CULTURAL
Kembalinya Wacana Kolonial dalam Kuliner
Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Apa yang mesti dimakan sebuah kaum dan bagaimana menyiapkannya tidak melulu soal selera, sebab kolonisasi juga masuk melalui pilihan kuliner
ALFRED RUSSEL WALLACE tiba di Manado pada 10 Juni 1859. Kurang lebih 162 tahun dari sekarang (2019). Tinggal seminggu di Manado, Wallace lalu melanjutkan perjalanannya ke pegunungan Minahasa. Ia tidak sedang melakukan perjalanan liburan. Ini perjalanan ‘ilmiah’, seperti tren ilmu pengetahuan Eropa di masa itu.
“Salah satu tujuan utama perjalananku adalah memperoleh bukti tentang alam ini,” tulis Wallace dalam buku laporan perjalanannya berjudul The Malay Archipelago, terbit pertama kali tahun 1869. Dalam edisi bahasa Indonesia, buku ini terbit dengan judul Sejarah Nusantara (Indoliterasi, 2015).
Di Tomohon, pada bulan Juni itu, Wallace sempat berkunjung ke rumah seorang Mayor di situ. Di Manado, mungkin Wallace membayangkan, kehidupan orang-orang di pegunungan Minahasa adalah liar atau benar-benar tidak beradab menurut pandangan yang menyertainya. Tapi, melihat rumah sang Mayor ia terkejut.
“Aku memperoleh kejutan di sini. Rumah itu besar, sejuk, dan dibangun dengan kuat dari kayu keras, dan dibangun dengan tenaga ahli dan cekatan,” ungkapnya.
Pada jamuan itu, Wallace menikmati keramahtamahan sang mayor dan keluarganya. “Segera setelah kami masuk, madeira dan teh pahit ditawarkan kepada kami,” kata Wallace.
Makanan malam itu sangat lezat, kata Wallace. “Unggas dimasak dalam berbagai cara; ada babi panggang yang direbus dan digoreng, fricassee dari kelelawar, kentang, nasi dan sayuran lainnya,” jelas Wallace.
Sambil menikmati lezatnya makanan, kata Wallace, mereka juga menikmati bir yang melimpah.
Jabatan Mayor adalah juga bentukan kolonial. Seorang pemimpin masyarakat yang telah dibentuk menurut sistem birokrasi kolonial, dengan begitu rumah, cara makan, cara berpenampilan mesti mengikuti cara-cara kolonial. Seorang Mayor yang telah mengikuti gaya hidup kolonial berbeda sekali dengan kehidupan rakyat kebanyakan.
Di Inggris atau Eropa pada umumnya, Timur adalah cerita, mungkin juga rumor, yang lainnya hoax. Sementara bagi para naturalis ‘bukti’ adalah segala-galanya. Ini penting bagi Eropa untuk mengatakan sesuatu itu ‘ada’. Dengan adanya bukti, maka berarti ‘sesuatu’ itu adalah objek. Untuk apa saja.
Di periode yang sama, selain Wallace, zendeling Nicolaus Graafland juga pernah berkunjung ke rumah mayor ini. Ketika dijamu oleh sang Mayor dan keluarga, dia menikmati sebuah penyambutan yang sangat terhormat.
“Lihatlah sekeliling: sebuah meja makan, yang oleh banyak orang Eropa akan merasa dihormati. Semuanya rapi dan jernih: taplak dan serbet, piring, sendok, pisau meja, gelas,”tulis Graafland dalam bukunya De Minahassa, terbit tahun 1867.
Jenis masakan yang disajikan di meja makan terasa sangat lezat. “Pertama-tama saya menunjukkan kepada Anda sup, yang disajikan dalam pinggan sup yang bagus. Di sana Anda melihat piring besar yang di atasnya terdapat daging babi hutan, yang kelihatan enak sekali, yang anda dapat makan bersama kentang yang bagus, yang ada kalanya enak sekali; di sini terpampang ayam kampung yang gemuk, yang digoreng enak sekali,” Graafland menggambarkan secara detil.
Benar-benar telah mengikuti ukuran kolonial. Gaya hidup Eropa.
Sesuatu yang sebelumnya ‘tidak ada’ itu, menjadi ‘ada’ menurut kolonial. Maka, ia perlu diberi ‘nama’. Diberi ‘tanda’. Diberi ‘kode’. Itu seperti sekarang diberi tanda oleh GPS, agar sesuatu menjadi ‘tempat’. Selanjutnya, terserah maunya si pemberi nama, tanda, dan kode itu. Yang penting, pertama-tama adalah ‘sesuatu itu‘ sudah ‘dikenali’, meski tidak pernah dapat dipahami seumur hidup mereka.
Di masa kolonialisme itu, orang-orang dan peradaban di Timur dicap ‘alifuru’, ‘barbar’, ‘kanibal’. Wacana itu mesti dibangun untuk mencapai klaim bangsa Eropa adalah bangsa yang paling beradab. Kolonialisme terkadang juga dipahami sebagai sebuah tindakan bermoral untuk memperadabkan bangsa-bangsa yang dicap liar dan tidak beradab itu.
Jadi, wacana besarnya adalah “Timur adalah tidak beradab dan Eropa adalah beradab”.
Namun, ada yang menarik ketika Riedel, zendeling yang hingga kini diagung-agungkan oleh orang-orang Kristen Minahasa pertama kali melakukan perjalanan ke pegunungan Minahasa. Ini terjadi di tahun 1831.
Dari Manado ke pegunungan, Riedel berkebangsaan Jerman itu ditemani oleh seorang Minahasa bernama Tomalun. Ia seorang lelaki, penggemar sirih dan pinang. Sesuatu yang tidak ada di tempat asal Riedel.
Di sebuah tempat, Riedel melihat sekelompok orang sedang bekerja. Orang-orang itu rupanya sedang mengerjakan kebun secara mapalus. Riedel lalu bertanya kepada Tomalun.
“Apakah mereka adalah budak yang bekerja pada orang kaya?”
Tomalun yang sementara menguyah pinang mengangkat kepalanya dan berkata, “Tidak ada budak, Tuanku. Semua orang bebas!” Demikian seperti ditulis R. Grundemann pada bukunya berjudul Johann Friedrich Riedel: ein Lebensbild aus der Minahassa auf Celebes (Gütersloh : C. Bertelsmann, 1873).
Tomalun, orang Minahasa yang menurut pandangan kebanyakan orang Eropa masa itu sebagai yang tidak beradab, menyatakan sesuatu yang kelak oleh peradaban Eropa dijadikan sebagai salah satu syarat demokrasi modern, yaitu ‘kebebasan’ atau ‘kemerdekaan’. Tomalun sudah pasti tidak pernah membaca sejarah Revolusi Perancis, cikal bakal demokrasi modern. Riedel, pasti tahu sejarah revolusi itu.
***
Mari kita simak bagaimana seorang Alfred Russel Wallace yang datang dengan ideologi ‘beradab’ Eropa mendefinisikan atau ‘memberi tanda’ kepada orang-orang Minahasa pertengahan abad 19:
“Mereka memiliki kulit cokelat muda atau kuning, sering mendekat kulit cerah orang Eropa; namun agak pendek perawakannya, gagah, dan tampan, dengan wajah yang ramah dan menyenangkan, dan tetap tampan meski usianya semakin tua, dan dengan rambut panjangm lurus, hitam legam khas ras Melayu.”
Wallace menulis itu dan melaporkannya ke Inggris. Jadilah ia sebuah definisi, sebuah batasan, sebuah nama, sebuah kode, sebuah tanda. Laporan-laporan hasil penelitian Wallace telah memberi sumbangan besar bagi perkembangan teori evolusi, seperti yang diketahui oleh banyak orang, seolah-olah itu hanya milik Charles Darwin seorang. Sementara pemamahan baru tentang relasi manusia dan binatang atau makhluk hidup pada umumnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu hayat (biologi). Wallace dan Hickson yang pernah datang ke sini – bangsa ‘yang tidak beradab’ menurut mereka itu – telah menemukan banyak hal baru yang kemudian diolah menjadi teori-teori untuk disumbangkan pada ilmu pengetahuan Barat di masa itu.
Mari kita bandingkan bagaimana wacana orang-orang Eropa abad 21 terhadap orang-orang Minahasa dengan maksud yang sama tapi mengambil engel yang berbeda.
Sebastian Margenfeld, Founder and Director of Hope and Wellness foundation e.v Germany seperti diberitakan kumparan.com (media online Indonesia) menyebutkan, “Orang-orang Eropa termasuk Jerman, tidak akan pernah mau melihat penyiksaan terhadap hewan, seperti yang terlihat di pasar ekstrim.”
“Pasar ekstrim adalah sesuatu yang tidak ingin dilihat orang-orang, terutama orang Barat dan Jerman, sama sekali tidak mau melihat hal seperti itu,” tutur Sebastian seperti tulis kumparan.com.
“Menurutnya, seharusnya yang ditonjolkan adalah keindahan dari Indonesia, sebuah negara yang memiliki banyak hal positif untuk diperlihatkan kepada dunia,” tulis kumparan.com.
“Indonesia adalah negara yang sangat indah. Jangan tercoreng dengan hal-hal buruk seperti yang terjadi di pasar Ekstrim,” ungkap Sebastian, Sabtu (2/3).
Bukan cuma Sebastian, aktor asal Inggris, Peter Egan juga datang mengulang wacana kolonial para pendahulunya. Media bangsa bekas jajahan Eropa dengan senang memberitakan kedatangannya. Begitupula orang-orang Minahasa yang dulu leluhurnya dijajah oleh leluhur bangsa ini juga, bukan cuma senang tapi menjadi agen mereka.
Wallace orang Inggris, Sebastian orang Jerman. Mereka sama-sama orang Eropa.
Kolonialisme telah membelah, bukan cuma secara kultural, melainkan juga moral antara ‘Timur’ dan ‘Barat’. Soal ini telah diulas oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme (1978). Setelah dia ada juga ulasan kritis dan komprehensif dari Ania Loomba dalam bukunya Colonialism/Postcolonialisme, terbit tahun 2000. Dan banyak lagi pengkaji lainnya.
“’Pribumi Dunia Baru’ telah dikatakan dilahirkan oleh pertemuan orang Eropa dengan mereka; karena itu, sebuah wacana tentang primitifisme telah meliputi mereka. Di satu sisi, ‘Timur dikonstruksi sebagai barbar atau rendah’,” kata Loomba.
***
Kini seolah wacana (warisan) kolonialisme itu hidup kembali di abad 21, di Minahasa ini melalui kuliner. Satu hal yang sangat sulit dimengerti, orang-orang Minahasa sudah berusaha modern dengan menerima jeans untuk pula dipakai di gedung gereja, yang juga warisan Eropa itu, generasi mereka masih saja datang dengan wacana dari leluhur mereka: “Tidak beradab”!!! Makan ‘RW’, kata orang-orang yang mengklaim paling beradab itu sebagai cara-cara ‘tidak beradab’.
Atau, di saat bangsa-bangsa bekas jajahan ini sudah menerima demokrasi, persamaan hak, dan sudah berusaha belajar melupakan kolonialisme oleh bangsa-bangsa Barat, justru sekelompok orang yang dengan jelas diidentifikasi sebagai orang Eropa datang dengan wacana ‘purba’ leluhur mereka. Ini sungguh sebuah ironi!
Kolonialisme tidak datang pertama-tama dengan armada perang atau senjata, melainkan dengan doktrin. Said dan kawan-kawannya pengkaji orientalism dan postcolonialism menyebut doktrin itu dengan ‘oposisi biner’. Sebuah pembelahan.
Linda Alvarez, seorang doktor yang bergiat untuk keadilan untuk hak memilih makanan dan jaminan kesehatan atas pilihan itu dalam artikelnya berjudul “Colonization, Food, and the Practice of Eating” menulis, “Kolonisasi adalah proses kekerasan yang secara fundamental mengubah cara hidup orang yang dijajah. Makanan selalu menjadi alat mendasar dalam proses kolonisasi. Melalui makanan, norma sosial dan budaya disampaikan, dan juga dilanggar.”
Di era ini, orang-orang mengkonsumsi sebuah jenis menu, tidak hanya karena selera. Sejarah dan ideologi yang membentuknya telah turut menentukan sebuah masyarakat untuk ‘terpaksa’ beralih ke jenis masakan yang lain. Dengan begitu, bagi Alvares soal kuliner mesti dimasukan pula dalam diskursus kolonial. Dalam artikelnya itu ia mengulas bagaimana proses perubahan tradisi kuliner di Indian oleh karena kolonisasi Spanyol di masa lampau.
Wacana kolonial telah turut berperan mengubah mental dan juga tradisi bangsa jajahan. Mari kita ingat bagaimana para zendeling dan para naturalis (ilmuwan) menamakan peradaban leluhur kita: ‘Alifuru’. Bayangkan, dari nama suku di Seram ia kemudian dikontruksi menjadi stigma dan lebel. “Alfur, Alfuros, Alfures, Alifuru atau Horaforas” telah diubah menurut ideologi Eropa menjadi lebel dan stigma yang berarti: ‘orang-orang pedalaman’, ‘orang-orang terkebelakang’, ‘orang’orang bodoh’. ‘Alifuru’ dalam konstruksi kolonial adalah istilah lain dari ‘bangsa yang tidak beradab.’ Hal yang sama juga terjadi pada istilah ‘barbar’ yang semula netral, tapi kemudian telah diubah maknanya menjadi ‘cara hidup yang terkebelakang’, ‘liar’, ‘kasar’ dan rendah secara moral.
Maka terbentuklah wacana besarnya: “orang-orang Timur adalah ‘tidak beradab’.”
Siapa mereka? Mereka itu adalah para leluhur kita, itu adalah kita hari ini. Itu adalah peradaban kita dulu dan kini.
Dan, peradaban kita yang menurut mereka itu ‘tidak beradab’ adalah yang telah membuat peradaban Eropa itu maju hingga kini. Sumber daya alam, sumber daya manusia, dan pengetahuan peradaban kita, di masa penjajahan itu telah memberi kontribusi besar bagi peradaban Eropa (Belanda, Jerman, Inggris, dll) menjadi ‘beradab’ (menurut klaim) mereka seperti sekarang.
Tapi peradaban ternyata telah melahirkan generasi ‘mutan’. Tidak ada dalam catatan laporan Wallace, Hickson, Graafland, dan lain sebagainya bahwa ‘mengkonsumsi daging anjing’ (L. Adam tahun 1925 sudah menyebutnya ‘RW’) sebagai perilaku ‘tidak beradab.’ Kolonialisme rupanya masih hidup dan telah mengalami metamorfisis, antara lain hadir dalam wacana kuliner.
Tapi, sesuatu yang tidak berubah dari watak kolonial adalah diproduksinya kekuatan-kekuatan menaklukkan dari bangsa jajahan itu sendiri. Siapa yang terdepan mengkampanyekan wacana kolonial ‘Makan RW’ sama dengan ‘tidak beradab’ itu hari ini?” Mereka adalah ‘orang’orang bekas jajahan. Orang-orang itu Minahasa sendiri.
***
Wacana kolonial bekerja untuk ‘mendisiplinkan’ sebuah kaum, menurut hukum, doktrin agama dan ideologi dari bangsa yang merasa paling superior. Superioritas itu bersumber dari banyak hal. Superioritas ras, superioritas agama, superioritas moral. Semua itu adalah untuk menegaskan ‘superioritas peradaban’. Salah satunya adalah wacana ‘makanan yang benar’ dan ‘makanan yang tidak benar’; ‘makanan yang sehat dan makanan yang tidak sehat’. Turunannya adalah pembentukan kelas-kelas sosial menurut ukuran makanan yang dikonsumsi.
Hari ini, kita menyaksikan kampanye stop makan RW dimasukan dalam wacana ‘tidak beradab’. Khas wacana kolonial.
Jadi, wacana ‘makan RW’ sama dengan ‘tidak beradab’ adalah rasisme. Bagaimana wacana rasisme beroperasi di sini? Ini warisan kolonial: ‘liar-sopan’; ‘bodoh-terdidik’; ‘kotor-bersih’, ‘tidak beradab-beradab’, dlsb. Rasisme tidak hanya tentang warna kulit, tapi juga budaya dan adat istiadat, kata Ania Lomba. Pembedaan ekstrim, seperti dikotomi agama bangsa Barat itu, Kristen: “berdosa-saleh”; “neraka-surga”; adalah doktrin untuk menegaskan superioritas, klaim atas keseluruhan hidup bangsa yang dijajah. Ujung-ujungnya adalah eksploitasi sumber daya. Penaklukan pikiran dan moral demi untuk penguasaan sumber daya.
Wacana dualistis itu datang diperkenalkan pada bangsa-bangsa yang mengutamakan harmoni, keseimbangan dan keselarasan. Anjing adalah hewan untuk berburu, tapi juga ia untuk kurban pada ritual, lalu dagingnya dapat dimasak menjadi hidangan untuk disantap bersama merayakan kehidupan. Wacana kolonial membela kosmologi ini untuk hanya memilih satu yang benar dari beberapa hal itu.
Makan ‘RW’ sama dengan ‘tidak beradab’ adalah sebentuk kebiasaan ‘biadab’ seperti kampanye dari para aktivis pecinta hewan asal Eropa yang telah mengindoktrinasi ‘orang’orang dalam’ dengan sebuah kesadaran palsu, adalah warisan kolonialisme. Sesuatu yang sungguh aneh ketika masih muncul di era ini. Pun di era masa leluhur mereka, ini sebetulnya adalah sesuatu yang tidak faktual. Tidak benar bangsa di Timur, di Minahasa ini ‘tidak beradab’, ‘bodoh’, barbar’ menurut pengertian mereka.
Sebab, di pertengahan abad 19 sudah ada orang-orang Minahasa yang duduk sederajat di sekolah-sekolah di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda. Mereka dapat belajar, bahkan mungkin boleh dikatakan, melampaui orang-orang Eropa.
Lambertus Mangindaan, Joseph Rasu, A.L. Waworuntu, A.Z.R. Wenas, G.S.S.J. Ratulangi, dan banyak lagi dapat belajar melampaui dari kemampuan orang-orang Eropa di zaman itu. Disebut ‘melampaui’ karena mereka telah berhasil belajar bukan tatacara dan standar pengetahuan dari peradabannya secara memuaskan.
Ketika wacana kolonial itu hadir kembali menyasar soal kuliner, urusan perut, sepertinya ini bentuk lain dari penguasaan atas ‘tanah’ seperti di masa kolonialisme itu. Kolonialisme selalu berurusan dengan pendisiplinan dan kontrol terhadap moral dan kebiasaan, mutakhir, di abad 21 ini, ternyata itu juga tentang pilihan kuliner.
Wacana kolonial itu hadir dalam kampanye: “Makan RW tidak beradab versus tidak makan RW adalah beradab.” (*)
Editor: Daniel Kaligis