Connect with us

OPINI

Kelelondey, Klaim Sesat Ala Hitler dan Perlawanan Terhadap Narasi Manipulatif

Published

on


Oleh: Donny Rumagit


MENGAPA KEBOHONGAN yang berulang-ulang diceritakan bisa dianggap suatu kebenaran? Adolf Hitler menulis dalam otobiografinya bahwa jika kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan pun diterimanya sebagai kebenaran. Pengulangan adalah metode hypnosis, apa yang diulangi secara terus-menerus itu akan terukir pada dirimu.

Inilah yang menyebabkan ilusi dalam hidup. Metode inilah salah satu kekuatan Hitler, yang menjadikannya seorang ‘man of history’, kecerdasannya dalam memanipulasi manusia dan membawanya ke dalam lingkaran pengaruhnya.

Sejarah telah mencatat, dengan kemampuan Hitler memanipulasi pikiran manusia bisa menggiring suatu negara untuk melakukan kegilaan dan pembantaian manusia yang sangat mengerikan. Peristiwa itu dikenal dengan istilah ‘Holocaust’. Putu Yudiantara dalam bukunya Hitller Effect, menaklukan dan menguasai orang lain semudah menjetikkan jari.

Apakah yang dialami sebagian besar masyarakat yang ada di sekitar lahan Kelelondey, yang masih percaya dan tetap bertahan pada pendapatnya bahwa tanah Kelelondey yang luasnya 350 hektar, yang telah dikuasai rakyat sebelum masa kolonial, adalah korban ‘Effect Hitler’ yang dimainkan penguasa kala itu?

Pertanyaan ini, saya tampilkan untuk merespon perdebatan di media sosial terkait konflik lahan Kelelondey yang terjadi antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan petani.

Beberapa akun Facebook (FB) yang memberikan komentar dalam status FB saya, menyatakan tanah Kelelondey adalah milik pemerintah. “Tapi kita juga harus ketahui bahwa lahan yang akan dipakai oleh TNI adalah lahan milik pemerintah dan dipergunakan untuk kepentingan pemerintah,” tulis Hanlie Aie Rorie dalam kolom komentarnya yang mengaku tahu persis sejarah tanah Kelelondey karena kakeknya adalah salah satu pengukur tanah tahun 1960-an.

Hal senada diungkapkan generasi mileneal, Jenly Pangau, salah satu warga masyarakat Desa Noongan dalam kolom komentarnya. Ia mengakui dan masih percaya dari cerita para orang tua, tanah Kelelondey adalah milik pemerintah yang dipergunakan warga sekitar untuk bercocok tanam.

Bahkan beberapa ‘Hukum Tua’ (Kepala Desa) yang terpilih secara langsung di era reformasi ini, yaitu Abraham Walean, Hukum Tua Desa Noongan dan Veky Soriton Hukum Tua Desa Noongan II, telah mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan lahan Kelelondey milik TNI, hanya berdasarkan pernyataan dari beberapa tua-tua kampung.

Lebih parahnya, sebagian besar rakyat Noongan yang mendapat pembagian sertifikat hak milik (SHM) pada tahun 1984, tanahnya telah dijual pada orang lain dengan harga murah karena percaya tanah tersebut milik pemerintah. Mereka khawatir, sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemerintah. “Sebagian besar orang Noongan yang mendapat sertifikat di tanah Kelelondoy, sudah dijual dengan harga murah karena percaya bawah tanah tersebut milik pemerintah dan akan segera diambil alih,” ujar Alwin Raranta.

Masyarakat tidak harus disalahkan, ketika masih percaya dan yakin lahan Kelelondey adalah milik pemerintah. Ini adalah ‘keberhasilan’ pemerintahan orde baru menerapkan metode ‘hypnosis’ pada rakyatnya. Sejak Soeharto berhasil mengambil alih tampuk kepemimpinan dari Sukarno, Bapak Pembangunan, julukan dari sang penguasa orde baru selama 32 tahun ini, menerapkan metode Hitler untuk mengambil simpatik rakyat dengan memanipulasi pikiran rakyat, PKI adalah pengkhianat bangsa dan harus dibumihanguskan.

Hal itu terus dilakukan dengan pemutaran film G 30 S/PKI secara berulang-ulang selama 30 tahun. Sejarawan Asvi Marwan Adam menilai, film Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah propaganda rezim orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Tidak sedikit manipulasi sejarah dimuat dalam film berdurasi 271 menit itu. “Film itu tujuannya menggambarkan satu sisi Presiden Soeharto sebagai penyelamat bangsa, dan di sisi lain Soekarno sebagai pengkhianat,” kata Asvi seperti dikutip dari suara.com.

Apa benar, Kelelondey adalah tanah milik pemerintah ? Ini yang perlu diluruskan dan dilawan dengan argumentasi yang jelas berdasarkan data dan fakta. Menurut saya, pendapat tersebut keliru dan ini adalah narasi-narasi pembodohan yang dilakukan oleh oknum penguasa kala itu dengan menggunakan metode ‘hypnosis’ yaitu diceritakan secara berulang-ulang dan turun-temurun sehingga masyarakat percaya dan yakin bahwa tanah Kelelondey adalah milik pemerintah dan bisa sewaktu-waktu bisa diambil.

Secara historis, lahan Kelelondey sebelum zaman kolonial Belanda adalah milik rakyat dan dikuasai oleh rakyat. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih adanya kuburan tua kampung Pebonongan di atas lahan Kelelondey. “Adanya kuburan tua semakin menguatkan bukti bahwa lahan Kelelondey adalah tanah adat Minahasa,” ujar Bode Talumewo, budayawan Minahasa.

Begitu juga, dalam peraturan perundangan-undangan, tidak satupun diakomodir istilah frasa tanah pemerintah, yang ada hanyalah tanah negara. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan, ‘bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ Begitu juga dalam pasal 2 UU nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian (UUPA) menyebutkan, hak menguasai dari negara, tidak ada satupun frasa tentang tanah pemerintah.

Sejatinya tanah negara adalah tanah rakyat, sementara institusi negara dalam hal ini TNI tidak bisa memiliki SHM. Jadi dalam konteks permasalahan lahan Kelelondey, saya berpendapat lahan tersebut adalah tanah adat yang sudah diberikan hak milik pada petani dengan terbitnya 1.200 SHM oleh pemerintah Sulawesi Utara zaman Gubernur G.H. Mantik pada tahun 1984.

Jadi, apabila TNI mengklaim bahwa lahan Kelelondey adalah milik mereka, dengan dasar surat keterangan yang diterbitkan pemerintah desa, adalah keliru karena dalam UUPA, TNI tidak diperkenankan mempunyai hak milik. (*)


Disclaimer: Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan sikap resmi Kelung.com.

Penulis, Desainer Grafis & Sinematografer

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *