Published
3 years agoon
By
daniel17 Januari 2022
Berkunjung dan belajar di Minahasa adalah rindu Kartini yang tak pernah terwujud…
Oleh: Denni Pinontoan
Editor: Daniel Kaligis
R.A. KARTINI pernah ingin datang ke Minahasa. Ia berteman dengan seorang utusan Nederland Bijbelgenootschap (NBG) yang bertugas di Poso dan daerah lain di Sulawesi, Dr. Nicolaus Adriani. Dalam suratnya tertanggal 24 September 1902 yang ditujukan kepada Adriani, Kartini menyatakan kerinduannya untuk datang ke Minahasa.
“Betapalah soeka hati kami hendak pergi ke Minahasa, hendak berkenalan dengan Boemipoetera di sana,” tulis Kartini dalam suratnya yang terbit dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, buku terbitan Balai Poestaka tahun 1922.
Apa gerangan yang membuat Kartini ingin ke Minahasa, sebuah negeri di jazirah utara Celebes itu?
Kartini rupanya telah mendengar kemajuan pendidikan di Minahasa. Ia mendengar tentang adanya sekolah khusus untuk perempuan di Tomohon, kota kecil pusat kekristenan di Minahasa.
Kartini seorang perempuan yang berpikiran luas dan memiliki perhatian besar terhadap kemajuan pendidikan bagi perempuan-perempuan Jawa. Demi memperluas pengetahuannya, ia rupanya ingin sekali datang ke Minahasa untuk belajar tentang pendidikan khusus para perempuan di sini.
“Demikian djoega hendak mendengar keadaan sekolah oesaha roemah tangga oentoek gadis-gadis Boemipoetera di Tomohon. Selian itoe perloenja, ialah oentoek menambah peladjaran kami,” tulis Kartini.
Dr. Adriani adalah seorang ahli bahasa, bukan guru atau misionaris. Ia adalah utusan NBG, sebuah lembaga yang berpusat Haarlem, Belanda yang berfokus pada penerjemahan Alkitab. Dalam pekerjaan ini, Adriani mesti mempelajari bahasa-bahasa ibu di banyak daerah di Hindia Belanda, terutama Poso dan Minahasa. Ia juga meneliti bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca sejak beberapa abad sebelumnya.
Adriani datang ke Hindia Belanda pada tahun 1894. Menurut E.A. Adriani dalam Dr N. Adriani Zooals Wij Hem Zien uit Zijn Brieven (Dr N. Adriani Seperti yang Kita Lihat Dari Surat-Suratnya), Adriani pertama kali bertemu dengan Kartini pada tahun 1900. Pertemuan itu terjadi pada Selasa, 18 September 1900 ketika ia diundang oleh Njonja R. M. Abendanon-Mandri makan malam di rumah mereka di Weltevreden, Batavia. Rupanya sehari sebelumnya Bupati Jepara bersama istri dan tiga orang putrinya telah datang dan menginap di rumah itu.
“Di sana sudah duduk Bupati, pria yang sangat sopan dan menyenangkan, dengan kumis abu-abu; dia berbicara bahasa Belanda dengan sangat baik, Raden Ajoe tidak,” begitu Adriani menggambarkan pertemuannya dengan orang tua Kartini.
Di meja makan itu juga duduk tiga perempuan muda. Mereka adalah Kartini, Rukmini dan Kardinah. Adriani menggambarkan kesannya terhadap tiga perempuan, anak bupati Jepara itu. Ketiganya berpakain sama. “Sutra putih yang indah dengan bunga mawar, kancing rambut dan kalung emas sempit di lehernya, yang terlihat sangat manis di tubuh, dan ketiganya mengenakan sarung ikat celup yang indah, karya sendiri, dari pakaian yang sangat terhormat berwarna coklat,” jelas Adriani.
Rukmini berbahasa Belanda dengan fasih. Kepada Adriani dia menyampaikan kritik terhadap kegiatan misi di Jepara. Lalu Kartini, kata Adriani berbicara dengan ramah namun agak tidak tenang. Kardinah adalah yang paling muda, sehingga menurut Adriani dia lebih banyak diam.
Itulah pertemuan pertama Adriani dengan Kartini, yang selanjutnya berlanjut dengan saling mengirim surat. Enam bulan dari pertemuan itu, Kartini mengirim surat kepada Adriani yang menyatakan kesannya yang mendalam pada acara makam malam di rumah Abendanon itu.
“Malam kita doedoek di Betawi itoe bertjengkerma bersama-sama, malam itoe selaloelah mendjadi tinggal kenang-kenangan jang menjenangkan hati kami,” ungkap Kartini dalam suratnya tertanggal 19 Maret 1901.
Adriani mengenal Minahasa. Ia giat meneliti bahasa-bahasa ibu di Jazirah Utara Sulawesi, seperti Sangihe dan Minahasa. Ia memiliki hubungan dengan para zendeling di Minahasa. Istrinya Maria Lamberta Gunning bersama dengan seorang guru pribumi Minahasa, J. Regar di tahun-tahun itu sedang mengerjakan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Minahasa.
Pasti juga ia mendengar dari Adriani tentang kemajuan pendidikan di Minahasa, terutama kaum perempuan. Kartini rupanya sangat terinspirasi dengan hal itu. Pada suratnya kepada Adriani tertanggal 24 September 1902, Kartini menulis, “Betapalah soeka hati kami, kalau sekiranja kami dapat tinggal barang beberapa lamanja di tempat toean, bersama-sama dengan pendéta-pendéta jang lain.”
Dua tahun setelah kelahiran Kartini pada 21 April 1879, yaitu pada tahun 1881 di Tomohon berdiri Meisjesschool atau dikenal dengan nama Sekolah Nona. Para murid adalah perempuan-perempuan Minahasa. Mereka dididik antara lain untuk menjadi guru bagi kaumnya.
Pada tahun 1854 di Tanawangko sudah berdiri Kweekschool voor Inlands Onderwijzer (Sekolah untuk Guru Pribumi). Pada akhir abad ke-19, sekolah guru ini kemudian pindah ke Tomohon. Hingga akhir abad ke-19 hampir semua negeri sudah berdiri sekolah dasar, baik yang dikelola oleh zending, pemerintah maupun yang didirikan oleh masyarakat setempat. Guru-guru Minahasa sudah berjumlah ratusan orang.
Kartini rupanya sangat terkesan dengan kabar ujian terakhir para murid di sekolah guru di Tomohon itu. Itulah juga harapannya, yaitu bisa melanjutkan pendidikan di sekolah guru. Cita-cita Kartini adalah untuk menjadi pendidik bagi kaumnya.
“Berita tentang oedjian penghabisan dari moerid-moerid sekolah goeroe di Tomohon menarik hati kami benar. Makin pandjang kami batja berita itoe, makin bertambah girang dan soekatjita hati kami,” kata Kartini kepada Adriani dalam suratnya itu.
Namun, kerinduan dan harapan Kartini tidak pernah tercapai hingga ia meninggal pada 17 September 1904. Perempuan yang brilian dan penuh semangat untuk kemajuan kaumnya ini tidak pernah dapat datang ke Minahasa. Keinginan besarnya untuk dapat melanjutkan pendidikan guru, juga kandas oleh adat yang feodalistis lagi patriarkis itu.
Kartini mesti memendam semua kerinduan dan keinginannya itu. Percakapan dengan Adriani dan beberapa orang Eropa lainnya melalui surat-menyurat sepertinya adalah cara dia menghibur diri.
“Djikalau hati sedang goesar dan masgoel karena ditimpa oléh nasib jang malang, berapalah senangnja hati nanti di sana dalam oedara jang soetji penoeh dengan kasih dan sajang itoe, masoek ke dalam hati mendamaikannja,” tulis Kartini dalam suratnya. (*)
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan