GURATAN
Kampung, Kota, atau Negara Tanpa Cita-Cita
Published
5 years agoon
By
philipsmarx14 Maret 2019
Oleh: Daniel Kaligis
Jurang antara si kaya dan si miskin menganga lebar menertawakan pemimpinnya dan semakin terpingkal-pingkal sejak Djoko Chandra minggat sampai sekarang
MENULIS, mengumpul data, melancong, memotret, membaca, siuman ketika orang lain mendengkur, itu saya pada situasi tertentu.
Masak, angkat pesanan air kemasan ke warung-warung, mendatangi kawan-kawan sekitar tempat tinggal, berkisah dengan mereka tentang banyak hal, bangun kesiangan. Itu juga saya, walau tidak selalu.
Obrolan Kawan Tukang Becak
Punya teman beberapa tukang becak tukang parkir. Minggu kemarin, agak sore saya melintas Jl. Sungai Pareman, Kota Makassar dan berhenti sebentar ngobrol dengan Sudirman.
“Sedikit-mi orang yang mau naik becak sekarang. Semua beralih ke angkutan online,” kata dia dengan dialek Makassar.
Sudirman sering menyapa saya bila saya melintas berjalan kaki. “Tidak pakai becak-ki boss,” ujarnya dengan nada tanya.
Bila saya menumpang di becaknya dia lanjut bertanya, “Mana motor-ta?” Saya bilang, “motor ada di rumah, sekali-sekali perlu jalan kaki supaya kaki masih terpakai dan tidak dipotong untuk dicampur di sup.”
Kawan satu ini sering memarkir becaknya di samping tukang cuci kiloan Jl Sungai Pareman. Kalau tidak ada penumpang, dia menjadi tukang parkir di sekitar lokasi dia menempatkan becaknya. Kerap saya bertanya tarif sekali jalan untuk jarak terdekat, hingga biaya hidup mereka.
Sudirman cerita, istrinya bekerja apa saja di rumah. Kadang istrinya menerima cucian dari tetangga yang sudah jadi langganan, juga membuat kue. Anak dia dan istrinya ada lima. “Itu yang jualan jalangkote keliling-keliling di sini, anak saya ji itu,” umbar Sudirman seraya menatap saya yang menawari dia makan di warung ikan bakar di perempatan arah Jl. Gunung Latimojong. “Saya makan saja di rumah,” katanya sambil tersenyum.
Dari ceritanya saya mengerti mengapa dia menolak ketika diajak makan di warung ikan bakar itu. Sepotong ikan bakar harganya delapan ribu rupiah. Sepiring nasi ikan dan sup daging di situ boleh didapat dengan uang lima belas ribu rupiah.
“Makan di luar rumah lumayan mahal, uang boleh ditabung. Belanja untuk lauk sehari tidak cukup seratus ribu, kami enam orang di rumah sudah cukup,” urai Sudirman.
Berapa uang boleh disimpan dari penghasilannya, saya enggan bertanya soal itu, sebab Sudirman bilang sendiri, “Ada saja kebutuhan mendadak, jadi belum ada uang disimpan, semua terpakai, malah kurang. Memang saya punya becak, tapi kami harus beli gas, beli beras, beli ikan, beli keperluan anak-anak. Saya dan keluarga harus bekerja keras setiap hari mengatasi berbagai kebutuhan.”
Tak mengeluh pada realita hidup yang datang tak terprediksi. Meski rautnya terkadang tertunduk mengenang susah. Dia mendera kata, “Kami orang lama di sini, lahir di sini, ini kampung kami.”
Cerita Para Perantau
Di ruang lain berdekatan dengan lokasi Sudirman bergiat. Duduk bertiga, ngobrol ekonomi, Stevie, Charles, saya. Padahal, walau kami bertiga bukan pakar atau ahli ekonomi, sekedar tahu isu ekonomi dari membaca dan mendengar, terus saja kami membahas banyak isu ekonomi hingga jenuh.
Stevie pengusaha, bergiat di bisnis properti. Dia bercerita tentang value yang terus naik saban tahun, Charles dan saya mendengarkan sambil sesekali menanggapi. Kami sama-sama perantau dari jazirah Utara.
Tentang harga dan nilai saya menyinggung diskon dan gratis. Jangan-jangan dua terminologi itu hanya sesumbar strategi supaya orang-orang ‘menyentuh sesuatu produk atau jasa’. Sementara, menurut opini saya, diskon dan gratis itu cuma ada di negeri dongeng. Anda punya opini dan pengalaman sendiri tentunya tentang dua kata itu: diskon, gratis.
Kami ngobrol sambil mencermati berita koran dan makan pisang goreng di sebuah warung Jl. Gunung Lokon di kota ini. Senja menua 12 Maret kemarin, lalu prediksi berita-berita menjadi kumal untuk hari itu.
Berapa harga terkoreksi, naik turun seperti tak terprediksi, hanya mengikut maunya isu. Harga pisang goreng seporsi biasanya dua puluh ribu rupiah, naik harga dua ribu rupiah jadi dua puluh dua ribu rupiah, sama halnya dengan penetapan harga bubur-manado di warung itu, dua puluh ribu menjadi dua puluh dua ribu. Padahal, harga bahan bakar belum lama dikoreksi untuk turun.
Itu juga yang kami bahas dalam diskusi. Kementerian yang menangani soal energi dan sumberdaya sudah memutuskan badan usaha supaya menurunkan harga bahan bakar minyak nonsubsidi dimulai awal Desember 2018 hingga Januari 2019 silam.
Sementara itu…
Di dapur, persediaan gas menipis. “Pigi cari gas tiga kilo dulu, napa kita so telepon tukang gas, dia bilang kata kosong tu tabung isi tiga kilo,” ujar Yune mengingatkan persediaan gas untuk kompor alternatifnya sudah hampir tidak bersisa. Yune, pemilik warung sekaligus tukang masak.
Saya pamit pada Stevie dan Charles, keluar sebentar mencari gas, menyusur lorong dekat hotel Bali, bertanya di warung-warung sepanjang Jl. Sungai Limboto, berbalik ke Jl. Sungai Pareman. Dua warung yang biasanya saya singgahi di Jl. Sungai Pareman juga stok gas tiga kilogramnya kosong. Tapi, di warung sebelah jejeran jasa cetak digital saya beroleh informasi kalau di warung depan kios Ati Raja Jl. Gunung Merapi, persediaan gas tiga kilogramnya selalu ada.
Benar, gas tiga kilogram ada di warung itu. Saya membeli setabung, lalu kembali ke warung Jl. Gunung Lokon. Duduk kembali, lalu obrolan saya, Stevie, dan Charles berubah arah dari properti beralih ke isu sumberdaya dan energi.
Minggu 10 Februari 2019 – pukul 00.00 WIB diumumkan harga bahan bakar dikoreksi. Pada situsnya, Pertamina menyebut penurunan harga BBM ini dilakukan karena tren menurunnya harga minyak mentah dunia, serta penguatan rupiah terhadap dollar Amerika. Menunggu janji, nilai sudah terbeli, harga-harga yang biasa melonjak ujung dan awal tahun lalu surut. Ada isu menggelitik, harga naik lagi.
Kami ngobrol hingga malam, lalu bubar untuk kesibukan masing-masing.
Suatu ketika latah mengulang cerita jalan berlubang, banjir, kumuh, sampah yang menyumbat got-got sekitar tempat tinggal kami.
Bila malam gemerlap lampu kota menghias mimpi rakyat terdesak kebijakan. Lalu, di bilik sama, deras suara konversi energi dihanyutkan sosialisasi, demi mengirit sumber-sumber tersisa di negeri ini.
Pemilik kampung di Selatan, Sudirman. Perantau dari kampung Utara, Stevie, Charles, saya, dan pemilik warung menu Utara. Sama-sama punya kisah, berpacu mengakali hidup dengan strategi masing-masing.
Potret Regulasi Negara
Saya mengulang teori orang-orang terkenal yang menyebut dirinya bijak. “Accountability is a key requirement of good governance. Not only governmental institutions but also the private sector and civil society organizations must be accountable to the public and to their institutional stakeholders”. Latah menyebut bahasa kurang saya pahami itu. Entah teori ini benar di negara kita, yang mana akuntabilitas merupakan kunci persyaratan pemerintahan yang baik.
Syarat yang disebut tak hanya bagi lembaga pemerintah saja, tetapi sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan institusi pemangku kepentingan apa yang mereka kerjakan. Diri sendiri juga harus bertanggungjawab bertanggunggugat.
Mungkin lebih baik menjadi pikun, supaya berbagai statement penguasa tak jadi mendesak otak sadar kita. Beberapa hari lalu pesan kepedulian kita dengar lalu kita ucapkan, seperti politik yang selalu melontarkan kecurigaan! Sejarah ngeri negeri sedih yang compang-camping kini dan terus mengembara mengumumkan mimpi-mimpi kayanya. Dihasut sejuta kata sosialisasi integrasi basi. Kita menabuh genderang perang, pedang patah arang.
Di tanah sendiri, urban tumbuh pesat sebagai dampak sumber-sumber ekonomi gagal ditumbuhkan di basis rakyat. Kampung kini adalah ramai proposal menempatkan kota sebagai highway menuju masa depan.
Kampung hari ini adalah terminologi sepi, yang mungkin saja tak terjangkau kelitik good governance membombardir korupsi, sebab boleh dikata arus uang yang tiba di tangan terjauh pemerintahan di negeri ini peruntukannya bagi kampung adalah menyasar mereka-mereka yang dikenal saja, orang-orang ‘dekat tungku kuasa’ untuk menghangatkan senyum pura-pura, hasrat tersimpan dalam kantong kepentingan.
Jangan-jangan sosialisasi good governance bukan salah satu jalan keluar yang mesti ditempuh. Regulasi berpihak rakyat musti ditelurkan dan dijalankan sepenuh hati. Walau, kerja keras membela kaum kecil yang dibahasakan sebagai keprihatinan para elit terhadap rakyat, sering terbantah. Sudah kita menabuh good governance dengan berbagai judul kritis, hasilnya sama saja, tuli dan tak mempan di hati.
Kita dan Krisis Global
Lebih sembilan tahun silam, diskusi dengan kawan lain, isu-nya masih sama untuk pergulatan negara hari ini: sumberdaya, bahan bakar, ekonomi, peran pemerintah, peran rakyat dan semua pihak.
Penghujung 2008, digelar rapat kabinet terbatas, harga bahan bakar dikoreksi. Saya mempertanyakan dalam sebuah tajuk opini: ‘Interupsi Terhadap Jalan Ekonomi’ yang dimuat Harian Swarakita Manado, apakah gelar rapat terbatas yang menghasilkan sebuah keputusan ‘koreksi harga bahan bakar’ dapat disebut kebijakan? Ekonomi memburuk, lalu bom dan isu bertaburan.
Saat itu, demo ada di mana-mana di tanah air. Tarif angkutan sudah duluan naik, kemudian melonjak lagi setelah pengumuman koreksi harga bahan bakar. Kelangkaan gas di sejumlah lokasi menjadi bumbu berita yang diulang-ulang dengan minim penanganan dari pengambil kebijakan lokal dan nasional.
Perlu diingat, ketika itu harga minyak dunia sudah jauh turun sebelumnya. Namun, koreksi harga bahan bakar di tanah air saya anggap memanfaatkan situasi dan diumbar sebagai sebuah kampanye rancu untuk menggolkan sasaran kuasa, untuk menyogok dan mengambil hati rakyat yang bertudung pada model pembodohan dan ketidaktahuan khalayak.
Ramailah tanggapan atas opini yang saya muat di Harian Swarakita Manado itu.
Annashka Mozhayev, kawan Indonesia yang bermukim di London, menanggapi situasi yang terjadi di tanah air ketika itu, 2009. Dia menyebut, mungkin saja ekonomi Indonesia akan bisa berhasil diingat dengan berlimpah-ruahnya sumberdaya alam, walau rakyat banyak harus turun ke jalan-jalan memprotes memboikot semua impor, serta memaksa rakyat memakai semua hasil buatan dalam negeri, lalu membatasi dealing financially dengan luar negeri.
Ada harap yang terus dikumandangkan, walau harus diupayakan. “Ada hasil penelitian dari N.A.I Amerika, menyebut lima negara punya potensi kemajuan pesat masa depan, salah satunya Indonesia,” urai Rikson Karundeng menanggap ‘Interupsi Terhadap Jalan Ekonomi’, yang saya tuliskan pada 2008 itu.
Rikson Karundeng sepertinya ragu-ragu dalam tanggapannya itu, sebab kemudian dia menambahkan yang mana dia yakin prediksinya itu meleset. “Kita memang punya sumberdaya melimpah, tapi sayang kita masih sering berhadapan dengan kebijakan kurang arif dan mudah berubah-ubah. Saya prediksi justru, ke depan akan terjadi ‘tikus mati di lumbung padi’. Ya, itulah Indonesia nanti,” papar Karundeng.
Saya coba membaca kembali tanggapan kawan-kawan sembilan tahun silam, seraya mencari ‘sesuatu’.
Tak mudah mengurai benang kusut kemiskinan ekonomi politik dan kemelaratan di negeri yang kepalang korup seperti Indonesia. Apalagi jika ditambah kenyataan bahwa hingga kini generasi demi generasi di bangsa ini dididik dan dengan sengaja membungkam – orang-orang dengan pola seorang pecundang.
Contoh konkretnya, banyak orang jadi sarjana agar mudah jadi abdi penguasa. Tak banyak yang mau membuka lapangan kerja sendiri. Padahal kita butuh revolusi pemikiran dan tindakan. Sebuah arah baru yang radikal untuk masa depan yang lebih baik. Dan kita bisa memulainya dari kebudayaan.
Dua paragraf di atas itu adalah interupsi kawan Andre Barahamin, 2009.
Di bait sebelumnya Barahamin sudah menghunus pedang kalimatnya, tajam, “Kisruh, pelik persoalan ekonomi Indonesia tak lepas dari tradisi politik kita yang feodal. Tradisi politik ini adalah sebuah salah warisan dari segerombol elit pemimpin kita yang memang bermental budak. Budaya mengemis ke atas, upeti ke bawah. Hal yang hingga kini tetap di pertahankan oleh para elit pemimpin negeri ini. Contoh kongkretnya adalah mitologi nasionalisme Indonesia yang didewakan di atas semua nalar logis dan masuk akal. Tak heran jika kemudian negeri ini tak punya cita-cita.”
Saya masih punya banyak sekali pertanyaan. Karena kelangkaan terus menguntit, keterlambatan sering menunggu di gerbang waktu. Sementara pada saat itu, untuk menunggu tarif kendaraan umum di daerah-daerah di Indonesia boleh menyesuaikan dengan harga bahan bakar yang sudah turun, kita semua masih harus menunggu surat keputusan kepala daerah bersangkutan atau istansi yang membidanginya. Untung saja sekarang ‘katanya’ Indonesia sudah ‘satu tarif bahan bakar’.
Janji masih terus dikampanyakan saat ini. Kepedulian atau ketulian. Kepedulian yang bagaimana? Kepedulian seperti apa? Hanya diucap. Hanya diteriakkan sebagai pesan sponsor? Atau apa? Diskusi lama berulang hari ini, kami bertiga, Stevie, Charles, dan saya.
Kami sudah sering berbagi cerita dan menentukan langkah tindak. Sekian kali diulang tanpa bosan, karena setiap hari ternyata kita butuh energi baru, butuh wacana baru untuk menguatkan tiap strategi kerja yang dilakukan bersama atau dikerjakan terpisah.
Diskusi panjang lebar di media online, kawan Abdul Azis Hunta menyebut sinis, “Saya tak habis pikir, negeri yang indah ini koq tidak membanggakan masyarakatnya? Ngaku orang Indonesia koq malu. Salah siapa? Tapi saya tahu sedikit tentang persoalan besar negeri ini. Jurang antara si kaya dan si miskin menganga lebar menertawakan pemimpinnya dan semakin terpingkal-pingkal sejak Djoko Chandra minggat sampai sekarang.”
Harga-harga masih sering terkoreksi untuk isu yang memang miring dan bikin rakyat sinting.
Pusat syaraf kapitalisme global merasuk hingga pelosok kampung. Apa yang hendak rakyat kerjakan? Menunggu saja, memunah cita-cita sebab pemimpin kita masih belum mampu mengulur tangannya hingga ke halaman rumah kita? Coba memilih? Siapa pilihanmu jangan jawab di sini.
Saya coba mengulang yang saya tulis di kabarindonesia, 2008, sebab niscaya sejarah selalu kembali merekah dalam situasi beda: Walden Bello, Professor Sosiologi di Universitas Filipina dan Presiden dari Freedom from Debt Coalition and analis senior di Focus on the Global South, dalam “Sebuah pengantar tentang ambruknya Wall Street” punya beberapa pertanyaan tentang situasi yang terjadi dewasa ini.
Apa penyebab keruntuhan pusat syaraf kapitalisme global? Apakah keserakahan? Dalam tulisannya ia menjawab, yang mana keserakahan yang sudah kita kenal sejak lama memang berperan. “Inilah yang dimaksudkan Klaus Schwab, penyelenggara Forum Ekonomi Dunia, jambore tahunan bagi para elit global di pegunungan Alpen Swiss, ketika ia memberitahukan para kliennya di Davos awal tahun ini: Kita harus menebus dosa-dosa kita di masa lalu,” tulis Bello di makalahnya yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan NEFOS.
Bagi sistem yang berlangsung di negara ini, jadi terngiang kata-kata Thomas Silvano yang mensyairkan situasi di negara kita, “Saat kampanye tiba, tuan sibuk mencuci dosa, menggosok kembali janji-janji usang agar berkilat dan enak dipandang. Rakyat adalah seember air tempat mencuci dosa, setelah bersih, airnya pun dibuang, embernya jadi tempat sampah”.
Sederhana apa yang diungkap Thomas Silvano di syairnya itu. Namun, bila kita masuk lebih dalam lagi ke kampanye itu, segala sesumbar bagi perubahan sudah terdengar sebagai janji bagi makmurnya rakyat di masa yang akan datang. Sudahkah ini berbukti?
Dapatkah janji itu dianggap sebagai kontrak politik yang mungkin ditagih ketika ‘sang master kampanye’ itu duduk sebagai elit? Catatan ini juga adalah sebuah pertanyaan bagi perekonomian dunia yang saat ini lagi diterjang badai krisis berkepanjangan.
Kembali pada penjelasan Bello di atas dari dua soal yang ditera sebagai daftar pertanyaan di alinea sebelum ini, bahwa keruntuhan Wall Street akan semakin dalam dan memperpanjang resesi Amerika.
Di Asia dan wilayah lainnya, resesi Amerika akan diterjemahkan menjadi resesi banyak negara, atau bahkan lebih buruk lagi dari itu. Alasan bagi yang terakhir adalah pasar asing utama bagi Tiongkok adalah Amerika dan sebaliknya Tiongkok mengimpor bahan baku dan barang setengah jadi yang digunakannya untuk ekspor ke Amerika dari Jepang, Korea dan Asia Tenggara.
Globalisasi telah membuat ‘keterpisahan ekonomi’ tidak dimungkinkan lagi. Amerika, Tiongkok dan Asia Timur seperti tiga tahanan yang saling terikat rantai pengekang.
Pernah hadir dalam kenangan zaman keemasan yang kiranya sudah lewat. Apakah dapat kita kembali meraih kenangan manis masa lalu itu di masa yang akan datang?
Walau seketika sudah sering dimaklumi yang mana sejarah selalu berulang. Namun, kenangan itu menjauh, peradaban manusia sudah berubah.
Mereka yang dulunya berproses sebagai cukup untuk memenuhi kebutuhan sekedar hidup dan makan (subsisten), sekarang sudah mendaur dirinya sebagai petarung nasib yang untung-untungan dapat merasakan kenikmatan walau seketika.
Bermimpilah Saat Tersadar
Sistem, hari ini masih seperti mimpi-mimpi penuh janji yang terus menjalar. Waktu sudah meninggalkannya jauh terpuruk di sudut masa depan tanpa jawaban.
Kita cuma mengumumkan berbagai kenaikan harga tanpa memberi solusi, padahal sumber-sumber yang seharusnya jadi patokan bagi majunya sebuah perekonomian sama sekali tidak kita sentuh; kita meramu kegalauan tanpa memberi penjelasan tentang detil persoalan.
Juga, kita masih saja memberi asumsi-asumsi yang tak berbukti di realita, selain mengkhayalkan ramalan di kulit persoalan.
Sebuah tawaran solutif katanya untuk melawan stagnasi adalah akumulasi ekstensif atau globalisasi, atau integrasi pesat wilayah-wilayah semi-kapitalis, non-kapitalis atau pra-kapitalis ke dalam ekonomi pasar global. Memang layak dicoba, tentunya haruslah dengan banyak pertimbangan.
Untuk segala realita kita, kampung, kota – dan segala sistem yang melingkupinya – tetapkan visi, menjuang masa depan yang sudah tiba hari ini. (*)
Editor: Denni Pinontoan