GURATAN
Kembali ke Jalan yang Benar: Mari Menjadi Anarkis!
Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 April 2019
Oleh: Greenhill Weol
Politik kita hari ini kian menyeret masyarakat menjadi semakin terpolarisasi, terbelah, dan rentan konflik, anarkisma dapat menjadi alternatif untuk mengatasi soal itu
MEDIA MASSA kini menggunakan kata “anarkis” sebagai sebuah terma yang menggambarkan aksi-aksi destruktif, vandalis, dan khaotik. Bahasa media yang seharusnya adalah bahasa “orang-orang terdidik”, ternyata justru tidak banyak membantu kita mengerti, sebab media bertendensi untuk menggunakan kata-kata yang “eye/ear catching” dan kedengaran bombastis agar lebih menarik perhatian publik.
Lucunya, para terdidik dan akademisi juga latah memahami kata ini hanya dari makna negatifnya. Pejabat Pemerintahan malah seolah “melegalkan” makna negatif ini lebih lanjut. Pemaknaan Anarkisma secara negatif sebenarnya bermula dari penggunaan kata ini dalam Perang Saudara Inggris oleh para Royalist, pendukung monarki/imperialisma, untuk menghujat dalam orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Penggunaan kata anarki yang tertua ditemukan pada naskah drama karya Aeschylus, Seven Againts Thebes, bertahun 467 SM. Dalam naskah ini, tokoh Antigone menolak menjalankan perintah dari penguasa dengan kalimat “ekhous apiston tênd anarkhian polei.” Mengartikan apa itu Anarkisma adalah sesuatu yang tidak gampang, mengingat kata ini telah terlalu lama dilekati oleh lebih banyak makna-makna negatif.
Anarchism terderivasi dari bahasa Grika ἀν (tanpa) + ἄρχειν (pemerintah) yang secara lebih bebas berarti “tanpa penguasa.” Sebagai pengimbang, mungkin akan lebih netral jika kita mencoba mengartikan kata ini dengan definisi kamus. Webster Dictionary mengartikan Anarki sebagai “non-existence or incapability of govermental rule,” yakni ketiadaan atau ketidakmampuan kekuasaan pemerintahan.
Selanjutnya, Anarkisma didefinisikan dalam buku The Concise Oxford Dictionary of Politics sebagai “the view that society can and should be organized without a coercive state,” bahwa tatanan masyarakat dapat dan sudah semestinya diorganisasikan tanpa tekanan atau paksaan. Pengartian selanjutnya dapat kita temukan dalam Dictionary of Politics and Government yang menulis: anarkisma sebagai “the belief that there is no need for a system of government in a society” dengan tambahan penjelasan bahwa “Anarchism flourished in the latter part of the 19th and early part of the 20th century. Anarchists believe that there should be no government, no army, no civil service, no courts, no laws, and that people should be free to live without anyone to rule them.”
Saya kemudian menemukan semacam kesimpulan dalam The Concise Oxford Dictionary of Politics yang menggambarkan Anarkisma sebagai “a cluster of doctrines and attitudes centered on the belief that government is both harmful and unnecessary,” bahwa anarkisma adalah sebuah faham yang menganggap pemerintahan/kekuasaan adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan pada ekstrimnya, berbahaya bagi publik.
Memahami Anarkisma
Sepanjang sejarah umat manusia, banyak entitas-entitas peradaban yang –sadar maupun tak sadar- meletakkan landasannya di atas pemahaman Anarkisma. Ini bukan tanpa sebab.
Harold Barclay dalam People Without Government: An Anthropology of Anarchism menuliskan bahwa umat manusia telah hidup ribuan tahun dengan damai dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Jared Diamond, penulis The Worst Mistake in the History of the Human Race, menggambarkan Masyarakat Adat sebagai entitas masyarakat yang sangat egaliter.
Kemunculan masyarakat hirarkislah yang kemudian menciptakan politik dan melahirkan pemaksaan kekuasaan yang sering muncul dalam bentuk kekerasan. Louis-Armand, Baron de Lahontan, dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1703, Nouveaux voyages dans l’Amérique septentrionale (New Voyages in Northern America), menggambarkan penduduk asli Amerika yang walau tak memiliki negara, hukum, dan penjara, mereka hidup sebagai sebuah masyarakat anarki yang damai.
Ide awal Anarkisma sebagai sebuah perspektif pemikiran lahir sebagai respons terhadap represi kekuasaan dan institusi politik. Filsuf Zeno dari Citium, pendiri mashab Stoik, berargumen dengan Plato bahwa akal harus menggantikan kekuasaan/pemerintahan dalam membina unsur-unsur kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa dalam walaupun dalam insting manusia telah terpatri “egoisme,” kita juga dikaruniakan “rasa sosial” sebagai penyeimbang. Filsuf Arristippus, seperti dikutip Sean Sheehan dalam bukunya Anarchism, berkata bahwa “yang bijak seharusnya tidak memberikan kekuasaan kepada negara.”
Dalam dunia filsafat timur, Lao Tze, seperti tergambar dalam literatur Tao Te Ching, mengembangkan filosofi “tanpa kekuasaan” yang kemudian mengantar para penganut Taoisma hidup dalam pola Anarkisma. Di lain masa dan konteks, muncul pula para penganut Anarkisma Nasrani yang berpendapat bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari “kekuasaan Tuhan,” dan menentang segala bentuk kekuasaan lain yang “didirikan manusia.” Ajaran Kristus dinilai sangat mengandung nilai-nilai Anarkisma dan kehidupan jemaat mula-mula juga jelas-jelas mempraktekkan hal yang sama.
Kelompok Anabaptis di Eropa pada abad 16 adalah para praktisi Anarkisma Nasrani. Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy menulis bahwa penganut Anabaptis “repudiated all law, since they held that the good man will be guided at every moment by the Holy Spirit.”
Menariknya, seperti yang dijelaskan dalam The Oxford Companion to Philosophy yang berkata bahwa “there is no single defining position that all anarchists hold, beyond their rejection of compulsory government, and those considered anarchists at best share a certain family resemblance,” Anarkisma seolah “menolak” pemaknaan tunggal terhadap dirinya. Ia seolah bisa menjadi “apa saja.”
Pilar-pilar Anarkisma mendukung: otonomi, perdamaian, konsensus, kooperasi, partisipasi, kolektivitas, de-birokrasi, persamaan hak dan kewajiban, persamaan derajat, saling tolong menolong, kepemilikan pribadi, kesadaran dan kebebasan berkumpul dan asosiasi pekerja independen, penyelamatan alam, perlawanan budaya. Anarkisma sendiri menolak: autoritarisma, pensensoran, kekerasan, ekploitasi, hirarki sosial (pengkastaan), fasisma, imperialisma, paternalisma, politisasi/kekuasaan agama, statistika massa, sosialisma negara dan ekonomi terencana.
Adalah Pierre-Joseph Proudhon yang kemudian dianggap sebagai yang pertama mendeklarasikan diri sebagai seorang anarkis, melalui bukunya What is Properti? yang terbit tahun 1840. Kalimat yang paling terkenal dari karyanya ini adalah “Liberty is the mother, not the daughter, of order.” Oleh karena pemikirannya ini, Ia disebut-sebut sebagai penggagas dari Anarkisma Modern.
Dalam pemikiran-pemikirannya, Proudhon mengoposisi dua “ism” raksasa yang menjadi musuh abadi: Kapitalisma dan Komunisma sekaligus. Dan, oleh karena pilihan ideologinya inilah Anarkisma akhirnya harus mengalami rongrongan dari dua ideologi besar ini. Jadi, agaknya kurang tepat jika ada yang mengatakan jika Anarkisma adalah “sempalan” dari Komunisma. Tokoh Anarkisma, Mikhail Bakunin, pada konferensi “The First International” tahun 1864 jelas-jelas menolak keras Autoritarianisme yang adalah sendi dasar dari Komunisma.
Alexander Bergman, David D. Friedman, Emma Goldman, Shusui Kotoko, Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Nestor Makhno, Buenaventura Durruti, Voltairine de Cleyre, Hakim Bey, Saul Newman dan setumpuk nama lainnya adalah tokoh-tokoh Anarkisma selanjutnya. Banyak juga tokoh dalam sejarah secara tidak langsung mengaku bahwa ia Anarkis, namun dalam secara ideal dan praktis mereka menganut Anarkisma. Beberapa diantaranya adalah: Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, Gustave de Molinari, Guy Debord, William Godwin, Howard Zinn, Noam Chomsky, Jack Kerouac, dan, jangan kaget, Thomas Jefferson, Mohandas Gandhi, dan Karl Marx!
Thomas Jefferson, seorang pendiri Amerika Serikat, pionir Demokrasi dan mendukung Anarkisma dan mengkritik kekorupan sistem kekuasaan di Eropa dengan berucap: “The basis of our governments being the opinion of the people, the very first object should be to keep that right; and were it left to me to decide whether we should have a government without newspapers or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to prefer the latter. But I should mean that every man should receive those papers and be capable of reading them. I am convinced that those societies (as the Indians) which live without government enjoy in their general mass an infinitely greater degree of happiness than those who live under the European governments. Among the former, public opinion is in the place of law and restrains morals as powerfully as laws ever did anywhere.”
Jefferson menutup dengan berkata, “Saya tidak sedang mengada-ada. Alih-alih karena kebutuhan kekuasaan pemerintahan, mereka justru telah memecah bangsa mereka menjadi dua kelompok: serigala dan domba.”
Mari Menjadi Anarkis!
Menjadi anarkis berarti menolak struktur kekuasaan dan hierarki. Ini tentang tidak menerima siapa pun di atas Anda tetapi juga tidak menempatkan diri di atas siapa pun. Jadi menjadi seorang anarkis adalah tentang membangun dunia tanpa relasi kuasa, tanpa dominasi satu dengan yang lain.
Anarkisme adalah suatu proses di mana otoritas dan dominasi digantikan dengan struktur horizontal yang tidak hierarkis, dengan asosiasi sukarela antara manusia. Ini adalah bentuk organisasi sosial dengan seperangkat prinsip utama, seperti pengorganisasian diri, asosiasi sukarela, kebebasan, otonomi, solidaritas, demokrasi langsung, egalitarianisme, dan gotong royong.
Anarkisma memang bukan sebuah falsafah yang sangat sempurna, sebagaimana juga falsafah manapun di dunia ini. Saya tidak akan menyembunyikan fakta bahwa memang ada segelintir anarkis, mereka yang terpengaruh dengan “Nihilist Movement” di akhir abad ke-19 lalu, yang tiba pada sebuah pemahaman bahwa sesekali waktu perlu pelaksanaan “Propaganda of the Deeds,” yang salah satu metode taktisnya melibatkan “pernyataan publik” dengan menggunakan tindakan-tindakan yang kemudian diterjemahkan sebagai aksi kekerasan. Metode ini dalam kalangan anarkis sendiri sangat ditolak dan dicerca. Hakikinya, Anarkisma adalah sebuah pemikiran yang dalam menuju cita-citanya masyarakat anarki/utopia, sangat menentang kekerasan dan penindasan dalam bentuk apapun.
Memang, label Individualisma, sosialisma, kolektivisma, mutualisma, serta label-label lainnya terus-menerus tertempel pada Anarkisma. Tetapi, sebagaimana rekaman sejarahwan George Richard Esenwein dalam bukunya Anarchist Ideology and the Working Class Movement in Spain, 1868–1898 yang mencatat seruan “Anarkisma Tanpa Kata Sifat” dari Fernando Tarrida del Mármol sebagai ajakan untuk bertoleransi, ditambah dengan sifat-sifat dasarnya yang egalitarian, indigenous, feminist, ecological dan cultural-concious, saya menganggap bahwa Anarkisma adalah sesuatu yang layak kita pandang sebagai sebuah solusi untuk menghadapi kompleksitas permasalahan politik kita hari ini yang kian menyeret masyarakat menjadi semakin terpolarisasi, terbelah, dan rentan konflik.
Anarkisma percaya bahwa manusia pada dasarnya tidak jahat, tetapi mereka dapat menjadi seperti itu ketika dibanjiri dengan keserakahan atas iming-iming kekuasaan. Para politisi adalah contoh dari seseorang yang pada dasarnya telah dikuasai oleh “keinginan untuk berkuasa” walau sebenarnya tidak peduli dengan orang-orang yang bermaksud mereka pimpin. Manusia secara inheren cukup bertanggung jawab untuk berperilaku baik bahkan ketika tanpa tekanan kekuasaan, sehingga sebenarnya kekuasaan pemerintahan menjadi tidak perlu bahkan malah berbahaya.
Saya tertarik untuk menutup tulisan ini dengan merujuk David Graeber and Andrej Grubacic dalam buku mereka Anarchism, Or The Revolutionary Movement Of The Twenty-first Century yang memberikan argumen bahwa oleh karena Anarkisma bukan sebuah paham yang “diciptakan” oleh seseorang saja, maka ia berkencerungan untuk terus berkembang berdasarkan prinsip-prinsip praktis yang lebih subjektif namun tidak melupakan objektifisma, dan secara alami meminimalisir fanatisme. Nature dari Anarkisma adalah “open doctrine” yang membuka ruang seluas-luasnya untuk kreativitas, kontekstualitas, serta identitas. *
Editor: Denni Pinontoan