FEATURE
Ketidakpastian Masa Depan Pengungsi Myanmar di Thailand
Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 Januari 2019
Oleh: Rhina Chandran
“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan masa depan mereka,” kata Pa Pa Win.
KETIKA PUTRI pertamanya lahir, Pa Pa Win memimpikan pernikahan mewah selama bertahun-tahun, dengan perayaan besar di desa mereka yang berada di di negara bagian Mon, Myanmar. Namun dua puluh tahun kemudian, Pa Pa Win mendapati dia dan seluruh keluarganya berada di pondok sederhana yang terletak di kamp pengungsi di Mae Lae, Thailand bagian utara. Pa Pa Win adalah satu di antara sekitar 31.000 pengungsi di Mae Lae. Ini adalah kamp terbesar di sembilan tempat penampungan pengungsi yang berada di perbatasan Thailand-Myanmar. Ia sudah berada di sana selama 13 tahun.
“Kami datang ke sini karena kehidupan yang tidak aman di Myanmar. Awalnya kami berpikir bisa kembali pulang setelah beberapa waktu. Atau setidaknya kami bisa menata kehidupan yang lebih baik di sini (Thailand, red)” kata Pa Pa Win.
“Kami datang ke sini karena kami tidak aman di Myanmar. Kami pikir kami bisa kembali setelah beberapa saat, atau bahwa kami bisa membuat kehidupan di sini di Thailand, ”kata Pa Pa Win, seorang Muslim.
Ia tahu bahwa kondisi masih belum aman bagi mereka untuk kembali ke Myanmar. Tapi di saat yang bersamaan, tidak ada kejelasan masa depan bagi mereka di Thailand.
Menurut badan pengungsi PBB, UNHCR, terdapat sekitar 97.439 pengungsi Myanmar di kamp-kamp yang berlokasi di Thailand. Setengah dari jumlah tersebut adalah anak-anak. Mayoritas dari mereka adalah anggota komunitas-komunitas tribal yang melarikan akibat konflik bersenjata antara Tatmadaw dan kelompok-kelompok bersenjata berbasis etnis. Beberapa pengungsi bahkan telah menetap selama lebih dari tiga dekade.
Kondisi memprihatinkan ini adalah salah satu yang terburuk di dunia. Apalagi Thailand belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Pengungsi tahun 1951 atau Protokol 1967, yang mensyaratkan standar minimum dan kewajiban hukum negara tujuan terhadap para pengungsi. Namun Thailand telah berjanji untuk mengembangkan sebuah kerangka pencegahan perdagangan manusia dan menyediakan akses untuk pendidikan, kesehatan dan pendataan kelahiran bagi para pengungsi.
Namun komitmen setengah hati Thailand tersebut tidak mampu ikut mendorong perbaikan taraf hidup para pengungsi. Mereka masih berada di dalam ketidakpastian karena tidak memiliki dasar hukum untuk bekerja di Thailand dan dilarang untuk meninggalkan kamp tanpa alasan yang jelas.
“Para pengungsi dewasa masih ingin kembali ke Myanmar. Karena mereka masih terikat secara historis dan ekonomis dengan rumah dan tanah yang mereka tinggalkan,” kata Oranutt Narapruet dari Komite Penyelamatan Internasional. Komite ini adalah satu di antara sedikit organisasi internasional yang menyediakan pelayanan dan advokasi bagi para pengungsi.
Hal yang bertolak belakang dengan generasi yang lebih muda, mereka yang tumbuh dewasa di kamp pengungsian. Generasi ini merasa tidak memiliki apapun yang tersisa di Myanmar sebagai alasan untuk menarik mereka kembali pulang. Mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Thailand. Harapannya, pekerjaan tersebut dapat menjadi tiket keluar mereka dari kehidupan yang buruk di kamp pengungsian.
Para pengungsi di Thailand memiliki tiga opsi: pemulangan ke negara asal mereka, integrasi lokal di Thailand atau tawaran untuk bermukim di negara ketiga. Menurut UNHCR, sejak 2005, lebih dari 90.000 orang telah dimukimkan di Amerika Serikat, Australia dan Kanada dan negara-negara lain. Tetapi program relokasi para pengungsi Myanmar di negara-negara ketiga telah berakhir pada 2016.
Ribuan pengungsi telah kembali pulang ke Myanmar setelah pemerintah yang terpilih secara demokratis mengambil alih. Sementara ratusan lainnya telah mendaftar untuk pemulangan sukarela yang difasilitasi UNHCR. Tetapi pertempuran tetap berlanjut di beberapa daerah meskipun telah dicapai kesepakatan mengenai gencatan senjata nasional di tahun 2015.
“Kami memiliki rumah leluhur di desa kami, tetapi kami mendengar di berita apa yang terjadi pada di Myanmar. Bagaimana kami bisa kembali?” kata Pa Pa Win.
Tawaran lain untuk para pengungsi adalah dengan mengajukan permintaan untuk mendapatkan kewarganegaraan Thailand. Meskipun jalan ini dipandang sulit dan menghabiskan waktu yang panjang. Namun dalam perubahan undang-undang di tahun 2016, Thailand telah membuka jalan kepada 80.000 orang tanpa kewarganegaraan -terutama dari Myanmar.
Ada dua contoh kasus yang dapat dijadikan contoh. Pertama adalah pemberian status kewarganegaraan kepada anak-anak anggota tim sepakbola, yang bulan Juli lalu terperangkap di sebuah gua di bagian utara Thailand. Atau kasus paling terbaru yang menimpa seorang perempuan muda Saudi yang melarikan diri ke Thailand karena khawatir akan dibunuh oleh pihak keluarganya. UNHCR memproses permohonannya mendapatkan status pengungsi, sebelum akhirnya direlokasi ke Kanada.
Sementara itu di kamp-kamp pengungsian, layanan kemanusiaan yang disediakan oleh badan amal mulai berkurang sejak negosiasi mengenai gencatan senjata dan perdamaian mulai dimulai. Hal ini membuat banyak pengungsi melarikan diri dan menjadi tenaga kerja ilegal di berbagai daerah di bagian utara Thailand, meski beresiko ditangkap karena dianggap melanggar hukum. Sementara itu menurut Human Rights Watch (HRW) sebagian besar anak-anak pengungsi juga tidak dapat bersekolah di Thailand karena pembatasan akses ke luar kamp, persoalan perbedaan bahasa dan perlakukan diskriminatif.
“Banyak dari para pengungsi bahkan tidak menginginkan kewarganegaraan. Yang mereka inginkan adalah akses mendapatkan pendidikan, bekerja secara legal, dan memiliki kebebasan bergerak,” kata Oranutt kepada Thomson Reuters Foundation.
Kekhawatiran lembaga-lembaga internasional yang menangani para pengungsi Myanmar di utara Thailand adalah rencana penutupan kamp-kamp pengungsi oleh pemerintah. Thailand yang tidak meratifikasi Konvensi PBB tentang pengungsi dapat dengan mudah mengusir para pengungsi dan memaksa mereka pulang ke Myanmar, meski tanpa jaminan keselamatan.
Masalah lain yang kini menjadi sorotan di kamp-kamp pengungsian adalah tingkat depresi yang berujung pada tindakan bunuh diri. International Organization for Migration (IOM) mencatat bahwa di tahun 2017, angka rata-rata kasus bunuh diri di kamp-kamp pengungsian tiga kali lipat lebih besar dari angka bunuh diri global. Depresi juga diperburuk dengan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang di kamp-kamp pengungsian.
Kasus-kasus tersebut diduga menjadi salah satu pemicu desakan pemerintahan Thailand untuk segera menutup kamp-kamp pengungsian dan memulangkan para pengungsi.
Namun menurut Direktur Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win, pemerintah Thailand seharusnya lebih kooperatif dan membuka peluang bagi para pengungsi untuk dapat bekerja di Thailand dan berkontribusi terhadap ekonomi negara tersebut. Usul yang hingga kini tetap menjadi wacana karena keengganan pemerintah Thailand membuka diri.
Itulah yang diinginkan Pa Pa Win untuk keluarganya.
“Kami ingin anak-anak kami menyelesaikan pendidikan mereka, dapat meninggalkan kamp ini, mendapatkan pekerjaan, lalu hidup seperti orang lain. Tapi kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan masa depan mereka,” tutup Pa Pa Win.(*)
Penerjemah: Andre Barahamin
Editor: Denni Pinontoan