REVIEW
Kesan Coffee: Bioskop Jalanan untuk Menertawakan Kehidupan Urban
Published
5 years agoon
By
philipsmarx4 November 2019
Oleh: Andre Barahamin
Ini adalah tempat untuk menertawakan sekaligus merefleksikan hidup yang berlangsung cepat di jalanan Jakarta
MEMILIKI PREDIKAT SEBAGAI kota yang memiliki polusi udara paling buruk di seluruh dunia, sangat populer karena tingkat kemacetannya yang padat, Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia merupakan tempat tinggal dan beraktivitas lebih dari 30 juta orang tinggal di dalamnya sementara saling bersaing.
Ini adalah kota di mana bunyi klakson mobil dan sepeda motor yang bersahut-sahutan berulang kali hingga terasa sanggup meledakkan telinga Anda. Padatnya kendaraan yang merayap perlahan dengan asal knalpot yang mengepul akan menambah lebih banyak kadar depresi ke dalam cangkir mental seseorang. Ini adalah aktivitas yang tidak hanya sanggup menyita pikiran, tapi juga selalu sukses menghilangkan senyum dari wajah Anda.
Jakarta adalah kota yang sempurna bagi siapa saja yang ingin menguji dirinya untuk bagaimana menjadi pejuang yang belajar mempertahankan hidup sehari-hari, sembari bagaimana caranya mencari ruang temporer untuk melarikan diri dari semua beban ekonomi.
Tidak ada tempat lain yang bisa menandingi Jakarta dalam tingkat ketidakberaturan di jalan sebagai manifestasi paling lengkap dari apa yang disebut dengan: kekacauan.
Lalu lintas di jalan kota ini berjalan lebih lambat daripada rasa sakit karena ditinggalkan oleh cinta. Di Jakarta, Anda akan mengalami kelelahan paripurna yang memeluk tubuh lalu merasuk dan bercampur dengan kebencian terhadap kehidupan yang berlangsung sama dari hari ke hari. Lingkungan berkategori lima bintang untuk mengetahui bagaimana cara singkat menjadi sarkastik namun tetap mampu melihat sudut kelucuan dari kehidupan urban.
Sangat sulit untuk tidak menjadi orang seperti itu jika Anda tinggal di Jakarta.
Namun, itu bukan berarti bahwa tidak ada harapan yang tertinggal, atau setidaknya melakukan kontemplasi lalu mengambil jeda untuk memulai refleksi. Karena semua yang kita butuhkan adalah tempat di mana ada kesempatan untuk dapat menikmati kemacetan lalu lintas paling brutal yang disiarkan secara langsung dan berlangsung di depan mata Anda sambil menikmati secangkir kopi Indonesia yang diseduh dengan baik.
Ruang di mana Anda bisa memiliki kawan yang akan memandu dengan senang hati untuk melihat melalui dinding beton gedung pencakar langit dan lampu yang membuat banyak orang terpesona. Ruang bersama yang memang tidak akan menyediakan WIFI gratis namun selalu menyajikan pembicaraan hangat dan ramah dengan senyum lebar. Tentu saja ditemani segelas kopi yang bisa ditebus dengan harga yang cukup murah.
Setelah beberapa waktu mendapatkan kesempatan untuk menikmati perih pecut urban Jakarta, saya menemukan tempat itu. Berada tepat di pinggir salah satu jalan paling padat di Jakarta Timur, Jatinegara. Sebuah kedai kopi bongkar pasang yang akan mulai buka dan menyeduh kopi mulai pukul 19.00 dan akan menutup aktivitasnya pada pukul 01.00 pagi berikutnya.
Bagi saya, Kesan Coffee adalah tempat terbaik untuk melihat puncak kemacetan Jakarta di Jalan Mantraman Raya. Pada hari Minggu malam, ia akan menutup dan mengepak peralatannya ketika panggilan subuh untuk sholat mulai terdengar dari masjid-masjid di sekitarnya.
Kedai kopi ini didirikan oleh Fadhel Achmad, seorang pemuda Betawi, ayah seorang bayi dan merupakan penduduk asli Jatinegara. “Panggil saya Icai,” katanya.
Semuanya akhirnya bermula pada 6 Agustus 2018 ketika Icai menegaskan pilihan dan menjahit keberanian untuk membangun kedai kopinya. Setahun sebelumnya, ia secara ekstensif belajar bagaimana menjadi pembuat kopi manual di Bogor. Mengikuti kursus di Dapoer Kaoum Telapak, sebuah LSM yang memfokuskan diri pada pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan dan masyarakat adat.
Kesan Coffee adalah entitas yang unik dalam setiap aspeknya. Hanya ada dua meja yang hanya cukup untuk menyambut sekitar delapan orang secara bersamaan. Kursi-kursi tersebut diletakkan di trotoar di sebelah sebuah warung cepat saji khas Indonesia. Kedai ini tak menyolok. Tak lebih baik atau lebih buruk dari warung-warung di sekitarnya.
Sama seperti Kesan Coffee, semua warung yang berjejer di atas trotoar di Mantraman Raya adalah jenis kedai bongkar pasang dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan disiplin. Mulai mendandani diri saat matahari kelelahan dan secara alami menghilang ketika subuh mulai mendekat.
“Jika kamu lapar, kamu bisa memesan dari warung makan di sekitar dan menikmati makananmu di sini,” Icai menjelaskan kepadaku sementara tangannya sibuk menyiapkan kopi.
Dalam soal hal kopi, Kesan Cofee dikenal karena kedekatannya dengan biji kopi Indonesia yang diproduksi oleh masyarakat adat, baik arabika atau robusta. “Toraja adalah arabika paling populer, tetapi saya memiliki beberapa biji kopi lain dari wilayah Sumatera dan beberapa jenis lain yang berasal dari bagian timur Indonesia.” Icai adalah seorang penyeduh manual.
Ini adalah teknik yang makin populer setelah gelombang kopi generasi ketiga. Menekankan pada teknik penyeduhan yang ditargetkan untuk memaksimalkan karakter rasa dari tiap biji kopi, terutama jenis arabika. Hal ini membuat setiap biji kopi akan terasa keunikannya. Upaya merangkum semangat kerendahan hati petualangan ke dalam segelas kopi.
Mata saya menangkap serangkaian toples-toples berukuran kecil yang berjejer di atas sebuah meja. Di belakang meja itu, sebuah spanduk digantung dengan teks cetak besar: Kesan Coffee dan daftar menunya.
Kesan adalah singkatan dari Kopi Enak Se-Nusantara. Icai menciptakan nama tersebut untuk menandai sikap politik yang direfleksikan oleh kedai kopinya sebagai fondasi utamanya. “Biji kopi yang dijual di Kesan Coffee selalu memiliki cerita. Bukan hanya soal rasa, tapi juga mengenai proses panjang masyarakat adat yang menghasilkan kopi ini. Juga soal berbagai masalah yang menimpa komunitas-komunitas adat di Nusantara. Itu kesan yang secara tersirat ingin disampaikan Kesan Coffee kepada mereka yang datang,” kata Icai.
Seperti yang lain, Kesan Coffee juga memiliki tagline dan mungkin terdengar muluk. “Menolak tunduk pada sachetan.” Icai tertawa lepas, lalu memungkasinya dengan senyum. Karakter senyum yang terasa persuasif. Menawarkan agar Anda juga melakukan hal serupa, lalu tanpa sadar dijebak adiksi. “Banyak senyum tidak akan membuat miskin atau memperpendek umur.”
Dia memberi saya secangkir Arabika Toraja. Baunya enak. Kurang dari setengah jam kemudian, saya kembali memesan secangkir kopi lagi.
Pertemuan pertama kami terjadi pada pertengahan Juli. Saya mengunjungi kedai kopinya beberapa minggu kemudian. Sejak itu, Kesan Coffee telah menjadi bioskop reguler saya. Sebabnya sederhana. Adalah kejutan yang menyenangkan untuk menemukan sebuah kedai kopi yang berdiri di udara terbuka, tepat di depan sebuah halte bus TransJakarta. Tanpa atap dan tanpa dinding.
“Jangan khawatir. Tidak akan ada hujan malam ini.” Itu adalah baris kalimat pertama Icai ketika saya mengamati sekeliling dan menatap langit gelap Jakarta, beberapa malam lalu saat berkunjung. “Jika ada hujan, itu berarti kita sedang tidak beruntung untuk malam ini.” Dia tersenyum. Lagi.
Icai adalah sosok yang sangat populer di lingkungan ini. Mudah menilai hal tersebut. Anda akan dengan mudah melihat bagaimana hampir semua orang lokal yang berpapasan dengan kedai ini selalu akan menyempatkan diri untuk bertegus sapa dengan pemilik Kesan Coffee ini. “Sekarang, saya sudah pindah untuk tinggal di tempat lain setelah menikah. Bagaimanapun juga, saya dilahirkan dan dibesarkan di sini. Saya menyaksikan sendiri bagaimana lingkungan ini berubah seiring waktu. Bagaimana Jatinegara menjadi lebih padat tapi tetap menerima siapapun untuk datang bertamu.”
Bagi orang seperti Icai, memiliki kedai kopi dengan harga terjangkau di lingkungan kelas pekerja kerah biru dan masyarakat miskin kota, di atas trotoar salah satu jalan tersibuk di Jakarta, memang tidak dialamatkan untuk cocok dengan selera kedai kopi kelas pekerja kerah putih yang menyebut diri mereka kalangan menengah.
“Jika Anda mencari AC, sofa yang nyaman dan suasana yang tenang, Kesan Coffee tidak cocok untuk Anda.”
Namun, bagi saya, ini adalah kedai kopi terbaik jika Anda ingin tertawa tepat di depan fragmen kehidupan modern yang berlangsung di depan mata. Menyaksikan sendiri pergerakan manusia-manusia yang tanpa sadar menjadi aktor dari pertunjukan langsung yang dapat ditonton jika Anda memutuskan berkunjung ke Kesan Coffee.
Semua adegan yang terjadi tepat di depan batang hidung, yang mungkin saja dapat membantu Anda merenungkan bagaimana peradaban saat ini telah sukses gemilang mengubah kita menjadi lebih individualistis, penuh rasa takut dan kebencian.
Lalu, ketika kepala terasa penuh dan dada seperti sesak, Anda dapat meneguk secangkir kopi enak untuk sekedar menghalau frustasi dan menghangatkan suasana hati. Jika Anda beruntung, mungkin saja, refleksi dari tontotan langsung kemacetan Mantaraman Raya dapat membantu menjernihkan pikiran dan mulai bertanya: benarkah hidup seusang kepadatan kota? (*)
Editor: Gratia Karundeng
Foto: Fadhel ‘Icai’ Ahmad