduduk lokal, Angling Dharma kemudian mangkat dan dimakamkan di desa Mlawat. Tak jauh dari situs tersebut, tepatnya di sebelah selatan makam, terdapat sebuah sumur bernama Jolotundo. Tempat ini dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai sumur tempat menghilangnya sang naga, Nagaraja.
Kisah tentang naga Kendeng sayup-sayup didengar dari banyak cerita sesepuh.
Seperti Gunarti yang mendengar cerita tentang Naga Kendeng dari leluhurnya. “Suatu hari Mbah Tarno, kakekku, pernah menceritakan tentang Kendeng yang memanjang seperti naga yang sedang tidur,” katanya. Beberapa orang meyakini naga sebagai makhluk astral yang menjadi penjaga Kendeng.
Prianto, salah seorang sosok utama di balik gerakan warga menolak pabrik semen, juga pernah mendengar kisah dari tetangganya tentang naga yang terbang di atas desa. “Tetanggaku pernah melihat naga yang terbang di sini. Air liurnya menetes seperti tetesan api,” katanya.
Keberadaan cerita naga dilihat secara berbeda oleh para speleolog yang meneliti sungai bawah tanah di Kendeng Utara.
“Kami percaya bahwa warga memiliki narasi tersendiri mengenai Kendeng Utara. Bisa Jadi mereka menggambarkannya sebagai naga,” kata Widja pada sebuah kesempatan.
Namun pengalaman berbeda didapat oleh Trasa, seorang speleolog yang suatu waktu pernah menemukan seekor ular besar di Goa Gondang.
“Saya pernah memasuki goa yang ada di Kendeng, saat itu masuk ke sebuah goa berair. Saya dan beberapa teman yang masuk ke goa merasakan ada seekor ular besar yang lewat di sekitar kaki kami,” tambahnya. Menurutnya ini dapat menjadi pengetahuan baru bagi para speleolog yang selama ini meyakini bahwa tidak ada ular besar di kawasan karst.
Cerita tentang naga Kendeng terus meluas dengan bertambahnya banyak kesaksian tentang warga yang melihat, bermimpi atau mendengar suara yang diyakini berasal dan merupakan bukti tentang keberadaan naga.
Seperti yang dialami Jum dan Bambang ketika melihat kepala naga besar dengan mahkota. Beberapa orang meyakini mereka telah ditemui oleh naga penjaga Kendeng.
“Kalau saya awalnya takut. Tapi kemudian menjadi paham bahwa naga itu bukan hanya mitos. Naga itu ada dan memberi pesan pada kami,” kata Jum yang terlibat dalam gerakan menolak berdirinya pabrik semen yang akan menghancurkan pegunungan karst sejak tahun 2009.
Para peneliti pada abad ke-19 melihat mitos sebagai hal di luar fakta atau sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Namun pada periode berikutnya terdapat perubahan cara pandang terhadap mitos. Pada periode ini mitos dilihat sebagai cara pendokumentasian sebuah informasi atau data yang dikemas menggunakan bahasa-bahasa simbol.
Dalam penjelasannya mengenai mitos, Claude Levi-Straus menjelaskan bagaimana mitos memiliki struktur yang berbeda dalam menyampaikan pesan. Tidak seperti narasi dalam bahasa yang harus ada phonem, kata, kemudian kalimat, struktur mitos lebih mendekati struktur narasi musik. Bagian terkecil dari lagu adalah nada yang kemudian ketika digabungkan akan membentuk sebuah irama. Begitu pula dengan mitos yang tidak terlalu mementingkan struktur logika cerita namun lebih menekankan pada pentingnya keberadaan subyek atau bagian-bagian penting dari mitos yang mendukung sebuah pesan utama.
Beragam versi cerita naga seakan tak terlalu penting lagi untuk dikonfirmasi kebenarannya. Sebagai sebuah strategi advokasi, legenda mengenai naga Kendeng telah menjadi ruang negosiasi pengalaman keseharian warga akan Kendeng, pengetahuan tentang mata air dan semangat perlawanan terhadap korporasi tambang.
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa