OPINI
Kanal di Leher Sulawesi
Published
7 months agoon
13 Maret 2024
“Pembangunan Kanal Khatulistiwa harus menjadi perhatian mendalam bagi Sulawesi Utara, sebab apapun keputusannya berdampak besar secara sosial-politik-ekonomi dan kebudayaan.”
Penulis: Juan Ratu
SULAWESI dalam banyak cerita rakyat selalu diasosiasikan sebagai pulau berbentuk manusia. Bahkan kota-kotanya memiliki julukan sebagaimana tubuh manusia. Makassar dijuluki Kaki Sulawesi, jika Makassar lumpuh, Sulawesi tidak bisa berjalan. Palu, sebagai punggung Sulawesi, bencana likuifaksi yang meluluhlantahkan Palu, mengakibatkan Sulawesi tumbang, sebab Sang Punggung tidak baik-baik saja. Poso, dibilang hatinya Sulawesi. Luwuk Banggai tangannya. Dan, Manado/Minahasa kepalanya.
Sejak pemindahan Ibu kota Negara dari DKI Jakarta ke IKN Nusantara, letak geografis Pulau Sulawesi menjadi kembali seksi di mata nasional bahkan global. Sebab, titik berangkat pembangunan serta penopang IKN mengenai sumber daya alam dan bahan mentah berada.
Terusan atau Kanal Sulawesi yang dinamakan juga Terusan Khatulistiwa adalah rencana pembangunan yang akan membelah/memotong leher Pulau Sulawesi. Terlepas dari pro dan kontranya. Rencana Terusan Khatulistiwa ini membelah daratan Sulawesi Tengah yang membentang dari Desa Tambu, Kabupaten Donggala ke Desa Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong dengan dua alternatif yang ditawarkan.
Pertama, jalur sepanjang 28 kilometer dan lebar 200 meter dengan ketinggian gunung 70 meter dengan volume material yang akan disingkirkan mencapai dua juta meter kubik. Kedua, yakni terusan sepanjang 18,5 kilometer, lebar 200 meter dan ketinggian gunung 450 meter dengan jumlah material yang akan digali mencapai tiga juta meter kubik.
Rencana pembangunan yang memotong leher Pulau Sulawesi dalam pandangan pembangunan akan besar mempengaruhi bagi keberadaan Pulau Sulawesi, serta konsep sosial-ekonominya. Kanal ini, akan menjadi jalan untuk transfer bahan dan sumber daya, entah sudah diolah setengah mentah atau masih mentah.
Kawasan timur IKN akan memiliki peran baru, sebagai penyokong IKN. Yang berarti bersiap untuk menjadi wilayah penambangan kebutuhan, atau kawasan pengolahan. Industrialisasi ini tidak akan terlepas dari kapitalisasi kebutuhan di IKN untuk menjadi kota yang diproyeksikan juga sebagai kota termaju di kawasan ASEAN.
Hal yang ditakutkan adalah kedudukan kawasan-kawasan Indonesia timur nantinya. Apakah hanya berperan sebagai penyokong IKN ataukah menjadi kawasan yang maju secara pembangunan sosial-ekonomi. Kota-kota maupun daerah yang berada di kawasan Indonesia Timur, dari Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jelas hari ini yang sangat dibutuhkan adalah kekayaan alamnya. Buktinya kajian dan pembangunan di kawasan tersebut adalah tentang sumber daya alam, dan penelitian mengenai hasil bumi, serta infrastruktur untuk daya dukung. Dampak terbesarnya adalah manusia kawasan Indonesia Timur, harus secepatnya mengejar ketertinggalan pembangunan SDM. Serta tetap berusaha mempertahankan tradisi, adat-istiadat, kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang, yang menjadi dasar Indonesia, harus diakui.
Pembangunan dan pengerukan demi Kanal Sulawesi, pasti akan mempengaruhi alam, dari keanekaragaman hayati khas Pulau Sulawesi, seperti yang telah dibagi dalam garis Wallace, pun Weber, bahkan Lydekker, semuanya menerangkan kekhasan flora dan fauna di Pulau Sulawesi. Dalam ilmu geografi, memang membuktikan Pulau Sulawesi terbentuk dari penggabungan hasil tubrukan tiga lempeng. Itulah faktor yang menjadikan yang hidup di Sulawesi menjadi unik.
Selain akan mempengaruhi keanekaragaman hayati, ini juga pasti mempengaruhi, arus laut. Sama seperti pembangunan Kanal Panama, Kanal Suez, Kanal Kiel, dan beberapa kanal di dunia. Ekosistem akan berdampak. Bagian ini ialah bagian pengorbanannya.
Menarik untuk dilihat posisi Minahasa bila Kanal Khatulistiwa jadi dieksekusi. Akan membongkar tatanan yang ada di Minahasa, terutama untuk eksplorasi dan dampak besar akan terkena adalah Minanga atau Bentenan atau Kakas Pante. Pantai Timur Minahasa. Jika dalam suplai pembangunan manusianya, pantai timur Minahasa harus bersiap, karena akan menjadi posisi strategis dalam jalur sebar bahan baku, dan sumber daya dari Maluku dan Papua. Tapi, melihat kesiapan yang ada, Minanga, Bentenan dan Kakas Pante juga memiliki daya pikat tersendiri, sebab telah berpengalaman ratusan tahun sebagai tempat persinggahan dan arus peradaban di kawasan.
Tentunya pantai timur Minahasa secara pembangunan akan berubah, apakah menjadi daya pikat sebagai kawasan persinggahan atau check point, atau tidak, sebab unsur alam penunjang yang tidak seksi lagi bagi kacamata industrialisasi. Yang hari ini terlihat adalah batuan dan mineral.
Jika memang demikian, Minahasa dan kawasan timurnya harus bersiap, apakah pala, cengkeh dan kopra akan laku bagi IKN? Sedangkan produksi tersebut tersebar luas dan banyak di Toli-Toli, Buol, bahkan Gorontalo, letak yang lebih dekat secara geografis. Serta juga kebutuhan IKN sampai 2045 bahkan bisa sampai 2100 adalah eksplorasi mineral, batuan yang bisa menopang sebagai energi sebuah kota.
Namun, apakah yang tidak dimiliki oleh kawasan-kawasan check point yang menjadi titik krusial secara geografis untuk IKN? Adalah Minahasa bagian Selatan dan Timur masih memiliki SDM. Yang walaupun mulai dikejar dengan disuplainya dan mengirim SDM ke titik-titik strategis tersebut sebenarnya. Dengan tujuan membangun iklim investasi dan denyut nadi baru, yang bisa menimbulkan perang budaya serta perlombaan sosial. Siapa yang kuat secara tarik-menarik kebudayaan. Seperti beberapa kejadian seperti di Poso, Luwuk, Maluku, bahkan Papua yang semakin tergerusnya OAP.
Untuk Minahasa bagian Utara, menjadi sentral secara letak dan kesiapan SDM sejauh ini dapat bertahan sampai 2045. Dengan pengalaman menjadi pintu gerbang pasifik, tempat transitnya pelayar dan pelaut sejak masa Renaissance, hingga target menjadi kawasan terdepan Indonesia. Walau tarik-menarik peta politik global pasti akan memainkan pengaruhnya di Minahasa bagian Utara. Dan tarung konsep dan aral pembangunan akan banyak terjadi. Sehingga konsep integrasi antara Utara Minahasa dan Selatan Minahasa harus mobile dan seimbang.
Amurang-Bitung-Manado ke Minanga-Bentenan-Kakas Pante menjadi penting bukan hanya akses infrastruktur tapi pembangunan manusianya. Pemerataan pendidikan dan konsep untuk berdiri lagi sebagai Minahasa, sejauh ini memang sentuhan agak lebih kurang di bagian selatan bila dibandingkan utara.
Sebenarnya menarik untuk dikaji lebih jauh, dan semoga pembahasan ini menjadi ramai dalam waktu dekat, sebab pembangunan Kanal Khatulistiwa harus menjadi perhatian mendalam bagi Sulawesi Utara, sebab apapun keputusannya berdampak besar secara sosial-politik-ekonomi dan kebudayaan. Semoga bisa men-trigger dan makin banyak kawan berpikir.
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa