CULTURAL
Kampung Cina Manado: Negeri Para Pendekar “Garuda Putih”
Published
6 years agoon
By
philipsmarx05 Februari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Dari kampung tua ini lahir banyak perguruan kung fu, negeri para pendekar
DI KOTA MANADO, terdapat sebuah pemukiman tua. Rata-rata bangunannya berarsitektur khas. Masyarakat mengenalnya sebagai Kampung Cina.
David G. Khol dalam Chinese Architecture in Tahune Straits Settlements and Western Malaya (1984), menyebut itu sebagai arsitektur Tionghoa. Model bangunan di daerah Pecinan sebelum tahun 1900. Bentuk atap, elemen-elemen struktural yang terbuka yang kadang-kadang disertai dengan ornamen ragam hias, dan penggunaan warna yang sangat khas.
Jejak orang Tionghoa di Indonesia memang ada dimana-mana. Tak ada data yang menuliskan secara pasti sejak kapan kisah itu dimulai. Peninggalan tembikar, prasasti hingga perkampungan orang-orang Tionghoa di seluruh Indonesia menjadi bukti. Penemuan-penemuan itu menunjukkan, hubungan antara masyarakat di wilayah Nusantara dengan orang-orang dari negeri Tiongkok telah terjalin sejak lama.
Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008) menulis, berdasarkan cerita Dinasti Han, pemerintahan Kaisar Wan Ming (1-6 SM) telah mengenal Nusantara dengan sebutan Huang Tse. Pada abad kesembilan, di masa Dinasti Tang (618-907) banyak orang Tionghoa yang berdatangan ke wilayah Nusantara untuk berdagang dengan tujuan mencari kehidupan baru. Di masa kerajaan Airlangga, telah ditemukan koloni orang Tionghoa di Tuban, Gersik, Jepara, Lasem dan Banten.
Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki kawasan pemukiman Tionghoa, lazim disebut Pecinan. Di jazirah utara Selebes, jejak orang-orang Tionghoa tergurat jelas di Kampung Cina Manado. Sebuah wilayah di ibukota Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
F.E.W. Parengkuan dalam buku Sejarah Kota Manado 1945 – 1979 mencatat, Kampung Cina di Manado telah ada sejak zaman kolonial Belanda pada abad delapan belas. Lokasi pemukiman itu terletak di sebelah timur benteng Fort Amsterdam – daerah Jumbo Swalayan saat ini, berseberangan dengan lokasi permukiman orang Eropa. Pada abad itu, oleh pemerintah kolonial Belanda, orang-orang Cina digolongkan dalam kategori penduduk Timur Asing atau Vreemde Oosterlingen. Pada zaman ini, pemerintah melakukan segregasi berdasarkan latar belakang rasial. Tujuannya agar wilayah – wilayah tersebut mudah diatur.
Pada waktu itu, Kampung Cina berdiri di antara perkampungan lain. Baik yang dihuni oleh penduduk setempat, orang Minahasa maupun orang-orang Arab dan Eropa. Di Utara ia berbatasan dengan Walak Manado, Timur dengan Kampung Arab, Selatan dengan pemukiman Eropa, dan di Barat dengan Benteng Fort Amsterdam.
Sejarawan Sulut, Ivan R.B. Kaunang menjelaskan, Kampung Cina Manado adalah sebuah perkampungan yang mempunyai ciri khusus. Masyarakatnya merupakan masyarakat yang mobil (aktif).
“Kampung Cina mempunyai peranan dalam perkembangan dan pertumbuhan Kota Manado. Baik dalam pembentukan karakter kota Manado, rumah dan bangunan tua berciri khusus seperti klenteng, vihara serta tradisi, dan terutama berperan di sektor ekonomi,” kata Kaunang.
Orang Manado memberinya nama “Kampung Cina” karena umumnya didiami oleh orang-orang keturunan Tionghoa.
“Lahirnya Kampung Cina tidak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan pemerintah kolonial ketika mendirikan benteng di seputar pelabuhan Manado sekarang. Untuk mendirikan benteng, pemerintah kolonial memerlukan para pekerja, tukang yang didatangkan dari berbagai penjuru Nusantara. Di antaranya orang-orang Tionghoa,” terang Ketua jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ini.
Para tukang itu kemudian membentuk satu perkampungan. Bergabung bersama dengan para pedagang Tionghoa di sebelah timur dari lokasi benteng yang dikemudian hari disebut Kampung Cina. Endogami atau perkawinan di antara mereka, melahirkan anak cucu dan menjadikan Kampung Cina semakin luas. Di masa itu, pemerintah kolonial memberi peran kepada orang Tionghoa sebagai pedagang perantara antara penduduk pribumi (Minahasa) dan pemerintah kolonial.
“Eksistensi Kampung Cina semakin jelas, ketika penataan pemukiman dilakukan oleh pemerintah kolonial berdasarkan asal-usul. Seperti adanya Kampung Belanda, Kampung Arab dan Kampung Ternate. Pada umumnya, orang Tionghoa hidup sebagai petani di daerah asal, akan tetapi di Indonesia sebaliknya hampir sepanjang sejarah bangsa Indonesia, mereka hidup terkonsentrasi dengan kokoh di kota-kota besar maupun kecil dan menguasai perekonomian. Tidak terkecuali di Kota Manado,” terang Kaunang.
Direktur Institut Kajian Budaya Minahasa (IKBM) ini juga memaparkan, modal utama yang dimiliki orang-orang keturunan Tionghoa ini adalah tekad dan kemauan yang keras untuk mempertaruhkan nasib dengan harapan mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Embrio Berbagai Perguruan Seni Beladiri
Kampung Cina Manado, salah satu perkampungan di Kota Manado yang mempunyai ciri khusus. Salah satu sisi menarik yang barangkali luput dalam ingatan, di sinilah tempat lahir berbagai komunitas atau organisasi olahraga. Terutama olahraga beladiri.
Perguruan-pergurun beladiri di Kampung Cina Manado telah banyak menghasilkan para pendekar dan ”suhu” nomor wahid dalam dunia silat dan perkungfuan. Baik di Sulut maupun di Indonesia secara umum. Tidak sedikit pendekar dari berbagai belahan dunia, termasuk dari wilayah lain di Indonesia, yang belajar di Kampung Cina Manado.
“Salah satu identitas yang tersisa dari Kampung Cina adalah olahraga beladiri Wu Shu atau Kun-Fu. Di era tahun 1970 – 1990-an, olahraga yang satu ini tumbuh subur bersaing sehat dengan olahraga sejenis lainnya seperti tinju, karate, tae kwondo,” ungkap Kaunang.
Sejumlah perguruan bela diri lahir dan besar dari kawasan Pecinan Manado. Di antaranya perguruan Lo Pa Kong, Naga Kuning, Naga Hijau, Sakura Yudo Kwan, PORBISI Garuda Putih dan sebagainya. Beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini. Tetap eksis walau latihannya tertutup dengan dunia luar. Namun ada pula yang secara terbuka seperti Perguruan Garuda Putih. Perguruan terkenal dengan guru besarnya, almarhum Ku Seng.
“Seni beladiri (Perguruan Garuda Putih) yang satu inipun hampir punah. Sebenarnya, olahraga seni beladiri yang satu ini adalah khas Manado. Lahir dan tumbuh dengan penyesuaian-penyesuaian, olah kreatif dan tidak sama persis bahkan jauh dari perkiraan master-master Kun-Fu Tiongkok yang berkunjung ke Manado. Olahraga yang satu ini masih tumbuh, langka dan heran masih ada di Manado,” terang alumnus Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Majunya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni akibat globalisasi, memberikan banyak tawaran kepada generasi muda. Khususnya generasi muda di kawasan Pecinan Manado. Mereka hampir tidak lagi mau melestarikan warisan leluhur, seperti beladiri khas Perguruan Garuda Putih. Generasi hari ini sibuk dengan pelatihan manajemen, kursus komputer, bahasa Inggris dan usaha bisnis lainnya.
“Kalau dulu melalui sponsor Dinas Pariwisata, Kota Manado pernah memiliki pakaian khas Kota Manado, ada juga makanan khas Manado, dan berbagai kekhasan lainnya. Tidakkah juga Manado memiliki kekhasan olahraga beladirinya sendiri? Kita saja belum mengakuinya atau mungkin tidak peduli. Beberapa jurus seperti Tangtui, Loi Lo, Bu Tong dan permainan senjata serta kuncian atas, tengah, dan bawah masih hangat di ingatan saya,” ucap Kaunang dengan nada bergurau.
Persaudaraan Olahraga Beladiri Sulut Indonesia atau Porbisi ‘Garuda Putih’ merupakan salah satu perguruan yang cukup dikenal. Perguruan ini lahir pada tanggal 1 Januari 1967. Pada awalnya, beladiri ini masih diajarkan dalam lingkungan keluarga dekat. Kemudian berkembang khusus pada mereka yang warga keturunan Tionghoa. Latihannya pun di ruangan tertutup dan tidak sembarang orang diterima untuk menjadi murid, karena latihannya yang cukup keras dan disiplin.
Di Tahun 1970-an, untuk pertama kalinya mulai diterima murid yang bukan dari keturunan Tionghoa. Perguruan ini pun semakin maju dan mampu menguasai dunia persilatan di Kota Manado dan sekitarnya. Membicarakan perguruan ini, tidak terlepas dari nama Guru Besarnya, Ku Seng. Para muridnya mengakui, sosok ini dapat disejajarkan dengan para pendekar film, seperti Fu Shen, Jacky Chan dan Jet Lee.
“Para murid, biasa memanggil dengan sapaan ‘Ko’ dan atau ‘Suhu’. Dengan kerja kerasnya dan motivasi yang kuat, perguruan ini berkembang pesat. Salah seorang muridnya bernama Ko Sunche, mengembangkannya dengan mendirikan Seni Barongsai Nisaido Manado awal tahun 2001. Ini turut memperkaya khazanah identitas yang tersisa dan hampir punah dari Pecinan Manado,” tandas Kaunang.
Karakteristik dan Potensi Pariwisata
Kampung Cina Manado memiliki potensi luar biasa. Kota tua yang menyimpan kisah historis menarik dengan identitas masyarakatnya yang khas. Unik dan memiliki daya pikat. Ivan R.B. Kaunang menegaskan, identitas itu menunjuk pada jati diri masyarakat Kampung Cina itu sendiri dan Manado sebagai satu kota peninggalan kolonial.
Menurutnya, untuk mengembangkan dunia paiwisata Sulut, Kota Manado, hal ini perlu diperhatikan. “Kampung Cina adalah bagian dari Kota Manado dan mungkin pada generasi selanjutnya hanya tinggal nama. Mengapa? Tidak serius pemerintah kota menata Pecinan sebagai satu lokasi yang berkarakteristik khusus. Padahal masyarakatnya mampu untuk bekerjasama membangun sekitar lokasi. Seharusnya, daerah Pecinan menjadi lokasi wisata utama atau alternative. Tergantung bagaimana renstra Manado dalam pengembangan pariwisata. Pemerintah melalui Dinas Pariwisata harus mampu menciptakan image atau ikon wisata yang dapat membuat wisatawan lama tinggal,” tegas Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana ini.
“Misalnya, kalau wisatawan ke daerah ini, kemudian mengunjungi Bunaken tanpa mengunjungi Pecinan, berarti belumlah lengkap kunjungan wisatanya. Kelengkapan aksesoris wisata perlu ditambah seperti nama tokoh dan nama jalan kawasan Pecinan menggunakan kaligrafi Cina dan di bawahnya diberi arti bahasa Indonesia. Depan tokoh dan rumah diberi aksesoris ketionghoaan untuk memberi kesan berbeda dengan pemukiman lainnya,” jelasnya lebih lanjut.
Kenyamanan lainnya perlu difasilitasi, seperti tidak diperkenankannya mobil angkutan umum melintasi kawasan percontohan wisata ini, perparkiran di luar kawasan, sistem keamanan yang baik, kebersihan, dan tersedianya bermacam-macam barang khas Tionghoa tempo dulu.
“Misalnya lokasi atraksi barongsai, kung fu pada hari-hari khusus, tradisi upacara toapekong bulan Februari menjadi kalender wisata yang tetap, serta tradisi lainnya. Di samping tersedianya sejumlah restoran, kue, mie lalo-lao, dan bakpao, toko obat, shinse, pokoknya seperti layaknya memasuki dunia fantasi. Bagaimana diciptakan suasana yang memiliki kemiripan suasana Tiongkok, Hongkong atau paling tidak kekhasan yang tidak ada duanya. Di samping itu, kelokalan Tionghoa-Manado, kelokalan Tionghoa-Minahasa perlu dipertahankan. Pendeknya, bagaimana menciptakan kesan bagi wisatawan sehingga mau kembali lagi ke Pecinan di Manado,” papar Kaunang.
Dosen Pascasarjana UNSRAT ini berpendapat, di kawasan Pecinan Manado dapat juga diciptakan semacam diorama, museum kecil yang dapat menggambarkan sejarah perjalanan orang-orang Tionghoa pertama kali tiba di Manado. Termasuk lokasi foto tempo doeloe, dan berbagai kerajinan ekonomi kreatif “tanda” ketionghoaan yang bisa jadi oleh-oleh atau souvenir. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Tangan Kapitalis-Oligarki di Pusaran Polemik Pertambangan dan Pelanggaran HAM
-
Kamisan Manado, Gerilya Kemanusiaan Melawan Penggelapan Kebenaran
-
Korban Penggusuran Singkil Menjerit
-
Menyelami Parepei dan Wale Mapatik, Menguak Rahasia Sejarah
-
Jejak Liberika Tomohon: Sejarah dan Kelahiran Baru di Elmonts