GURATAN
Kematian yang Tersenyum Hormat
Published
6 years agoon
By
philipsmarx20 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Kematian selalu datang dengan berbagai wajah. Tapi ia hanya tersenyum kepada para pemberani.
SAYA TIDAK mengenal Mbok Patmi.
Ketika tiba di kantor YLBHI, larut malam 20 Maret 2017, yang saya lakukan adalah langsung menuju lantai tiga. Bergabung dengan diskusi yang sedang berlangsung. Sesekali menyapa beberapa orang yang saya kenal, menjabat tangan, menghisap rokok dan selebihnya menyimak.
Lantai dasar gedung penuh dan cenderung sesak. Selain mereka yang sedang protes, ada para relawan dan mereka yang datang menunjukkan solidaritas. Salah satu ruang pertemuan di lantai bawah diubah menjadi kamar
Masih segar di ingatan bagaimana malam itu nada semangat Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bicara soal kejahatan finansial Bank Mandiri. Juga suara-suara lain yang menawarkan diri berbagi peran. Mereka kelelahan, tapi semangat jelas masih ada. Ini campuran sulit. Apalagi jika kondisi fisikmu telah digerus beberapa hari sebelumnya. Mata mereka buktinya.
Di salah satu sudut, Mokh. Sobirin, Direktur Yayasan Desantara, bahkan tampak seperti mayat hidup. Tubuhnya bersandar di dinding dengan kelopak mata yang menggantung setengah. Ia tampak seperti tahanan di Guantanamo yang baru saja keluar dari ruang interogasi.
Di sampingnya, duduk Dhyta Caturani. Sepasang kakinya masih terpasung semen. Dari balik kacamata, saya bisa menerka bahwa Dhyta kurang tidur. Tapi ia masih tersenyum, sesekali ikut menanggapi diskusi dan bertahan hingga pembicaraan benar-benar selesai.
Sebelah kiri saya, Ali Nursahid juga duduk dengan berselonjor. Wajahnya mengingatkan saya dengan potret para romusha di masa kolonialisme Jepang. Juga ada Eggy Yunaedi, Muh. Azka Fahriza, Ndaru, Ical, Asta dan banyak mereka lain yang saya jumpai di aksi #DipasungSemen jilid pertama hampir satu tahun sebelumnya. Tepatnya sebelas bulan lampau sebelum malam itu. Aksi mengecor kaki pertama di tahun 2016.
Ini jenis reuni paling konyol yang sebenarnya cenderung saya hindari. Bertemu lagi karena kondisi masyarakat di mana masing-masing kami bersolidaritas justru tak kunjung membaik.
Usai diskusi, saya segera bergeser ke lantai bawah. Bersama tiga orang kawan lagi, ada hal yang harus kami obrolkan. Saat diskusi, Joko Prianto, tiba-tiba muncul. Ia baru bangun. Tersenyum salah tingkah persis seperti anak SD yang kedapatan lelap di dalam kelas.
Mengaku hanya bersandar dan menutup mata sejenak di tengah jadwal jaga peserta aksi #DipasungSemen, ia tiba-tiba lelap untuk beberapa saat sebelum akhirnya terjaga.
Kami lalu bersalaman. Jabat tangannya erat. Masih seperti biasanya. Penuh keyakinan. Ali Nursahid mencandainya. Lelucon terasa begitu penting di periode melelahkan seperti itu. Masa di mana dua puluh empat jam terasa kurang, dan dini hari menjadi lebih panjang dan perih di sudut mata.
Di momen seperti ini, tidur lelap adalah kemewahan.
* * *
Saya tidak mengenal Mbok Patmi.
Tapi di ingatan saya, cerita mengenai perjuangan Kendeng menolak berdirinya pabrik semen selama ini didominasi wajah-wajah perempuan. Wajah-wajah penuh semangat, penuh cinta, penuh harapan, penuh senyum. Wajah-wajah yang dapat digunakan oleh kita meneropong masa depan.
Mbok Patmi adalah salah satu di antaranya.
April 2015, perempuan-perempuan asal pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, ini datang ke depan Istana Presiden. Mengusung lesung dan membunyikannya. Mengirimkan tanda bahaya ke Presiden dengan cara yang mereka ketahui.
Bahwa ekstraksi karst bukan hanya menghancurkan sawah sebagai lumbung pangan. Tapi juga mengancam cadangan air yang tidak hanya mengairi lahan pertanian, juga menjadi sumber air minum bagi warga di desa-desa sekitar. Akses terhadap air bersih gratis yang diwariskan turun temurun sejak masa leluhur mereka beratus tahun lampau.
Membunyikan lesung adalah upaya menjangkau telinga presiden yang di tahun sebelumnya baru terpilih. Ia yang terpilih dengan tumpukan janji-janji.
Aksi ini berlangsung setelah sebulan sebelumnya, menyerbu Universitas Gadjah Mada (UGM). Para petani mengritik para ilmuwan di kampus yang menggadaikan diri dengan fatwa ilmiah palsu untuk membela pabrik semen. Setahun kemudian, di bulan yang sama, setelah aksi gruduk UGM, sembilan perempuan datang dengan harapan yang makin menebal bahwa rencana pembangunan pabrik semen harus dihentikan.
Mereka tiba dengan perumpamaan.
Menyemen kaki sebagai tanda bahasa bagaimana tubuh akan tersiksa jika pegunungan Kendeng tetap dihancurkan. Bahwa tidak ada tuntutan lain dari para petani dan sedulur Kendeng selain berhentinya rencana penambangan karst untuk operasi semen.
Aksi #DipasungSemen tahun 2016 dilakukan. Model protes yang mengagetkan banyak orang urban dan dicibir luas warga kota.
Terutama mereka yang sejak awal tidak mengikuti bagaimana perjuangan ini dirintis, bertahan secara swadaya dan berhasil meluaskan solidaritasnya. Orang-orang yang bicara soal ancaman amputasi kaki sembilan perempuan yang memasung diri di depan istana, tapi matanya tak mampu melihat amputasi total kehidupan generasi di kehidupan mendatang.
Sinisme yang lahir akibat ketidakmampuan membaca bagaimana hidup bergerak, dipertaruhkan dan dipertahankan dengan gagah berani.
Mereka menuduh bahwa perempuan-perempuan pemberani yang memasung kaki sedang dimanfaatkan segelintir orang. Tuduhan yang datang karena ketidakpahaman apa itu kemerdekaan dan bagaimana berjuang mempertahankannya.
Mulut-mulut itu berlomba merendahkan perjuangan memasung kaki di depan istana tanpa sadar bahwa yang mereka hina adalah akal sehat mereka sendiri.
Cibiran terhadap #DipasungSemen kali pertama menyadarkan saya satu hal. Hampir mustahil menjelaskan soal-soal perjuangan mempertahankan tanah kepada mereka yang memiliki ukuran otak tak sempurna. Yang besarnya jauh lebih kecil dari punya simpanse.
Aksi di tahun 2016 itu selesai di hari ketiga ketika Teten Masduki dan Pratikno -dua pejabat setara menteri, datang dan berjanji atas nama presiden. Teten, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Staff Presiden (KSP) berjanji bahwa pesan para dulur akan sampai dengan selamat ke hadapan presiden meski lambat. Penguasa memutuskan akan menerima perwakilan para petani di istana di waktu yang akan diatur kemudian.
Pertemuan itu benar terlaksana, meski molor cukup lama.
Di akhir tahun 2016, ketika keputusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan, mereka berjalan lebih dari seratus kilometer. Berarak dengan senyum dan penuh semangat menjemput kemenangan. Saat itu, meski diguyur hujan, ratusan petani dengan semangat menyambut keputusan MA untuk mengabulkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah.
Gugatan dicatat atas nama Joko Prianto dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). PK ini mempersoalkan tentang Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah terkait izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) yang kini berganti nama menjadi PT Semen Indonesia. Izin lingkungan bernomor 668/1/17 tahun 2012. Ditandatangani Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit Waluyo, pada 7 Juni 2012. MA memutuskan putusan judex facti, dan membatalkan obyek sengketa (izin lingkungan dan pertambangan PT Semen Indonesia) yang berlokasi di Rembang.
Tapi menang di jalur hukum, justru tak membuat penguasa daerah bergeming. Layaknya para Sultan di masa lalu yang membaptis diri sebagai wakil Tuhan di atas bumi. Ganjar Pranowo dengan licik mengakali hukum dan mengeluarkan ijin lingkungan baru. Artinya, sang Gubernur tetap berkeras bahwa pabrik semen harus beroperasi. Apapun harganya dan bagaimanapun caranya.
Inilah alasan mengapa para petani kembali ke Jakarta, dua tahun lalu.
Kembali memasung kaki di depan istana dan meminta presiden mengambil sikap tegas. Menghormati hukum, menghormati tuntutan para sedulur Kendeng, menyelamatkan lingkungan dan memastikan anak cucu tidak akan mati berkalang semen. Aksi kali ini tidak lagi hanya sembilan orang dan hanya perempuan.
Hingga Senin, 20 Maret 2017, dalam catatan saya, sudah ada 50 orang, laki-laki dan perempuan dari berbagai rentang umur, menyemen kaki sebagai bentuk protes. Sore itu, mereka mendapatkan jawaban dari Kantor Staf Presiden. Teten Masduki mengundang perwakilan peserta aksi untuk bertemu. Tapi hasil pertemuan mengecewakan bagi para petani.
Negara sekali lagi, meludahi perjuangan warganya mempertahankan hidup.
Tapi para sedulur Kendeng enggan mundur. Strategi baru diluncurkan. Aksi tetap berlanjut dengan menyisakan sembilan orang perwakilan para petani dan warga Samin. Sisanya, akan kembali pulang ke desa dan terus berjuang.
Mbok Patmi salah satunya.
Pasung semen di kakinya kemudian dibongkar. Meski, menurut beberapa kawan, Mbok Patmi tetap bersikeras untuk tidak pulang dan melanjutkan aksi di depan istana. Perempuan yang hampir berumur setengah abad ini tak mau menyerah. Ia tak mau tunduk pada tipu muslihat korporasi dan negara. Hingga kabar itu tiba. Mbok Patmi menghembuskan nafas sebagai martir perjuangan.
Serangan jantung merenggutnya. Karena negara tak kunjung memalingkan wajah.
* * *
Ada selaksa cara untuk mati. Begitu juga hidup.
Bagi mereka yang berjuang sepenuh hati ketika hidup, akan dijemput kematian dengan takzim dan penuh hormat. Saya yakin, kematian tersenyum hormat ketika menjemput mbok Patmi.(*)
Editor: Gratia Karundeng
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa