OPINI
Keropos
Published
6 years agoon
By
philipsmarx18 Januari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Jurnalis, Director Komunitas Penulis MAPATIK
SEDERET kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat di Sulawesi Utara, dianggap jalan di tempat. Bahkan terkesan telah terkubur dalam. Kondisi ini memantik tanya publik. Gelombang sorotan kencang menyasar prilaku buruk para aparat hukum penghuni rumah Korps Bhayangkara dan Korps Adhyaksa.
Kerisauan masyarakat Sulawesi Utara bukan tanpa alasan. Memori Oktober 2017 masih tergurat dalam di otak. Kala itu bumi nyiur melambai berguncang hebat. Saat awan kelam membungkus dunia peradilan Sulawesi Utara. Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sudiwardono terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ikut terjerat, personil Komisi XI DPR RI, Aditya Anugerah Moha.
Fakta persidangan kemudian menguak, Sudiwardono dan Aditya bermain transaksi suap. Aksi itu dilakukan untuk mempengaruhi pemegang palu pengadilan. Biar jeruji besi jauh dari Marlina Moha Siahaan. Anggota DPRD Sulawesi Utara, ibu dari Aditya yang terseret kasus korupsi tunjangan pendapatan aparat pemerintah desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow, di era ketika ia duduk di kursi bupati tanah Totabuan. Putusan banding yang bergulir coba digeser dengan sekarung rupiah.
Di Indonesia, ini memang bukan kisah baru. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengurai, sejak Maret 2012 hingga November 2018 saja, sudah ada 28 orang hakim dan aparat pengadilan (non hakim) yang tersandung kasus korupsi. Daftar itu barangkali hanya sedikit catatan kelam dunia peradilan kita yang berhasil terkuak nyata di mata publik.
Lembaga peradilan selalu menjadi ruang asa bagi setiap hati yang rindu menemukan keadilan. Sayang, kehidupan nyata acap kali tak seindah mimpi. Pengadilan justru menjadi pedang legitimasi untuk menjauhkan keadilan dari masyarakat. Tak mengherankan jika banyak orang bersikap sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan di Indonesia.
Episode drama pembegalan kebenaran dan keadilan tak pernah berujung. Aksi sistematis itu seperti sebuah permainan menarik gerombolan mafia peradilan. Ingatan proses pengadilan mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaedi, 2006 lampau masih segar dalam memori. Pemandangan ngilu-pilu. Saat ia menjemput putusan hakim dengan teriakan geram. Ia kesal karena talang yang mengalirkan Rp1,6 miliar telah berujung ke jaksa. Sebagian dana telah digunakan untuk memesan hakim.
Kencang berdegung di telinga publik, para pemeran mafia peradilan dalam proses persidangan adalah seluruh lapisan aparat penegak hukum. Polisi, jaksa, hakim, panitera, hingga advokat. Mulai dari tingkat daerah sampai di Mahkamah Agung, semua ikut bermain dalam pentas itu.
Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998 menyebutkan, korupsi di peradilan Indonesia berada di ranking paling tinggi di antara negara-negara seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan seterusnya. Bahkan, hasil survei nasional tentang korupsi yang dilakukan Partnership for Governance Reform pada 2002 juga menempatkan lembaga peradilan Indonesia di peringkat lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan tertinggi, yakni 45% dibandingkan lembaga lainnya. Bahkan data yang sempat dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption.
Pada saat yang sama kita juga melihat adegan yang melukai rasa keadilan. Koruptor kakap banyak yang dibebaskan berkeliaran, sementara pencuri kelas teri hampir tak pernah lolos dari hukuman. Dalam catatan ICW, selama kurun waktu 1999 hingga 2006, ada 142 pelaku korupsi yang dibebaskan oleh 133 hakim di berbagai daerah di Indonesia.
Hari ini, mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang hilang dalam tumpukan jerami. Rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung, tidak hanya menunjukkan banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah di antaranya penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes) adalah bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum (disrespecting and distrusting the law).
Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini sangat memiriskan. Kondisi itu nampaknya tergambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen. Dari penelitian yang dilakukan terhadap para responden, antara lain temuannya adalah, 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not protect them), 38% tidak ada persamaan di muka hukum (there is no such thing as equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as corrupt as it has always been) problem.
Menurut sejumlah pakar, langgengnya praktek mafia peradilan di Indonesia dipicu oleh sejumlah persoalan. Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera. Hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan keadilan. Belum lagi sistem peradilan berjenjang yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses hukum akhirnya berjalan panjang karena rantai peradilan yang panjang. Setiap jenjang pun memiliki “lahan basah” sendiri bagi para mafia peradilan. Kondisi itu ikut dikuak “orang dalam”, Jaksa Kejaksaan Agung dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Wahyu Wiriadinata dalam tulisannya tentang “Masalah Mafia Peradilan dan Korupsi di Indonesia”.
Equality before the law (persamaan di depan hukum) hingga kini masih sekedar lagu yang enak didengar. Faktanya, di lembaga peradilan Indonesia tidak ada persamaan di depan hukum. Status dan kedudukan seseorang sangat berpengaruh. Pejabat negara tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden baru kasusnya berproses.
Salah satu persoalan pokok lain adalah perilaku aparat hukum. Mental bobrok masih melekat di tubuh aparat penegak hukum. Mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Di dekade ini pernah tercatat, data Komisi Yudisial yang menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption.
Untuk mengantisipasi dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia, telah dibentuk berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies. Antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah dibubarkan), KPK hingga Komisi Yudisial. Hadirnya komisi-komisi tersebut harus diakui mampu menekan praktek mafia peradilan. Namun, apakah itu sudah cukup?
Peran masyarakat sangat penting agar komisi-komisi itu bisa menjalankan fungsi secara maksimal. Misalnya mejadi relawan, mitra komisi-komisi ini. ICW menyebutkan, banyaknya kasus yang menyeret hakim dan pegawai pengadilan ke dalam kerangkeng KPK, salah satu indikasi bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi. Lembaga pengadilan memiliki potensi korupsi yang sangat besar. Kolaborasi lembaga pengawas – masyarakat umum, dipastikan bisa menjadi senjata ampuh untuk menghadang para mafia peradilan.
Karena kondisi pengadilan yang darurat, maka perlu ada langkah luar biasa untuk membersihkan praktek mafia hukum di pengadilan dan sekaligus mengembalikan citra pengadilan di mata publik. Selain peran masyarakat untuk membantu komisi-komisi tersebut, Mahkamah Agung perlu melakukan evaluasi dalam melihat dan memetakan potensi korupsi di tubuh pengadilan. Proses seleksi hakim hingga evaluasi-penguatan terhadap hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung, urgen dilakukan dan harus intens digelar. Pastikan Mahkamah Agung memiliki hakim-hakim yang berintegritas. Besar harapan, evaluasi intens terhadap aturan hukum dan lembaga peradilan, kerja “malendong” untuk pengawasan dari banyak pihak, evaluasi rutin para hakim, bisa membawa perubahan bagi dunia peradilan di negeri ini. (*)
Editor: Denni Pinontoan