Connect with us

BERITA

Kamisan Manado, Gerilya Kemanusiaan Melawan Penggelapan Kebenaran

Published

on

14 September 2023


Penulis: Raiza Makaliwuge


MANADO, Kelung.id – Aksi Kamisan kembali digelar. Jaringan mahasiswa, sejumlah aktivis dan warga yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), bersuara lantang. Mereka menuntut negara menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan yang terjadi di masa sekarang.

Aksi ini digelar di zero point Manado, Sulawesi Utara (Sulut), Kamis, 14 September 2023.

Dari orasi dan poster-poster yang terlihat di lokasi aksi Kamisan ini, massa aksi tidak hanya mengangkat isu-isu pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Isu-isu pelanggaran HAM yang masih hangat dan yang sedang terjadi di Indonesia juga disuarakan. 

Tidak hanya kasus-kasus nasional, sederet kasus yang terjadi di wilayah Sulawesi Utara juga diangkat. Seperti penggusuran lahan petani yang terjadi di Desa Kalasey Dua, Kecamatan Mandolang dan di Kelelondey, Langowan, Kabupaten Minahasa, serta kasus penggusuran di Singkil Dua, Manado.

Salah satu massa aksi, Henly Rahman, menyebutkan kasus yang ada di Kalasey Dua bukan hanya tentang penggusuran sepihak yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak Politeknik Parawisata, tetapi katanya di saat penggusuran 7 November 2022 yang lalu juga terjadi kekerasan oleh aparat kepolisian dan Polisi Pamong Praja (Pol-PP) kepada warga yang ingin mempertahankan perkebunan mereka.

“Kami tidak hanya membawa isu-isu nasional, tetapi kami juga membawa isu-isu lokal yang terjadi di Kalasey Dua, Likupang, Kelelondey, dan Singkil Dua. Juga isu-isu kekerasan aparat kepada warga,” kata Rahman.

Para mahasiswa dan aktivis yang menyatu dalam gerakan ini meyakini Aksi Kamisan sangat penting. Salah satu jalan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.

“Menurut kita Aksi Kamisan itu bentuk torang pe perjuangan. Karena kalo mo berjuang-berjuang di media sosial, bisa jadi boleh mo dilaporkan pencemaran nama baik dan sebagainya. Jadi menurut kita, Aksi Kamisan itu jadi salah satu jalan torang menyuarakan torang pe aspirasi,” kata Syifa, yang tampak bersemangat menyuarakan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Syifa pun berharap, ke depan akan lebih banyak lagi orang bergabung dalam gerakan ini dan sadar bahwa Aksi Kamisan penting untuk terus dilanjutkan sebagai ruang penyampaian keresahan dan aspirasi masyarakat.

“Berharap banyak orang yang tergabung dan banyak juga orang sadar bahwa Aksi Kamisan itu penting ternyata,” tutupnya.

Inisiatif Untuk Membangun Kesadaran

Empat tahun sudah Aksi Kamisan lantang bergema di Tanah Nyiur Melambai, Sulawesi Utara. Gerakan ini pertama kali dideklarasikan di Manado pada 19 September 2019. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, jadi inisiator. 

“Aksi Kamisan diinisiasi LBH Manado, terus torang undang jejaring untuk terlibat di kegiatan Kamisan. Itu depe cikal bakal Kamisan Manado. Cuman torang nda mengklaim kalo LBH Manado yang jadi depe deklarator,” ujar Satriano Pangkey dari LBH Manado.

Dijelaskan, Aksi Kamisan ini didorong dengan tujuan untuk membangun kesadaran bersama dalam perjuangan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM.

“Depe tujuan Aksi Kamisan untuk membangun kesadaran dengan gerakan tentang upaya menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sampe sekarang tak kunjung diselesaikan,” jelasnya.

Apalagi dalam konteks Sulawesi Utara kini, diakui semakin marak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat.

“Di konteks lokal (Sulut), nda lepas dari penilaian torang akhir-akhir ini semakin marak warga menjadi korban pelanggaran HAM lewat penggusuran, perampasan ruang hidup rakyat, petani, masyarakat adat, kekerasan oleh aparat, dan pembungkaman kemerdekaan berpendapat. Prinsipnya, Aksi Kamisan merupakan gerilya kemanusiaan, melawan penggelapan kebenaran,” tegas Pangkey.

Diketahui, secara nasional Aksi Kamisan pertama kali dimulai pada 18 Januari 2007. Para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat turun jalan menyuarakan keluh dan derita mereka pada aksi pertama itu. 

Para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat melakukan aksi dengan mengenakan pakaian dan atribut serba hitam. Mereka menuntut agar negara melaksanakan tanggung jawab untuk menuntaskan kasus HAM berat di Indonesia, seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok dan Tragedi 1965. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *