Connect with us

CULTURAL

Kaset, Pita Penghubung Kebudayaan tahun 1980-an

Published

on

(Foto: Denni)

25 Juni 2020


Oleh Denni Pinontoan


Kaset tidak sekadar teknologi dalam dunia musik di era tahun 1980-an, tapi juga tanda dari sebuah perubahan besar kebudayaan global


 BAGI anda pada tahun 1980-an adalah remaja atau orang muda, kisah ini mengingatkan tentang teknologi musik termutakhir di masa itu. Banyak kisah tersimpan di dalamnya. Tapi, bagi kalian generasi milenial, ini mungkin adalah suatu keprihatinan: kasihan sekali, betapa papa, mama, om dan tante kita dulu hidup di masa teknologi musik yang masih sangat sederhana.

Ya, ini tentang ‘kaset’. Nama kelahirannya adalah Compact Cassette. Umum disebut kaset atau kaset pita. Ia adalah teknologi pita magnetik untuk merekam data dengan format suara. Sesuai dengan bentuknya, nama alat ini berasal dari bahasa Prancis, cassette, artinya “kotak kecil”.

Kaset memiliki peran besar bagi industri musik dan budaya populer mendengar musik sejak tahun 1970an dan terutama tahun 1980-an. Orang-orang sedunia mendengar musik rock, musik pop ataupun musik etnik yang sudah dimodernisasi dengan kaset.

Koleksi kaset album Guns N. Roses dari era tahun 1980-an dan tahun 1990-an. (Foto: Henry Pinontoan)

Tapi kaset tidak sekadar alat. Trend mendengar musik mempengaruhi cara berpenampilan. Orang-orang muda tampil dengan celana jeans sobek dilutut atau paha, model rambut gondrong, model sepatu, dan lain-lain antara lain mengikuti trend musik. Kaset pita punya peran penting dalam penyebaran budaya pop bagi remaja dan pemuda era tahun 1980-an itu. Ya, kaset adalah bagian dari budaya pop masa itu.

Sebelum era kaset, alat penyimpan data suara adalah piringan hitam. Namun, ketika kaset diperkenalkan oleh Phillips pada tahun 1963 di Eropa dan tahun 1964 di Amerika Serikat, piringan hitam mendapat saingannya.  Masa inilah awal kelahiran alat penyimpan data suara yang lebih murah dari era sebelumnya.

Ketika kaset benar-benar telah menjadi popuer dalam industri musik tahun 1970-an, maka berakhirlah kejayaan piringan hitam. Kaset benar-benar populer selama tahun 1980an, masih sempat digemari hingga awal dan pertengahan tahun 1990an, tapi pada masa akhir dasarwarsa itu, kaset mendapat saingan baru, yaitu compact disk (CD).

Anak-anak muda gaul di Manado, Tomohon, Tondano, Kawangkoan, Amurang, Kotamobagu, di kepulauan Sangihe-Talaud dan Gorontalo, dan begitu yang sebaya di banyak tempat se-Indonesia atau bahkan dunia ini, waktu itu masing-masing memiliki kaset kesayangannya. Kebiasaan mengkoleksi dan saling pinjam kaset menjadi cara dan budaya berelasi orang-orang muda masa itu. Di Minahasa, selain kegemaran piknik bikin gohu, tinutuan, juga muncul gank-gank kecil, komunitas subkultur penggemar musik. Ritualnya adalah dengar musik dengan tape recorder, dengar radio FM, bacirita lagu-lagu terbaru, menghias kamar dengan poster penyanyi dan grup-grup band top.

Toko Megah Terang di pusat kota Manado yang di tahun 1980an spesial menjual kaset. Untuk dapat eksis hingga hari ini pemilik toko ini mesti melakukan adaptasi dengan teknologi musik yang cepat sekali berubah. Bagi para penggemar musik di masa itu, pasti kenal toko ini. (Foto: Dean Joe Kalalo)

Toko-toko yang menjual kaset ada di setiap pusat kota. Orang-orang dari kampung mesti ke kota untuk membeli kaset. Pulang ke kampung, memutarnya di tape recorder, lalu menyimpannya sebagai barang berharga buat jadi simbol dalam relasi sosial.

Masa itu, orang-orang dari negara yang paling modern hingga yang sedang berperang dan sedang berusaha modern macam Indonesia mengenal kaset. Industri musik terdapat di mana-mana. Ekspor dan impor kaset membuat masyarakat dunia terhubung. Maka terbentuklah suatu sub kultur bersama secara global. Ada remaja atau anak muda di Manado yang mengidolakan Nirvana, begitu juga di Amerika, Eropa, dan belahan dunia yang lain.

Ada grafiti bergambar pistol dan mawar logo grup band heavy metal Guns N Roses di tembok-tembok atau dinding bangunan-bangunan di kota-kota sedunia. Lalu, ada orang-orang muda bikin tato ‘Superman” ala Jon Bon Jovi. Kemudian, gaya moonwalk atau berjalan mundur ala Michael Jackson mewabah di mana-mana. Break dance sisa-sisa dari tahun 1970-an, masih digemari hingga tahun 1980-an. Bermodalkan tape recorder dan tentu kaset, komunitas-komunitas break dance bikin aksi lepas bebas.

Salah satu yang bikin pusing pengguna kaset adalah jika pitanya putus atau kusut. (Foto: https://www.pro-tools-expert.com/)

Kaset menyimpan dan menyebarkan suara serak atau merdu sang idola. Sepaket dengan itu adalah poster yang banyak dijual oleh pedagang kaki lima di terminal-terminal bus. Poster menampilkan secara visual penampakkan sang idola, mulai dari sepatu yang dipakainya, celana, kaos atau kemeja, rambut, logo band, tato, dlsb.

Alat pemutar kaset di masa itu adalah tape recorder. Bagi anak-anak muda gaul, terutama di perkotaan alat pemutar kaset yang praktis dan punya gaya tersendiri adalah walkman. Di tahun 1990-an, muncul tape-compo.

Di Minahasa tahun 1980an adalah masa orang-orang berjaya dengan booming harga cengkih. Budaya pop dengan mudah masuk hingga ke pelosok-pelosok kampung. Radio salah satu yang berperan, tapi terutama dengan uang melimpah hasil cengkih, orang-orang berlomba-lomba beli tape recorder, dan sudah tentu kaset. Sambil memetik cengkih, orang-orang mendengar musik makakelon atau lagu-lagu Koes Plus, dan lain-lain yang lagi trend dan digemari di masa itu. Tape recorder berukuran kecil dapat digantung di tangga, sambil memetik cengkih mendengarkan lagu.

Kaset memungkinkan produksi massal musik kolintang dan musik bambu klarinet. Juga termasuk lagu-lagu makalelon. Lagu-lagu pop Melayu-Manado juga banyak diproduksi. Maka, dengan budaya kaset, pada sebuah tape recorder milik keluarga-keluarga di banyak kampung di Minahasa, beragam budaya menyatu. Budaya lokal, nasional hingga global menjadi satu dalam musik. Kaset adalah teknologi penghubung masa itu.

Di kampung-kampung Minahasa ada suatu kebiasaan yang unik. Pada setiap jelang pagi, beberapa rumah membuka jendelanya. Kaset berisi lagu makalelon di masukan ke dalam alat putar tape recorder. Lalu, alunan indah nan syahdu syair-syair makalelon yang diiringi petikan gitar terdengar menggema seantero kampung. Ini seolah menjadi pengiring kelompok-kelompok mapalus berjalan pergi ke kebun. Di kebun, dari sabua (pondok) ada pula yang menyediakan tape recorder untuk memutar lagu yang tersimpan di kaset.    

Pada masa kelahirannya, kaset adalah tanda dari sebuah revolusi besar dalam industri musik. Ia juga adalah penggerak perubahan besar dalam budaya pop kawula muda masa itu. Sebuah masa yang tak akan pernah kembali lagi, tapi ia telah menjadi bagian penting dari protes atas pembungkaman rezim, dan bagian dari budaya bersuara untuk keadilan dan perdamaian dunia.

Pada masa itu, kaset adalah alat penghubung kebudayaan secara populer. Itulah, sehingga di Motoling misalnya ada komunitas anak muda masa itu yang menamakan diri Nazareth, mengikuti nama grup band hard rock asal Skotlandia yang mulai eksis tahun 1960-an, tapi lagu-lagunya dapat didengar orang-orang sedunia melalui kaset.

Tato ‘lidah dan bibir’ Rolling Stone. (Foto: https://www.flickr.com/)

Bagi generasi milenial, jika melihat papa atau om kalian bertato ‘lidah dan bibir’ berwarna bendera Inggris, pastilah di masa mudanya ia adalah penggemar Rolling Stone. Dia adalah generasi kaset tahun 1970-an dan tahun 1980-an. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *