Connect with us

FEATURE

Kaum Muda Revolusioner di Sekitar Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946

Published

on

13 Februari 1946


Oleh: Denni Pinontoan


Peristiwa Merah Putih 14 Februari adalah sebuah klimaks dari perlawanan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan penjajahan

 

PENJAJAHAN BELANDA sudah lama berlangsung. Orang-orang Minahasa tersiksa dengan sistem tanam paksa kopi yang dimulai tahun 1822 dan nanti berakhir tahun 1899. Penjajahan menyiksa dan olehnya mulai muncul bibit-bibit perlawanan.

Tahun 1891, A.L Waworuntu menyampaikan petisi kepada Gubernur Jenderal C. Pijnacker Hordijk di Batavia untuk menghapus sistem itu. Di kalangan gereja pada tahun 1915, intelektual dan guru-guru Injil membentuk organisasi Pangkal Setia menuntut pendirian gereja otonom kepada Kerkbestuur di Batavia. Zaman pendudukan Jepang yang sebenarnya berlangsung tidak lama, tapi sungguh menyiksa.

Para tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) asal Minahasa merasakan diskriminasi dalam sistem dan organisasi militer Belanda ini.

Reaksi penolakan terhadap penjajahan muncul di mana-mana di nusantara. Di Batavia atau Jakarta sejak 1920-an intelektual dan para pemuda mulai mengkosolidasi dan membentuk organisasi-organisasi politik. Antara lain Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Di Minahasa juga dibentuk Parindra, yang dibubarkan pada tahun 1930. Organisasi baru yang terbentuk sebagai gantinya adalah Gerakan Indonesia.

Organisasi lain yang dari Jawa melebar ke Minahasa adalah Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Beberapa organisasi yang ada di Minahasa, misalnya Persatuan Minahasa menjadi bagian dari GAPI.

Pada tanggal 23 November 1937, GAPI mengadakan pertemuan yang didahului dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera Merah Putih juga dikibarkan.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang nanti diketahui di Minahasa pada tanggal 18 Agustus disambut dengan antusias oleh para intelektual dan pemuda di sini.

“Di Minahasa, Sulawesi Utara dikumandangkan Proklamasi tersebut pada tanggal 19 Agustus 1945, dengan menaikan bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya di Lewet Tondano,” tulis J.V. Lisangan, jurnalis, saksi sejarah pada bukunya Perjuangan Pemuda Minahasa Indonesia, terbit 1995.

Lisangan adalah salah seorang yang hadir dalam upacara itu. Di masa itu ia adalah pelajar pada sekolah menengah pertama Jepang, Chuu Gakko yang melakukan kegiatan belajar mengajarnya di penyingkiran Koya, Tondano.

Namun, euforia kemerdekaan ini tak berlangsung lama. Jepang di Indonesia Timur menyerah kepada sekutu 9 September 1945. Itu dilakukan di Morotai. “Sekutu memasuki Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, memulangkan mereka ke Jepang dan membebaskan para interniran,” jelas R.Z. Leirissa pada bukunya, Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan Sebab-musababnya, terbit tahun 1977.

Di Indonesia Timur, kata Leirissa, tugas ini dilaksanakan olehi Australian Military Force (AMF) yang diperkuat ‘Kompi 7 KINL’. Di dalam ‘Kompi 7 KNIL’ terdapat orang-orang Minahasa, dan daerah lain di nusantara.  Pada 11 September 1945 AMF  tiba di Minahasa untuk melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara Jepang yang berjalan tanpa perlawanan. Tapi tugas mereka hanya berjalan sekira satu minggu lalu kemudian diganti South East Asia Command, Inggris. Lalu, tugas itu dikembalikan lagi kepada AMF. Untuk memantapkan tugasnya, dibentuklah semacam satuan-satuan tugas. Di Manado, satuan tugas itu bernama Manado Force.

Manado Force dipimpin oleh Letnan Kolonel Muir. Sebelumnya dia juga memimpin misi militer untuk menerima penyerahan Jepang di Tondano dan Tomohon. Menurut Leirissa, Kekuatan Manado Force terdiri dari 72 orang, 12 perwira dan 33 bintara dan prajurit. Mereka tiba di Manado pada tanggal 2 Oktober 1945.

Manado Force, seperti juga satuan-satuan lainnya, ketika datang disertai satu dasatasemen Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. NICA dibentuk di Australia pada 3 April 1944.

Di awal 1944, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. Van Mook dan Panglima Tertinggi SWPA, Jenderal Douglas MacArthur dari AS, menyepakati bahwa wilayah Hindia Belanda yang berhasil direbut oleh pasukan Sekutu akan diserahkan kepada pemerintahan sipil NICA.


BPNI Berdiri

Kehadiran NICA menghidupkan memori penjajahan Belanda. Meski tidak semua kelompok di Minahasa bersikap mutlak anti Belanda, tapi sebuah kelompok pemuda Minahasa, Sangihe dan dari lain di Sulawesi Utara punya cara pandang Baru dalam memahami arti Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namanya, Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI).

Sejak Manado Force meninggalkan Minahasa pada awal Februari 1946, kata Leirissa, NICA mendapat banyak kebebasan untuk menjalankan pemerintahan.

“Sejak itu pula, Coomans de Ruyter, yang memulai menamakan dirinya ‘Residen’, memindahkan kantor dan rumahnya ke Tomohon, yaitu di kompleks rumah sakit Katolik ‘Gunung Maria’,” jelas Leirissa.

Ikut pindah ke Tomohon adalah pimpinan KNIL, Letkol. De Vries yang menyandang jabatan Troepen Commandant Noord Celebes. Kekuatan tentara KNIL makin besar. Selain Kompi 7, terdapat pula bekas tentara KNIL yang baru dibebaskan dari tawanan Jepang. Dengan begitu, NICA semakin memiliki kekuatan pula untuk memerintah di Minahasa.

Lisangan menuturkan, ketika hadir di Minahasa, NICA melarang pengibaran bendera Merah Putih di gedung-gedung pemerintah yang sudah berkibar sejak tanggal 19 Agustus itu. Sekolah-sekolah Jepang juga ditutup.

Kehadiran NICA, menurut Leirissa berhadapan dengan pandangan politik pemuda dan intelektual-intelektual Minahasa yang terbentuk oleh pengalaman penjajahan dan perang. Generasi yang menerima doktrin Jepang tentang keunggulan ras Asia di atas Eropa memunculkan sikap anti terhadap Belanda. Mereka secara radikal menolak eksistensi Belanda di Minahasa.

Kelompok lain memiliki kesadaran bahwa Minahasa berbeda dengan suku-suku lain di nusantara, sehingga masa depan politik Minahasa adalah ‘federalisme’ dalam Indonesia. Sementara kelompok yang lain, sepertinya menerima kehadiran NICA karena menganggap dapat merealisasikan pidato Ratu Wilhemina pada tanggal 7 Desember 1942 yang mengiming-imingi bentuk persemakmuran antara Negeri Belanda dengan daerah-daerah jajahannya.

“Namun ternyata dalam bulan-bulan pertama setelah Proklamasi itu pihak Belanda sama sekali tidak mengetahui adanya kelompok pemuda radikal itu di Minahasa,” ungkap Leirissa.

Tapi sebetulnya benih-benih anti penjajahan mulai mengkristal sejak tahun 1930-an dan lebih jelas lagi sejak tahun 1943. Ini antara lain ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi olah raga yang mengembleng dan menanamkan rasa kebangsaan kepada pemuda-pemudi. Menurut Lisangan tokoh-tokoh yang membentuk organisasi itu adalah O.H. Pantouw, B.W. Lapian, G.E. Dauhan, Frits Kumontoy, ABH Waworuntu, J.U. Mangowal, Max B. Tumbel, dan dr. Senduk.

Pemuda dan pemudi yang menjadi anggota organisasi itu adalah Bert Sigarlaki, Eddy Gagola, Parengkuan, Na. Wulur, Nyong Lomban, dan Mimi Mewengkang. Seorang pemuda lain yang kemudian berperang penting adalah John Rahasia.

B.W. Lapian adalah seorang intelektual yang ikut membidani lahirnya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada tahun 1933 sebagai klimaks dari protes-protes Pangkal Setia terhadap kekuasaan Indische Kerk. G.E. Dauhan, adalah seorang yang berasal dari Sangihe, wartawan dan aktivis politik. Menurut Lisangan, pada tahun 1928, Dauhan bersama Max B. Tumbel, O.H. Pantouw yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga menerbitkan surat kabar ‘Suara Kaum’ di Manado.

John Rahasia adalah seorang yang berasal dari Sangihe. Ia kemudian mengikuti pendidikan perwira kapal di Pare-pare. Sekolah perwira pelayaran yang bernama Koto Kaiin Yesyio itu menampung sejumlah pemuda MULO yang dididik untuk perwira pelayaran niaga. Jan Torar, dalam Peranan Minahasa dalam Perang Kemerdekaan, terbit 1985 menyebut, dari Minahasa waktu itu  terdapat 60 pemuda asal Utara Sulawesi, yaitu  Ventje Sumual, Freek Sumanti, Piet Ngantung, Bert Supit, Bob Pussung, Rolly van Heuven, Daan Mogot, Albert Tumbelaka, Roel Mamesah, Ernst Sompotan, Hein Montolalu, Nun Pantouw, Willy Pantouw dan John Rahasia.

Tanggal 19 Agustus 1945 John Rahasia dan kawan-kawannya berangkat dari Pare-pare menuju Manado. Tapi nanti awal Oktober, atas inisiatif John Rahasia sejumlah pemuda berkumpul di kediamannya, jalan Sindulang, Manado. Kelompok itu antara lain terdiri dari Chris Pontoh, Wim Pangalila, Mohammad Kanon.

Maka, menurut Leirissa, pada 8 Oktober 1945 pemuda-pemudi itu mendirikan organisasi politik pemuda bernama Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Tujuan mereka adalah mendukung gerakan kemerdekaan yang diproklamasikan di Jakarta. Wawasan-wawasan mereka itu disebarluaskan melalui dua majalah sederhana, yaitu Catapult (berhasa Belanda) dan Suara Indonesia Muda.

Lisangan mengatakan, sebagai ketua BPNI adalah John Rahasia, pelopornya yang lain adalah  Mat Kanon, Kris Pontoh, dan lain-lain. Sementara G.E. Dauhan dan kawan-kawannya membentuk Barisan Nasional Indonesia (BNI). Salah satu agenda BNI, menurut Lisangan adalah menyakinkan masyarakat Minahasa untuk berpartisipasi dalam revolusi nasional. Hal ini ditekankan, karena disadari di dalam kelompok-kelompok masyarakat Minahasa terdapat faksi-faksi dan perbedaan pandangan mengenai masa depan politik Minahasa.

 

Rencana Boikot yang Gagal

Diam-diam BPNI melakukan pertemuan. Mereka lalu menyusun suatu aksi yang tergolong berani dan radikal. Memboikot perayaan Perjanjian 10 Januari.

Aktivis BNI mendengar, bahwa NICA berencana akan melaksanakan perayaan Perjanjian (Verbon) 10 Januari. Itu akan dilaksanakan pada 10 Januari 1946 di lapangan Wenang.

Sejak Jepang menduduki Minahasa, perayaan ini tidak lagi dilaksanakan. Terakhir dirayakan pada tahun 1942. Perayaan ini untuk mengenang, menghormati, memperingati dan bahkan untuk membuat orang-orang Minahasa terus terikat dengan Belanda.

Pada tahun 1679, sejumlah pemimpin atau kepala walak Minahasa menyatakan perjanjiannya secara tertulis dengan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada abad 20, perjanjian itu dianggap sebagai tanda dari ‘persekutuan’ antara Minahasa dan Belanda. Olehnya, tanggal 10 Januari seolah-olah adalah hari sakral. Setiap tahun dirayakan. Bahkan, untuk memperingati 250 tahun (1929) perjanjian itu, E.C. Godee Molsbergen dimita khusus untuk menulis sejarah itu. Bukunya berjudul Geschiedenis van de Minahasa tot 1829.

Tidak heran jika di dalam masyarakat Minahasa ada kelompok yang percaya pada Ratu Wilhemina pada tanggal 7 Desember 1942. Juga berharap Minahasa nanti menjadi Provinsi ke-12 dari Belanda.

Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan Manado. Kini semua urusan ditangani oleh NICA. “BPNI melihat kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim Pangalila, merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling,” tulis Ben Wowor, pelaku sejarah.

BPNI lalu menyusun rencana. Pembicaraan-pembicaraan dilakukan beberapa kali.

“Rencana pokok adalah ‘memboikot’ perayaan itu dengan cara menimbulkan kerusuhan pada hari itu, terutama di lapangan Wenang di mana perayaan akan dipusatkan,” tulis Leirissa.

Tindakan utama yang direncanakan adalah pengibaran bendera Merah Putih di lapangan upacara dengan perlindungan pemuda. Dengan maksud agar gerakan protes akan menjalar dan membangkitkan kekuatan massa. Utusan-utusan memang telah dikirim ke Tondano, Tonsea dan Tomohon.

Tapi, rencana BPNI ini tercium oleh intelejen NICA. Para aktivis BPNI, John Rahasia, dan Chris Pontoh ditangkap dan dipenjarakan. Tokoh-tokoh pemuda lainnya yang juga ditangkap adalah Mohammad Kanon, Gerrit Kansil, Wil Pangalila, Sukandar, Ben Wowor, Usman Pulukadang, Louis Paat, Joppi Poliis. Aksi boikot perayaan 10 Januari gagal.

Kritik terhadap perayaan 10 Januari sebagai ‘hari sakral’ rupanya penting bagi para pemuda dan aktivis politik di masa itu untuk menyatakan sikap anti penjajahan. Sekira 13 tahun sebelum BPNI merancang aksi mereka, pada tahun 1933, seorang aktivis politik, J.C. Dauhan, asal Siau saudara G.E. Dauhan melakukan propaganda bernada sentimen anti Belanda. J.C. Dauhan menulis pada sebuah surat kabar sebuah artikel berjudul “ “10 Januari Hari Nasional?”. Bersama G.D. Dauhan ia diperiksa oleh polisi dengan tuduhan telah melakukan penghasutan kebencian. Bagi pemerintah Belanda itu suatu masalah besar.

Pada 14 Februari 1946, terjadi sebuah aksi kudeta dari para pemuda dan tokoh-tokoh KNIL Minahasa. Mereka merebut tangsi Teling, menahan para petinggi NICA dan mengibarkan bendera Merah Putih mengganti bendera Belanda. Ini aksi berani para pemuda yang didukung oleh para tokoh intelektual dan organisasi pemuda, termasuk BPNI. Sebuah klimaks dari penolakan terhadap diskriminasi, ketidakadilan dan penjajahan.

Simbol sikap anti penjajahan itu adalah merobek warna Biru pada bendera Belanda yang berwarna Merah Putih Biru itu, dan mengibarkan sisa robekannya berwarna Merah Putih. Merah Putih adalah bendera perlawanan terhadap penjajahan, diskriminasi dan ketidakadilan. Di Indonesia masa itu, ‘Merah Putih’ adalah perlawanan.

“Kaum nasionalis yang ditangkap NICA karena dituduh kolaborator Jepang seperti Nani Wartabone, OH Pantouw, Geda Dauhan, yang berada di penjara termasuk pimpinan pemuda BPNI, John Rahasia dan Chris Ponto yang berniat memberontak pada Januari yang lalu, semuanya dibebaskan oleh aksi militer Kompi-VII,” jelas Ben Wowor.  (*)


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *