FEATURE
Jin Kasuang dan Pemakan Manusia di Era Permesta
Published
6 years agoon
By
philipsmarx26 Februari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Praktik kanibalisme terjadi di masa pergolakan permesta. Daging manusia biasanya dimasak dengan bumbu Rintek Wu’uk, seperti mengolah daging anjing.
MASA PERGOLAKAN Permesta telah dimakan waktu hampir 61 tahun. Namun banyak cerita di balik perjuangan menuntut keadilan tersebut yang belum terkuak lepas. Dari kisah heroik “pahlawan tak dikenal”, cinta, pengkhianatan hingga cerita manusia memakan manusia (kanibal). Salah satu pasukan yang dikenal “buas” memburu manusia di wilayahnya ketika perang terjadi 1958-1961 adalah sosok-sosok dalam Batalyon R atau Batalyon Jin Kasuang.
Wilayah tugas Batalyon R/Jin Kasuang/WK.III/KDP-II ADREV-Permesta berada di ruas jalan antara Tomohon-Tondano. Batalyon pimpinan Mayor Frans Karepouwan ini sangat ditakuti, termasuk oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Lutut lawan bahkan kawan pasti bergetar jika melewati wilayah tersebut. Bukan hanya saat ’pergolakan’ di tahun 1958 sampai 1961, tapi hingga kini daerah ini masih dianggap menyeramkan oleh sejumlah orang.
Hampir semua patroli TNI di wilayah itu diserang setiap berpatroli. Banyak personil TNI hilang di daerah ini dan tak pernah diketahui lagi keberadaanya sekalipun telah dilakukan pencarian setelah perang Permesta. Gara-gara itu, Batalyon R ADREV-Permesta sangat ditakuti TNI. Teror Jin Kasuang seolah masih membekas di benak mereka.
”Daerah jalan Kasuang itu memang menakutkan sekali di zaman Permesta. Karena di situ daerah penghadangan pasukan Jin Kasuang terhadap pasukan TNI,” ungkap Sadrak Pahung, mantan anggota pasukan TNI dari Batalyon KODAM V/Brawijaya yang bertugas di Tondano kala itu.
Ingatan masyarakat masih kuat. Di mana korban baku tembak dengan Mayor Karepouwan Cs sering dibuang. Mayat mereka yang dianggap pengkhianat ikut menumpuk di tempat itu.
”Saya dan pasukan pernah datang ke daerah Kasuang untuk mencari jenasah teman-teman kami yang dihadang Jin Kasuang. Di jurang pas di bawah pompa PDAM sekarang, kami menemukan banyak mayat. Sepertinya itu memang menjadi daerah pembuangan mayat oleh pasukan Permesta di wilayah itu. Jujur saya dan teman-teman sedikit was-was ketika itu,” tambah Pahung, pensiunan TNI berusia 82 tahun.
Teror Jin Kasuang
Di kalangan pasukan Permesta, Batalyon R memang dikenal karena keberanian bertempur dan kengerian yang mereka timbulkan terhadap lawan. Salah satu teror menakutkan pasukan ini, mereka dikenal suka memakan manusia. Tentara Permesta di batalyon lain, masyarakat umum ketika itu tahu persis. Apalagi para pelaku sejarah yang pernah menjadi bagian dari Batalyon R.
Ada letupan-letupan keraguan yang muncul dari banyak pihak soal kebenaran cerita tersebut. Tapi tidak sedikit juga masyarakat yang menegaskan jika kisah kanibalisme itu masih kuat tersimpan dalam memorinya.
”Kita pernah dapa tugas dan baku dapa deng Mayor Karepouwan. Memang dia deng depe beberapa pasukan da gantong-gantong akang talinga manusia di leher. Banya yang bilang itu kata anggota tubuh orang-orang yang dorang ja makang,” kata Jus Pengemanan, tentara Permesta dari Batalyon B yang dikomandani Utu Pesik.
Pengakuan lain dituturkan salah seorang anggota pasukan Frans Karepouwan. Kisah kanibalisme itu dibenarkannya. ”Memang tidak setiap hari mar kita sering ba momasa daging manusia. Lengkali ja ragey, lengkali rubus bagitu,” terang LS alias Rens, anggota pasukan yang mengaku pernah ditempatkan di bagian dapur Batalyon R.
“Kita sebenarnya sempat mendaftar di Batalion Fredrik mar lantaran blum cukup umur, dorang nda trima. Dorang kwa memang ja seleksi ketat. Tambah kita pe kaka’ yang ada di Batalion itu nda kase kita mo iko prang. Dia suruh kita jaga orang tua di kampung. Dasar so suka skali pegang senjata, akhirnya kita pi di Batalion pimpinan Mayor Karepouwan. Pe trima, dorang kase di dapur pa kita,” tutur Rens.
Kengerian Perang Urat Saraf
Berbagai bentuk kengerian yang ditimbulkan Batalion Jin Kasuang bukan tanpa sebab. Perlakuan pasukan TNI terhadap daerah pendudukan dengan menyiksa tawanan sampai mati, melakukan pembunuhan terhadap rakyat sipil yang memberi makan pasukan Permesta, dan perkosaan di desa-desa, menjadi salah satu alasan.
Sumber menyebutkan, hal ini dilakukan pihak TNI karena semata-mata menutupi kekalahan mereka. Juga karena semakin banyaknya korban di pihak mereka dan perang tak kunjung dimenangkan oleh pasukan TNI atau pemerintah pusat, sekalipun TNI menguasai kota-kota strategis di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.
”Biasanya torang pe pasukan ’ja ambe’ tu anggota TNI deng pengkhianat Permesta. Apalagi pasukan TNI yang jelas-jelas basiksa rakyat, baperkosa penduduk. TNI juga nda ja seampung kalu dorang tau ada masyarakat yang basemakang tentara Permesta. Di Tondano, ada yang dorang tangka cuma karna dapa laporan ja semakang tantara Permesta kata. Ya, dorang siksa sampe mati. Coba tanya orang-orang tua di Wawalintoan, di dekat markas TNI dulu,” kata LS alias Rens.
“Di kalangan tantara Permesta banyak yang tau kalu tindakan sadis TNI itu karna dorang mo tutup tu kekalahan waktu itu. Kan so banya korban, prang nda klar-klar. Berbagai cara coba TNI mo biking supaya ini prang somo klar dan kemenangan ada pa dorang,” sambung Rens.
Tak hanya tantara TNI yang jelas-jelas adalah lawan, masyarakat Sulawesi Utara yang diketahui jadi mata-mata TNI ikut diburu. Komandan Batalyon R diakui sangat benci dan bersikap sadis terhadap mereka.
”Komandan paling marah tu pengkhianat. Makanya, kalu dapa biasa nda ja langsung eksekusi. Ja ambe akang sasadiki pa dorang. Mulai deri talinga tu ja baba dengar info kong tu jare baba tunjung orang-orang Permesta. Lengkali ja momasa ja ambe spanggal-spanggal. Dari tampa ba danging sama deng pala-pala. Itu jadi pelajaran pa dorang karna orang-orang rupa dorang tu tukang biking susah masyarakat deng tentara Permesta,” tutur Rens.
Pelaku sejarah lainnya menyebutkan, sebenarnya tidak semua anggota Batalyon R yang suka memakan manusia. Banyak juga yang sama sekali tidak mau makan daging manusia. “Cuma orang-orang terentu saja di pasukan batalyon Mayor Karepouwan (yang suka memakan manusia, red). Salah satu tu terkenal tu dorang pe algojo, Oce Karundeng. So dia tu ja ba ambe tentara pusat orang da lia-lia. Samua tu dia da ambe kamari, so nda bale sampe pergolakan selesai. Kita deng brapa masyarakat Koya deng Tataaran pernah lia bagimana tu tentara pusat dia langsung lolo akang jantung hidop-hidop kong dia makang,” terang Buang Politton, eks anggota pasukan Batalyon Fredrik.
Erwin Saderac Pioh, menulis jika pasukan Batalyon Jin Kasuang kemudian dapat ditertibkan akhir tahun 1960. Itu terjadi usai kunjungan Panglima KDP II/Minahasa, Kolonel (ADREV-Permesta) D.J. Somba ke markas mereka. Somba dengan tegas memperingatkan Karepouwan dan anak buahnya untuk menghentikan bentuk-bentuk perang urat saraf yang melampaui batas.
Pioh juga mencatat, dalam sebuah acara di tahun Januari 2004 di tempat ex-KSAD (ADREV-Permesta) H. N. V. Sumual, ex-Overstee (ADREV-Permesta) W. Sigar sempat mengungkap sebuah data. Sigar yang merupakan pensiunan Kolonel TNI menjelaskan, tak sedikit jumlah korban TNI di era Permesta. Korban signifikan yang pernah dilihatnya dalam arsip-arsip KOSTRANAS pada awal-awal 1980-an ketika ia bertugas di sana, dari total unit-unit TNI-AD yang bertugas di perang Permesta tercatat kehilangan kurang lebih 17.000 personil . Jumlah itu di luar dari mereka yang luka-luka dan invalid. Dalam rincian tersebut juga disebut ada beberapa batalyon dari KODAM V/Brawijaya di isi kembali personilnya 3 sampai 4 kali. Pernah ada batalyon tersisa 1 kompi jumlah personilnya dari awal diberangkatkan dari pulau Jawa. Bahkan ada kompi dalam batalyon yang pernah tinggal komandan kompinya yang hidup.
Pemakan Manusia di berbagai Batalyon
Praktek kanibalisme di masa Permesta tidak hanya terjadi di Batalyon Jin Kasuang. Ada pasukan lain di luar mereka yang melakukan tindakan serupa. Sejarawan Minahasa, Bodewyn Talumewo menegaskan hal tersebut.
“Ada juga di batalyon-batalyon lain yang suka memakan manusia. Tapi hanya oknum-oknum tertentu. Selain memang karena kondisi perang yang sulit makanan tapi terutama itu dilakukan untuk menakut-nakuti musuh,” jelas Talumewo yang dikenal intens melakukan penelitian soal Permesta.
Buang Politton membenarkan jika memang ada banyak pasukan Permesta yang dikenal suka memakan daging manusia. “Pernah satu ketika torang satu pleton dari Batalyon Mayor Fredrik datang melakukan pembicaraan dengan Batalyon D atau Batalyon Sambar Nyawa pimpinan Mayor Dan Karamoy, di dekat cot Kumelembuai Tomohon. Torang nda ta makang di sana karna torang tau ada di antara pa dorang yang ja makang manusia. Lengkali tu daging manusia dong so campur di makanan. Terbukti, pas dorang kase saguer pa torang waktu itu, so terakhir tumpa kong kaluar kamari tu talinga-talinga orang di bulu saguer,” ungkapnya.
Perilaku yang sama juga sering diperagakan beberapa orang dari pasukan combat intelejen, Kompi Lahe. “Torang pernah bersua di Parepei Remboken deng pasukan Lahe. Depe pasukan memang banya tu dapa tako lantaran tu talinga deng jare orang dorang so biking kalong. Torang tau ada pa dorang memang tu ja makang orang lei,” kisah Politton.
Kisah kanibalisme lain dikuak Eddy Mait, eks Komandan Kompi 2 di Batalyon Tarantula pimpinan Boy Potu. Awal “pergolakan”, pasukan yang mendiami wilayah Woloan dan Tara-tara Tomohon ini ternyata “gemar” menikmati daging manusia. Para terduga mata-mata jadi sasaran utama.
“Mereka yang dilapor mata-mata, ditangkap malam hari. Sesudah itu dibawa dan dibantai di Golgota. Golgota itu markas pasukan yang berada di puncak Gunung Lokon. Jalur naik ke atas itu melalui Desa Kayawu,” terang Mait.
Ia juga mengurai secara rinci bagaimana daging manusia sampai menjadi santapan ketika itu. “Biasa yang lebih dulu dimasak isi perutnya. Soalnya paling gampang bla ko angka depe horen. Empedunya dibuang. Paling pokok, bumbunya. Rica musti sebanya kong kase akang sarimbata deng goraka. Ato biking bumbu RW (Rintek Wu’uk, istilah orang Minahasa yang menunjuk ke masakan daging anjing, red). Sarimbata biasa ja seilang depe rasa anyer. Rata-rata pasukan makang. Mar tu rasa jijik nda paksa,” tuturnya.
Diakui Mait, kondisi itu terjadi pada pasukannya di awal-awal “pergolakan” dan pasukan Permesta dilanda kesulitan makanan. “Itu terjadi waktu baru ‘maso utang’. Pas mulai susah-susah makanan. Setelah pasukan sudah teratur, jika menangkap orang harus diserahkan dulu ke staf komando melalui Bidang Staf Satu. Mereka yang akan memutuskan tahanan akan diapakan. Sebelumnya memang masih liar, tiap anggota prenta diri sandiri,” ungkap Mait.(*)
Editor: Andre Barahamin
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan