CULTURAL
Kisah Kaos ‘Tuhan Agamamu Apa’?
Published
6 years agoon
By
philipsmarx09 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Sebuah kaos bertuliskan “Tuhan Agamamu Apa” merefleksikan secara kritis cara kita memahami agama dan klaim terhadap Tuhan
SEJAK KIRA-KIRA tahun 2007, saya punya kaos berwarna hitam bertuliskan ‘Tuhan Agamamu Apa?’ Tulisan pada kaos itu adalah kreasi Institut Dialog Antar-iman di Indonesia/Institute for Interfaith Dialogue/(Institut DIAN/Interfidei) Yogyakarta. Institut DIAN/Interfidei adalah sebuah lembaga yang bekerja untuk mempromosikan dialog antar iman demi perdamaian. Lembaga ini berdiri pada 20 Desember 1991 di Yogyakarta.
Kaos ini adalah salah satu cara Institut DIAN/Interfidei untuk mengedukasi masyarakat secara kreatif tentang makna menjadi manusia beragama. Semua agama menyebut dan percaya adanya ‘Tuhan’, lalu ‘Tuhan’ siapa yang paling berkuasa?
Saya suka sekali memakai kaos itu. Tulisannya sangat reflektif. Pendek, tapi dapat membuat orang berkerut dahi, berpikir dan merenung.
‘Tuhanku, agamanya apa, ya?”
‘Tuhan, itu beragama”?
“Agamanya apa?”
“Kristen? Islam? Hindu? Budha? Konghucu?”
“Tuhan tidak beragama?”
“Ah, lalu mengapa manusia beragama?”
“Agama itu Tuhan?”
“Tuhan itu agama”?
Ah, pusing….
Saya membayangkan itu pertanyaan orang-orang ketika melihat tulisan di kaos yang saya pakai itu. Terakhir, di tahun 2019 ini, saya ke pasar Beriman Tomohon memakai kaos itu. Dua belas tahun sejak pertama kali saya memilikinya. Sudah sangat tua untuk ukuran kaos. Warnanya tidak lagi hitam. Mulai memudar. Cat pada tulisan mulai mengelupas. Tapi, orang-orang masih saja tampak sedikit terkejut ketika berpapasan denganku dan membaca tulisan di kaos itu. Seperti pertama kali saya memakainya, tampak dahi mereka berkerut ketika membacanya. Daya provokasinya masih kuat.
***
Di situs Institut Dian/Iterfidei pernah dimuat tulisan tentang kasus Ardha yang memakai kaos ‘Tuhan Agamamu Apa?’
Ceritanya begini.
Kamis, 15 Juni 2011, di Surakarta, seorang pemuda bernama Ardha harus berurusan dengan Front Pembela Islam (FPI) dan aparat kepolisian. Ini gara-gara karena dia mengenakan kaos yang bertuliskan “TUHAN AGAMAMU APA?”
Hari itu, Ardha sedang mengantar ibunya untuk mengurus sesuatu di kantor pengadilan kota Surakarta. Di hari yang sama di pengadilan itu sedang berlangsung persidangan sebuah kasus. Beberapa anggota FPI tampak di situ. Ardha melintasi area parkir.
“Kafir…kafir….,” terdengar teriakan dari sekelompok anggota FPI itu.
Ardha mendengar teriakan itu tapi ia tidak tahu sasaran orang-orang itu kepada siapa. Ia pun terus berjalan. Tapi tiba-tiba para anggota FPI itu berlari menuju ke arahnya. Dengan segera mereka mengepungnya sambil terus berteriak. Mereka juga memaksa dia melepas kaos yang dikenakannya itu.
Alasan para anggota FPI itu, tulisan pada kaos yang dikenakannya melecehkan agama. Mereka lalu memaksa Ardha untuk meminta maaf. Ardha pun dipukul.
Tahu adanya peristiwa itu, polisi segera membuat pengamanan. Anehnya, polisi justru mengikuti keinginan para anggota FPI, yaitu meminta Ardha untuk melepas kaos yang dikenakannya. Ardha tak bisa berbuat apa-apa. Dia pun melepas kaos seperti keinginan FPI dan juga diiyakan oleh polisi. Ardha lalu digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Di kantor polisi, Ardha dipaksa untuk meminta maaf kepada FPI. Namun, Ardha menolak. Ia merasa tidak melakukan kesalahan kepada mereka. Ia juga tidak merasa melakukan pelecehan agama. Di kantor polisi itu, para anggota FPI menanyai Ardha maksud mengenakan kaos bertuliskan ‘Tuhan Agamamu Apa” itu.
Ardha menjawab, ketika mengenakkan kaos itu ia tidak memiliki maksud apapun. Kata Ardha, kaos itu sudah beberapa kali dikenakannya selama enam tahun. Selama itu tidak pernah menimbulkan masalah.
Tapi para anggota FPI terus mendesaknya. Mereka terus memaksa Ardha untuk meminta maaf. Mereka mengolok-oloknya. Mereka menuduh Ardha adalah orang yang telah melakukan penodaan agama. Para angota FPI pun memaksa agar Ardha dituntut dan diproses hukum.
***
November 2006, Indro Suprobo, dulu ia pegiat di Institut Dian/Interfidei pernah menulis sebuah cerpen di blognya. Cerpen itu berjudul “Tuhan Agamamu Apa?”
Cerpen ini berkisah tentang seorang gadis kecil yang belum genap 7 tahun bernama No’e. Suatu hari si No’e sedang bernyirami anggrek di halaman ruman bersama embah putrinya, perempuan tua yang sudah genap 70 tahun umurnya. Di saat sedang menyirami anggrek terjadi dialog antara keduanya. Begini Suprobo, si penulis cerpen menulis dialog itu:
“Mbah, mbah, lihat mbah, bunga anggreknya mengangguk-angguk!” kata si No’e kegirangan sambil menunjuk bunga yang sedang disiraminya.
“Wah…iya..ya. Bunga anggreknya mengangguk-angguk”, kata embah putri menanggapi kegirangan cucunya.
“Mbah, mbah, bunga anggreknya kok mengangguk-angguk itu kenapa sih mbah?”, tanya si No’e lugu.
Si embah yang mantan guru agama desa itu tercenung sejenak memikirkan jawaban atas pertanyaan cucunya yang polos itu. Kecerdasannya yang dulu terbukti nyata saat mengikuti kuliah teologi selama sepuluh semester dan meraih gelar sarjana dengan predikat cum laude itu sekarang sedang diuji oleh pertanyaan cucunya. Wow, ia menemukan jawabannya!
“Nok, cah ayu, bunga anggrek itu mengangguk-angguk karena mengucapkan terima kasih kepadamu. Ia merasa segar karena disirami air setiap hari. Jadi, ia berterima kasih.”
Si No’e tersenyum senang sambil matanya memandangi bunga yang mengangguk-angguk kepadanya.
“Mbah, mbah, kata bu guru ngaji, orang yang bisa mengucapkan terima kasih itu orang yang baik. Bener nggak mbah?” tanya si No’e lagi.
“Iya dong”
“Kata bu guru ngaji, orang yang baik itu disayangi Tuhan” tanya No’e lagi.
“Iya dong”
“Orang yang disayangi Tuhan itu besok masuk surga ya mbah?”
“Iya dong.”
Si No’e adalah murid sekolah di Taman Kanak-kanak Santa Maria. Dikisahkan, itu satu-satunya sekolah TK terdekat. Dari namanya, berarti sekolah TK ini adalah milik Gereja Katolik. Tapi si No’e adalah muslim mengikuti agama kedua orang tuanya. Gagis kecil ini rajin mengaji setiap sore. Ibunya dulu beragama katholik, lalu menjadi Islam mengikuti agama suaminya. Ia rajin sholat. Sore ini No’e tidak mengaji karena libur. Guru mengajinya sedang punya hajat menyunatkan anak laki-lakinya.
Dialog berlanjut.
“Mbah, teman-teman di sekolah bilang kalau orang yang masuk surga hanya orang yang mengikuti Tuhan Yesus. Katanya, tanpa Tuhan Yesus orang tidak bisa masuk surga. Betul nggak, mbah?”
Mbah putri yang sarjana teologi itu agak bingung mencari jawaban pas untuk cucunya yang lugu. Lalu, kecerdasannya membantunya untuk menjawab.
“Nok, cah ayu, Tuhan Yesus itu orang baik sekali. Dia suka menolong orang lain. Jadi dia masuk surga. Semua orang yang baik seperti Tuhan Yesus itu disayangi Tuhan dan masuk surga”.
“Orang yang mengikuti Yesus namanya orang kristen ya mbah?”
“Iya”, jawab embahnya singkat
“Kalau orang Islam, masuk surga juga to mbah?”
“Iya dong. Orang Islam khan berdoa kepada Tuhan dan berbuat baik kepada orang lain. Jadi disayangi Tuhan”.
“No’e..! Mau ikut sholat sama ibu nggak?” tiba-tiba suara ibunya si No’e menghentikan pembicaraan mereka.
“Ikut!” jawab No’e.
“Mbah, No’e sholat dulu sama ibu ya mbah”
“Ya, ya, sana sholat dulu biar disayangi Tuhan” jawab simbahnya sambil membereskan selang dan cethok.
Malamnya, ketika tidur si No’e bermimpi bertemu Tuhan dan bercakap-cakap.
“Tuhan, Tuhan, bunga anggreknya mengangguk-angguk berterima kasih kepada Tuhan karena disirami” kata si No’e cerah sambil menunjuk pada bunga.
“Oh iya. Kamu pinter sekali. Siapa yang mengajari?”
“Embah putri”, jawab si No’e.
“Wah, embah putrimu baik sekali. Senang dong punya embah putri seperti itu” kata Tuhan penuh pengertian.
“Iya, mbah putri baik sekali sama No’e. Tuhan, orang yang baik seperti embah putri besok masuk surga ya?” tanyanya polos.
“Oh tentu. Orang baik seperti embah putrimu pasti masuk surga” kata Tuhan meyakinkan.
“Orang baik seperti Tuhan Yesus juga masuk surga, Tuhan?’
“Oh ya, Tuhan Yesus masuk surga”
“Orang kristen yang mengikuti Tuhan Yesus dan suka menolong orang lain masuk surga juga ya?”
“Iya”
“Orang Islam juga masuk surga?”
“Iya”
“Tuhan, Tuhan itu kristen apa Islam?” tanya si No’e polos sekali.
“Ha…ha…Nok, cah ayu” jawab Tuhan sambil mengusapi kepala si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. “Tuhan tidak punya agama, sayang”.
“Tuhan tidak mengikuti Tuhan Yesus?”
“Tidak”
“Tuhan sholat seperti No’e tidak?”
“Tidak”
“Terus, besok Tuhan masuk surga tidak?” tanya si No’e makin penasaran.
“Iya dong, sayang” jawab Tuhan sambil tersenyum.
“Lho, kok bisa?” tanya si No’e penuh keheranan.
Tuhan tertawa sambil asyik menyirami anggrek, sementara si No’e yang kecil itu terbangun dari mimpinya. Tamat.
Saya berapa kali bertemu dengan Mas Indro, si pengara cerpen ini. Sewaktu ia bergiat di Institut Dian/Interfidei, saya beberapa kali dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan interfaith bersama lembaga ini. Di situ saya bertemu Mas Indro. Orangnya baik. Punya banyak ide untuk pengembangan dialog antar iman.
Tulisan pada kaos itu masih sering saya kenakan meski warnanya semakin memudar. Masih saja saya ada orang yang berkerut dahinya ketika membaca tulisan itu pada kaos yang saya kenakan. Saya kira, mereka memang terkejut karena selama ini tidak pernah diajukan pertanyaan begitu.
Pertanyaan yang lazim adalah: “Agamamu, apa?”; “Agama dia, apa?”; “Agama mereka, apa?“ Pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya mengarah ke klaim: “Agama sayalah yang paling benar. Agama dia, agama mereka, tidak benar”.
Jadi, ketika disodorkan pertanyaan, yang bukan untuk dijawab oleh Tuhan: “Tuhan, Agamamu Apa?”, maka baru terkejut.
“Iya, ya, agama Tuhan itu, apa?”
“Kalau Tuhan itu beragama, agamanya apa?”
Sumanto Al Qurtuby, 7 September 2016 menulis catatan pendek di akun Facebook-nya. Judulnya “Tuhan, Agamamu Apa Sih?”
“Bukankah, Tuhan itu, kalau ada, mestinya tidak beragama. Bahkan, seperti pernah saya sampaikan, Tuhan itu mestinya “sosok” pengikut ajaran “ateisme” karena “tidak ada Tuhan yang mempunyai Tuhan” bukan? Maka, jika Tuhan itu “ateis” dan “tak beragama”, mengapa umat beragama ribut saling-klaim dan berebut tentang Tuhan?”, tulisnya. (*)
Editor: Daniel Kaligis