FEATURE
Kawanku Penyintas Bencana Banjir
Published
6 years agoon
By
philipsmarx1 Februari 2019
Oleh: Juan Y. Ratu
Ketika Kota Manado diterjang banjir hebat pada 15 Januari 2014, tiga orang sekawan berjuang hidup menerobos banjir dan lumpur agar dapat pulang ke rumah
WAWONASA, Manado 28 Januari 2019.
Di sebuah lorong pemukiman padat penduduk orang-orang tampak sibuk. Anak-anak berlari lincah, tak hirau kendaraan lalu lalang. Beberapa perempuan dewasa sedang berkumpul, tertawa dan cekikikan. Entah apa yang mereka cakapkan.
Warung-warung kecil dibangun tak beraturan. Badan jalan diubah jadi tempat mengaso. Beberapa orang mengawasi anaknya yang sedang bermain. Seorang ibu sedang menyusui bayinya. Terpal dilebarkan menjadi atap warung yang baru akan dibuka. Lalu kopi dan biskuit disajikan. Acara bincang-bincang sore menjemput malam ala warga di situ digelar.
Sepeda motor yang melewati lorong kecil itu mesti berjalan pelan sambil minta permisi. Orang-orang saling berpapasan dengan senyum akrab. Mobil-mobil berjalan sangat lambat. Bangunan rumah saling berhimpitan. Tak ada lagi ruang lapang di situ.
Sore ini saya melewati lorong itu menuju ke rumah seorang kawan lama. Rumahnya terletak sudut kompleks itu. Langit mulai gelap. Sejak pagi, langit Manado memang mendung.
Hari mulai malam ketika saya tiba di rumah yang dituju. Prasetyo Wicaksono, nama kawan saya itu. Kami berkawan sejak SMA. Wicaksono sedang menunggu di saya di rumahnya. Ketika bersua, terasa tidak banyak yang berubah darinya. Seorang Wicaksono yang saya kenal waktu SMA. Seorang yang sederhana tapi selalu ceria.
Wicaksono masih mengenakan kemeja putih yang dipasangkan dengan celana hitam ketika kami saling menyapa. Itu seragamnya sebagai pekerja medis di salah satu Puskesmas di kota Manado. Setelah lulus SMA ia kuliah di Poltekes Manado. Sejak itu kami jarang berjumpa.
Hanya basa-basi singkat, saling tanya kabar, Wicaksono lalu mengajak saya menuju ke sebuah ruangan di lantai atas rumahnya.
Ruangan ini punya kisah. Waktu terjadi banjir bandang 5 tahun silam, di sinilah keluarganya mengungsi. Barang-barang berharga, surat-surat penting, sertifikat, ijazah, barang elektronik kulkas dan televisi, diamankan di sini. Inilah ruangan yang aman jika muncul tanda-tanda akan terjadi lagi banjir.
“Ini kwa tempat, sering jadi ruang khusus, dan sangat berguna di daerah sama begini,” katanya menjelaskan.
Wicaksono adalah seorang penulis, selain sebagai pekerja medis. Tulisan-tulisannya diterbitkan di media sosial miliknya. Menulis adalah kobi kami sejak masih di bangku SMA. Baginya, menulis adalah bentuk pertanggung jawaban ilmu yang dipelajari.
Secangkir kopi disajikan. Ia menemani kami bacirita.
***
Rabu, 15 Januari 2014 pagi, seperti biasanya, Wicaksono berangkat ke sekolah. Hujan yang turun sejak siang kemarin tak jadi alasan baginya untuk tetap bermalas-malasan di tempat tidur. Apalagi hari ini di sekolah ada ujian matematika dari Pak Surya.
Setelah mengenakan seragam putih abu-abu, mengandeng tas, Wicaksono lalu bergegas menuju tepi jalan. Dia menumpang angkot mikro ke pusat kota, Pasar 45. Dari sana dia naik lagi angkot menuju ke arah Kampus Kleak. Wicaksono sekolah di SMA Negeri 9 Binsus Manado, sekira 7 km dari rumahnya di Wawonasa. Langit mendung. Hujan sedang turun di beberapa tempat.
Pagi ini dia datang lebih awal. Kemarin agak telat. Setibanya di sekolah dia melihat teman-temannya banyak yang menggunakan jaket. Pagi itu udara memang sangat dingin. Ini jarang terjadi di Manado, kota tepi pantai itu.
Jam pelajaran belum dimulai. Guru mereka belum tampak di depan kelas. Di luar angin bertiup kencang. Dedauanan beterbangan di hempas angin. Beberapa di antaranya mendarat di meja atau lantai kelas masuk melalui ventilasi. Kertas karton bergambar rumus fisika di sudut ruangan kelas bergoyang terkena angin. Hujan mulai turun.
“Hey, kawan-kawan. Ini di twitter di Manado so ja mulai banjir, pengaruh badai Filipina kata ini cuaca,” seseorang di kelas berkata memecah suasana.
Sejak akhir tahun sebelumnya, cuaca berubah menjadi ekstrim. Ini dampak Topan Haiyan yang berpusat di Selatan Filipina. Di sana namanya Topan Yolanda. Ia adalah siklon tropis terkuat yang pernah tercatat dalam sejarah. Lebih dari 7.000 orang Filipina menjadi korban. Manado tak terkena dampak langsung. Namun siklon tropis ini telah menyebabkan intensitas curah hujan yang tinggi di banyak titik di Sulawesi Utara. Awal Januari, curah hujan makin meningkat.
Wicaksono penasaran. Ia lalu mencari informasi melalui akun medsosnya. Beberapa kiriman informasi memberi peringatan dampak cuaca ekstrim ini. Tak hitung menit, kiriman informasi semakin banyak mengabarkan telah terjadi banjir di titik-titik tertentu di Kota Manado. Di antaranya Wawonasa, di situ rumahnya. Air dari DAS Tondano meluap.
Wawonasa, salah satu yang terparah. Banjir di sini disebabkan luapan sungai yang melewati kawasan pemukiman kelurahan itu. Wicaksono tiba-tiba menjadi khawatir. Ini bukan banjir biasa. Wawonasa sedang tenggelam.
Keadaan semakin genting. Banjir sudah terjadi di banyak tempat di Manado, terutama di kawasan padat penduduk dekat sungai-sungai. Pukul 09.00 WITA pihak sekolah akhirnya mengeluarkan pengumuman. Sekolah libur. Hari ini tak ada kegiatan belajar mengajar.
Wicaksono dan kawan-kawannya semakin cemas. Wajah-wajah polos murid SMA ini tiba-tiba berubah menjadi tegang. Ada yang segera pulang ke rumah. Ada yang tak sabar menunggu jemputan. Yang lainnya pasrah dan bertahan di sekolah.
Ketika hari semakin siang, kira-kira pukul 10.30, Kota Manado seolah akan tenggelam. Empat sungai besar yang bermuara di laut Manado meluap hingga enam meter. Air setinggi tiga hingga empat meter menutupi hampir semua pemukiman di Manado. Terparah adalah pemukiman padat penduduk. Sepuluh kecamatan yang berada di Kota Manado semuanya terkena banjir. Hanya Bunaken, kecamatan di pulau yang tidak banjir.
Wicaksono ambil keputusan untuk segera pulang. Wajah ibu, ayah dan adiknya di rumah terbayang.
Ia pulang bersama Saputra Dunggio, kawan sekelas yang bertubuh tambun itu. Rumahnya di Ketang Baru dekat rumah Wicaksono yang juga sementara terkena banjir.
Mereka mencoba pulang dengan menumpang angkot menuju ke pasar 45. Kleak berada di daerah ketinggian, banjir belum parah di kawasan ini. Jalanan sunyi. Mencekam. Sepanjang perjalanan, rasa khawatir dan takut tak dapat mereka sembunyikan. Sesekali mereka saling menguatkan.
Ketika mereka tiba di pusat kota, tampak pemandangan yang sangat berbeda. Mereka melihat wajah-wajah yang sedang ketakutan. Dari pusat kota itu, Wicaksono dan Dunggio akan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah mereka. Pikir mereka angkot yang melayani rute ‘Pasar 45-Wawonasa’ masih ada yang beroperasi. Namun, lama menunggu tak ada satupun angkot yang lewat. Banjir sedang mengamuk. Wawonasa dan Ketang Baru sedang tenggelam.
Rasa cemas makin bertambah. Tapi tekad pulang ke rumah mencoba kalahkan rasa cemas itu. Tak ada cara lain untuk pulang. Jalan kaki, satu-satunya cara. Maka bergeraklah mereka. Mereka melewati jalan Jendral Sudirman, lalu lewat patung Maria Walanda Maramis. Di sini air setinggi mata kaki. Sepatu dan kaus kaki terendam. Celana abu-abu digulung. Kemeja putih dilepas, lalu dikalungkan ke leher. Tas gandeng berisi laptop dipeluk. Semakin jauh berjalan, semakin tinggi genangan air. Bahaya tenggelam di depan mata.
Wicaksono kemudian bilang ke Dunggio, mereka harus cari rute lain. Dunggio tak punya alternatif. Ia mengikuti saja usulan Wicaksono. Rute dirubah. Lewat jalur utara.
Mereka berbalik arah. Kembali melewati jalan Jendral Sudirman. Lalu ke arah jembatan Mahakam. Dengan susah payah, Wicaksono dan Dunggio menerjang banjir di hampir semua lokasi yang mereka lewati.
Sesampainya di ujung jembatan itu, mereka dicegat. Banyak orang di situ. Air sungai Tondano, yang melewati Wawonasa, Ketang Baru dan Singkil menuju bibir pantai melewati jembatan itu. Tampak sungai sedang meluap hebat.
“Dek mau ke mana?” kata orang-orang di situ.
“Mo pulang, kita di kampung Ternate, dia Ketang Baru,” jawab Wicaksono.
“Odoh, so nda boleh lewat, coba ngoni lia sana Wawonasa so rata,” kata seorang di situ.
Sungai di bawah jembatan Mahakam sedang meluap. Rumah-rumah di bantaran sungai itu sedang tenggelam. Arus air sungai sangai deras. Macam-macam barang dibawa air sungai. Batang pohon, televisi, pakaian, hewan semuanya hanyut.
Wicaksono dan Dunggio semakin cemas. Takut. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan sedang terjadi. Rumah mereka berada di seberang sungai itu. Menuju ke sana mereka mesti melewati jembatan Mahakam.
Hari semakin siang. Perut keroncongan. Lapar. Di situ Wicaksono bertemu Erwin yang juga warga Wawonasa. Saat itu, banjir sedang berada pada puncaknya. Mereka tak mungkin dapat melewati jembatan itu.
Bertiga, mereka akhirnya memutuskan pergi ke Jalan Roda (Jarod). Sebuah kawasan yang selalu ramai orang minum kopi sambil bacirita. Hujan sedang turun lagi.
Rasa lapar terus menguntit mereka. Tapi apa daya, uang tak lagi cukup untuk beli makanan barang seporsi untuk dibagi. Sebuah keadaan yang sangat menyiksa. Bagi Wicaksono, rasanya ia tak pernah berada dalam situasi yang serba sulit dan mencemaskan seperti ini.
Di Jarod, di depan sebuah warung, dalam keadaan serba cemas dan basah kuyup seorang perempuan setengah bayah pemilik warung makan itu menyapa mereka.
“Orang mana ngoni dek?”
“Orang Wawonasa, Ci,”
“So makang ngoni?”
“Belum ci.”
“Duduk jo sini.”
Di tengah situasi begini, sapaan itu sungguh sangat berarti. Itu seolah suara mama mereka di rumah yang sedang cemas menanti. Perempuan itu menawarkan mereka makanan. Sebuah berkah di tengah bencana, pikir Wicaksono.
Menu bubur, telur rebus hangat pemberian perempuan itu jadi santapan siang mereka. Tak cuma itu, mereka pun disuguhi teh hangat.
Dari warung makan ini Wicaksono melihat banyak orang yang juga sedang panik. Padat orang di kawasan itu. Dari situ mereka melihat sebuah mobil berwarna kuning sedang tenggelam air banjir. Seorang ibu dan anak berteriak histeris minta tolong. Mereka terjebak di dalam mobil. Mujur, tim SAR segera datang menyelamatkan mereka. Seorang kakek yang mencoba berjalan menatang banjir terperosok ke dalam saluran air. Untung ia dapat segera ditolong oleh tim SAR yang sedang berada di lokasi itu.
Tekad mereka pulang ke rumah tak surut . Dari Jarod, mereka lalu bergerak menuju ke ‘taman kesatuan bangsa’ (TKB). Air banjir tidak terlalu tinggi di situ. Di tempat ini mereka beristirahat sejenak. Suasana sekitar menampilkan kepanikan. Orang-orang banyak sedang menuju ke kawasan pasar Calaca melihat banjir di sana untuk memastikan gerakan arah air bandang.
Di situ mereka bertahan hingga sore. Tubuh menggigil kedinginan, basah kuyup. Pikiran dan perasaan tak tenang memikirkan keluarga di rumah.
“Torang musti cari tampa menginap. Biar cuma satu malam ini,” kata Wicaksono pada Dunggio dan Erwin.
Spontan muncul ide di kepala Wicaksono menginap di rumah ibadah terdekat. Kira-kira 400 meter dari situ ada sebuah gereja tua yang terletak di sudut jalan. Gereja GMIM Sentrum. Gedung gereja itu punya halaman yang luas. Di situ ada tugu peringatan Perang Dunia II. Gereja itu pernah kena bom waktu perang.
Gereja itu yang muncul pertama dalam pikiran Wicaksono. Padahal ia seorang muslim. Tapi sebagai warga Manado, gereja itu cukup dikenalnya. Mereka pun pergi ke situ. Bergerak lagi, berjalan dengan susah payah menahan dingin yang membuat tubuh menggigil. Tapi, sesampainya di sana pintu gedung gereja terkunci. Ini bukan hari Minggu.
Tak putus asa. Mereka pun memikirkan tempat ibadah lain.
“Mesjid di Komo,” mereka ingat tempat itu.
Nama mesjid itu ‘Nurullah’, terletak di kawasan yang disebut Komo Dalam, di jalan Diponegoro. Jaraknya cukup jauh, sekira 1 km. Tapi apa boleh buat, gelap malam sedang menutupi kota Manado. Wicaksono, Dunggio, dan Erwin sepakat ke situ. Maka bergeraklah mereka bertiga.
Jalan yang mereka lalui tergenang air setinggi pinggul orang dewasa. Orang-orang banyak tampak pula sedang berjuang mencari tempat aman. Hari mendekati malam.
Mereka berjalan lambat. Sangat hati-hati. Salah melangkah dapat saja membahayakan nyawa. Lubang atau saluran air di pinggiran jalan tak dapat dikenal lagi. Mereka saling membantu mencari jalan yang dapat dilalui.
Dengan susah payah, akhirnya mereka bertiga sampai juga mesjid itu. Ketika berada di situ, tampak banyak orang berkumpul. Perasaan sedikit lega. Bantuan makanan dari sejumlah kalangan kalangan terkumpul di situ, termasuk dari gereja sekitar.
Meski begitu, hati Wicaksono, dan dua rekannya tak lama kemudian kembali menjadi cemas. Wicaksono terus memikirkan ibu, ayah dan adiknya di rumah. Terpikir olehnya untuk menghubungi mereka. Seorang di tempat itu berbaik hati meminjamkan dia handphone. Tapi dia tak hafal nomor telepon ibu, ayah atau adiknya di rumah. Untung dia ingat nomor hp kakaknya yang tinggal di Bitung. Dia lalu menghubungi kakaknya itu.
Wicaksono akhirnya tahu keadaan keluarganya di Wawonasa yang sedang kena banjir dalam keadaan selamat. Dari bicara singkat di hp, keluarganya bilang, mereka sedang mengkhawatirkan keadaannya. Tapi tahu Wicaksono selamat, mereka jadi senang sekali. Keluarganya sedang berada di lantai atas rumah, menghindar dari banjir. Segala barang berharga diungsikan ke situ. Bahan-bahan makanan juga diangkut ke atas.
Malam itu mereka akhirnya menginap di mesjid bersama ratusan orang lainnya yang mengungsi. Tubuh terasa sangat lelah. Perasaan belum juga tenang. Malam semakin larut. Mereka akhirnya tertidur beralaskan lantai dingin dengan pakaian yang basah.
Paginya, mereka terbangun. Kira-kira pukul 09.00 wita. Tubuh Wicaksono masih terasa sangat lelah. Rasa mual membangunkannya pagi itu. Seharian ia basah kuyup. Tubuh terasa sangat dingin.
Wicaksono kemudian mengajak Erwin dan Dunggio untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Kedua temannya itu setuju. Mereka lalu meninggalkan mesjid dan berjalan mengikuti jalan Martadinata, lalu mengarah Paal Dua.
Air banjir sedang surut. Pas di pertigaan lampu merah jalan Martadinata mereka melihat jalan penuh lumpur. Tak ada cara lain. Lumpur mesti diterobos. Tak tahu apa yang mereka pijaki. Sesekali bisa terperosok, masuk ke dalam lubang atau saluran air. Tapi, rasa takut mesti dilawan. Tekad mereka cuma satu. Pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga. Seragam SMA berubah warna menjadi coklat.
Pemandangan sungguh mengerikan. Sebuah kota yang mereka kenal sejak kecil hancur. Macam-macam perabotan rumah yang hanyut terbawa air banjir menjorok ke atas keluar dari lumpur. Mobil-mobil saling tindih. Jejak hewan-hewan jenis reptil tergambar di atas lumpur. Entah ular, biawak atau apa namanya yang hanyut dibawa air. Tak ada suara bising mobil atau motor seperti kemarin. Sunyi. Dingin. Takut. Sesekali mereka melihat satu dua orang melihat dari jendela dengan wajah ketakutan. Hari itu, Kamis, 16 Januari 2014.
Lumpur akhirnya dapat mereka lewati dengan penuh perjuangan. Wawonasa kini berada di depan mata. Di suatu tempat, mereka berpisah. Dunggio dan Erwin berjalan menuju ke rumah mereka masing-masing.
Wicaksono berjalan sendiri menuju ke rumahnya. Sepanjang perjalanan ke rumah ia menyaksikan Wawonasa porak-poranda karena banjir. Orang-orang masih takut beraktivitas di luar rumah. Yang lainnya berada di tempat pengungsian. Sebuah pemandangan yang sungguh berbeda ketika dia berangkat sekolah kemarin pagi.
Sesampainya di rumah, hatinya antara senang dan sedih. Senang karena keluarga semuanya selamat. Tapi, lantai bawah rumahnya hancur. Perabot rumah rusak. Plafon rumah bocor diterjang perabotan rumah yang melayang karena banjir. Kaca jendela dan perabotan pecah berkeping-keping.
Belum percaya dengan semua yang dilihat itu, tiba-tiba kakinya terasa perih. Ada luka menganga di kakinya. Ternyata ketika berjalan di lumpur tadi, kakinya robek terkena beling. Sungguh sebuah situasi yang tak pernah diharap. Syukur tak ada satupun keluarganya yang menjadi korban dari bencana ini.
Beberapa hari setelah air banjir benar-benar surut, orang-orang datang membawa bantuan. Mereka senang dengan ulurang tangan itu. Orang-orang Minahasa turun gunung bantu ringankan penderitaan warga kota Manado. Tak pandang agama dan suku, bantuan disalurkan untuk meringankan penderitaan mereka.
Tapi, bencana lain sedang mengintai. Penyakit diare dan gatal-gatal menyerang warga Wawonasa dan tempat lain di Manado rusak parah akibat banjir bandang. Banyak rumah yang tak dapat ditempati lagi. Lainnya butuh butuh waktu untuk diperbaiki.
Bukan cuma itu. Ketika warga melakukan bersih-bersih rumah, banyak barang mereka yang hilang. Kasur Wicaksono yang dijemur hilang dicuri orang.
***
Bencana banjir 15 Januari 2014 telah memporak-porandakan Kota Manado. Korban jiwa berjatuhan. Puluhan ribu orang mengungsi. Rumah-rumah dan sekolah, Puskemas, dan fasilitas lainnya rusak.
Pemerintah Kota Manado dalam laporannya ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, total kerugian akibat bencana banjir bandang itu ditaksir mencapai Rp 1,8 triliun. Jumlah ini meliputi semua infrastruktur di Manado yang rusak akibat banjir. Terdiri dari rumah penduduk, jalan, jembatan, drainase, tanggul sungai, talud sungai, sarana publik seperti gedung sekolah, Puskesmas, rumah ibadah hingga pasar tradisional.
BNPB melaporkan, korban meninggal akibat bencana banjir dai longsor waktu itu sebanyak 13. Lima korban di Manado, lima orang di Tomohon akibat longsor dan tiga orang di Minahasa. Di Manado dua orang dinyatakan hilang. Sebanyak 40 ribu orang mengungsi.
Alam tak dapat sepenuhnya dipersalahkan. Banjir terjadi bukan hanya karena curah hujan. Drainase dan penggunaan lahan adalah faktor lain yang dapat memicu terjadinya banjir.
Wan Dayantolis dan Heru Tribuwono Fitri dari UPT Stasiun Klimatologi Manado, BMKG Sulut dalam tinjauan klimatologis mereka menyebutkan, curah hujan 24 jam sebelum banjir 15 Januari itu memang cukup tinggi. Hujan maksimum terjadi di wilayah daerah aliran sungai, di Airmadidi dan Tomohon. Sementara hulu sungai di Tondano dan bagian hilir di Manado curah hujannya lebih rendah. Kondisi curah hujan 2-3 hari sebelum kejadian masih rendah kecuali di Airmadidi.
Kota Manado, sejak tahun 2000 sampai tahun 2014 empat kali diterjang banjir hebat. Tanggal 03 Desember 2000, 21 Februari 2006, 17 Februari 2013. Banjir paling dahsyat terjadi pada 15 Januari 2014. Curah hujan di wilayah sekitar Manado dan hulu DAS Tondano pada 15 Januari 2014 lebih rendah di banding curah hujan pada saat banjir 17 Februari 2013. Sebaliknya pada DAS Tondano curah hujan 15 Januari 2014 adalah curah hujan tertinggi dalam 4 kejadian banjir tersebut.
Malam ini, saya sedang berada di rumah kawan Wicaksono yang lima tahun lalu hampir tenggelam karena banjir. Wicaksono berulang kali meyakinkan saya, tempat kami bercakap ini, lantai atas rumahnya itu aman dari banjir.
Malam semakin larut. Hujan datang dan pergi. Sebelum saya beranjak pulang, Wicaksono berujar kepadaku, “Pasca banjir itu, terlihat memang wajah Manado yang sebenarnya, torang punya persaudaraan semakin erat, tak pandang kulit deng kitab.” (*)
Editor: Denni Pinontoan